Senin, 30 April 2012

Karya Tulis Ilmiah


Karya Ilmiah





PERAN OTONOMI DAERAH DALAM PENINGKATAN KESEHATAN MASYARAKAT













 




















Oleh : Ansyaruddin





IKATAN PEMUDA PELAJAR MAHASISWA PANGKEP
KOORDINATOR UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
(UIN) ALAUDDIN MAKASSAR

2008
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa tercurah atas kehadirat Allah SWT, sebab berkat ridha dan rahmat-Nyalah sehingga kita masih diberikan kesempatan dan kesehatan sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Dan tak lupa pula kita panjatkan shalawat dan salam atas junjungan besar kita Nabiullah Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kebiadaban menuju ke zaman yang lebih beradab.
Dalam karya ilmiah ini kami sangat menyadari akan banyaknya kekurangan di dalamnya,namun itulah fitrah manusia yang tidak akan pernah lupuk dari kesalahan. Karena itu, kami senantiasa membuka diri untuk menerima saran dan kritikan teman – teman sekalian guna perbaikan kedepannya.

                                                                                    Makassar,  Desember 2008



                                                                                    Penulis












DAFTAR ISI

Halaman Judul .......................................................................................................... i
Kata Pengantar .......................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................... iii
Bab I (Pendahuluan)
A.    Latar Belakang .............................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
Bab II (Pembahasan)
A.    Sekilas Tentang Otonomi Daerah ................................................................. 3
B.     Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah ......................................... 6
C.     Konsepsi Kesehatan Dalam Islam ................................................................. 19
D.    Tantangan dan Harapan Pengembangan dan Pemberdayaan
SDM Kesehatan Yang Mendukung Program Kesehatan Masyarakat ..... .... 27
Bab III (Penutup)
A.    Kesimpulan ................................................................................................... 33
B.     Saran ............................................................................................................. 33












BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sampai saat ini di lingkungan negara-negara yang sedang berkembang masalah hubungan antara Pusat dan Daerah masih menjadi salah satu isu sentral, terutama di negara yang wilayahnya sangat luas atau kehidupan penduduknya secara sosial maupun ekonomi hiterogen. Pengalaman menunjukkan bahwa karena pemerintahan daerah yang mencerminkan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah terfokus pada aspek politik, maka masalah kesenjangan hubungan keduanya sering berakibat pada ancaman disintegrasi nasional. Perang Biafra di Nigeria, pergolakan Propinsi-propinsi di Pakistan Timur yang kemudian menjadi Bangladesh sekarang, Eritrea dengan Ethiopia dan konflik di semenanjung Jafna Srilangka dan sebagainya adalah contoh besarnya akibat yang bisa ditimbulkan dari masalah hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah.
Pengalaman lain juga menunjukkan bahwa masalah hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah tersebut, lebih sering timbul di negara-negara kesatuan yang sejumlah sekitar 80% dari jumlah negara di dunia dewasa ini. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa negara-negara federal masalah semacam itu tidak pernah ada, hanya saja di negara-negara federal tidak sampai mengancam kesatuan nasional mereka. Adanya pemerintahan daerah merupakan hal yang sangat penting dalam membangun sistem pemerintahan negara yang demokratis, karena bisa menampung pluralisme bangsa yang bersangkutan, mendorong partisipasi masyarakat dan memberikan tambahan pilihan bagi warganya terutama yang bersangkutan dengan kebutuhan dan kepentingan penduduknya.
Dengan adanya pemerintahan daerah, maka pluralisme yang ada dalam masyarakat negara baik sosial, budaya, ekonomi dan lainnya bisa ditampung dalam wadah pemerintahan daerah masing-masing sehingga tidak mengarah kepada otokrasi sentral. Dalam wilayah mereka, keragaman yang ada dalam masyarakat tetap terpelihara sehingga menjadi akar kebangsaan, tanpa kemudian harus menaifkan ciri-ciri khusus kedaerahan yang ada. Melalui pemerintahan daerah juga bisa diberi kesempatan yang lebih luas bagi penduduk untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah mereka, melalui bermacam-macam dewan daerah baik yang bersifat politik (seperti DPRD di Indonesia) maupun ekonomi (misalnya Komite Perlindungan Konsumen Daerah) atau sosial misalnya Dewan Pemangku Adat Daerah dan sebagainya. Masyarakat juga mempunyai kesempatan untuk memperoleh pilihan yang lebih banyak, dari pelayanan umum yang disediakan pemerintahan daerah selain yang disediakan oleh pemerintahan secara nasional.

B. Rumusan Masalah
§  Apa yang dimaksud dengan otonomi daerah.
§  Bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
§  Seperti apa pandangan islam terhadap kesehatan masyarakat.
§  Apa saja program pemerintah agar tercipta kesehatan masyarakat yang baik.














BAB II
MEMBANGUN OTONOMI DAERAH BAGI SEMUA

A.      Sekilas Tentang Otonomi Daerah
Otonomi daerah membawa perubahan yang bisa memunculkan aspirasi dan partisipasi masyarakat setempat dalam pembangunan. Tetapi, di sisi lain dalam perkembangannya, otonomi daerah juga melahirkan persoalan ketika lahir peraturan daerah yang tidak sejalan dengan sistem hukum nasional dan mendiskriminasi perempuan.
Indikasi peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan sudah ditemukan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yaitu berjumlah 29 kebijakan daerah.
. Meskipun demikian, bukannya tidak ada model kebijakan daerah yang dapat ditiru. contoh Perda Provinsi Jawa Timur tentang perlindungan bagi anak dan perempuan korban kekerasan rumah tangga, yang merupakan satu-satunya perda semacam ini di Indonesia.

Sering Dilanggar
Sebagian masyarakat merasa bahwa  munculnya berbagai kebijakan daerah yang berkaitan dengan hak asasi manusia, khususnya perempuan, terasa sejak diresmikannya otonomi daerah (otda). Otda itu diatur melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Meskipun UU tersebut secara tegas mengatur kewenangan bidan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta bidang lain merupakan kewenangan pemerintah pusat, tetapi dalam pelaksanaan peraturan tersebut semakin sering dilanggar.
Tidak jarang pengertian otonomi daerah diartikan berlebihan tanpa mengindahkan peraturan perundangan yang berlaku.
"Hal itu dibuktikan dengan dibatalkannya 546 peraturan daerah antara tahun 2002 sampai Agustus 2006. Meskipun awalnya pembatalan peraturan daerah itu disebabkan adanya berbagai pengaturan yang berhubungan dengan pajak dan retribusi daerah, tetapi kemudian terdapat pengajuan pembatalan peraturan daerah yang membatasi hak asasi manusia, khususnya perempuan atau yang berhubungan dengan agama," ujar Maria Farida.
Berbagai perda menghindar dari ketentuan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan menggunakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu dibolehkannya membuat kebijakan daerah sesuai kondisi daerah. Dengan demikian, kebijakan tersebut berlindung di balik alasan "karena keinginan masyarakat". tidak ada alasan setiap daerah dapat membuat peraturan daerah yang dapat melanggar undang-undang di atasnya, bahkan melanggar hak asasi, dengan alasan kekhususan daerah.

Landasan Tidak Kuat
Persoalan dengan lahirnya perda-perda yang kontroversial adalah dilupakannya prinsip dasar peraturan hukum, yaitu peraturan tersebut, termasuk peraturan daerah, harus menjamin hak asasi manusia.
Prof. Dr Syahrizal MA mengatakan, berdasarkan pengalamannya, penyusunan kebijakan daerah sering dilakukan terburu-buru karena tekanan ekonomi, politis, atau budaya sehingga penyusunannya melupakan bahwa peraturan dibuat agar dapat dilaksanakan, berdaya guna, dan berhasil guna bagi masyarakat.
Dalam kasus Aceh, dalam pembuatan qanun (peraturan daerah) misalnya, para inisiator dari DPRD ataupun pemda kerap tidak memiliki kerangka acuan yang jelas walaupun panduan pembuatan peraturan daerah ada dan cukup rinci.Syahrizal, memiliki Dinas Syariat Islam yang tugasnya, antara lain, menyiapkan draf rancangan qanun. Tetapi, karena dinas tersebut juga disibuki dengan urusan birokrasi, mereka tidak dapat menyusun dengan mendalam dasar filosofis, tujuan, dan mengapa dibutuhkan sebuah perda. Ditambah dengan desakan politis untuk segera melahirkan qanun, maka lahir qanun yang dapat bersifat kontroversial.
Meskipun tidak ada undang-undang yang mengharuskan adanya naskah akademik menyertai penyusunan kebijakan daerah dan kebijakan itu sah berlaku bila telah dibahas bersama antara legislatif dan eksekutif, hampir tidak adanya naskah akademik pada sebagian besar peraturan daerah menyebabkan perda tidak menjamin kepastian hukum, tidak mengayomi masyarakat, dan dapat melanggar hak asasi.

Dipantau Dari Awal
Sebagian masyarakat sepakat bahwa pemantauan terhadap perda harus dilakukan sejak awal, yaitu mulai dari rencana, pengajuan, pembahasan, pengesahan, dan pelaksanaan di masyarakat.
Maria Farida mengingatkan, penyusunan kebijakan daerah yang menyangkut moral, adat, dan agama, serta menyangkut hal-hal yang bersifat privat, harus benar-benar melalui kajian yang mendalam dan dipastikan diterima luas oleh masyarakat sebelum disahkan. Aturan yang menyangkut adat, moral, dan agama sebetulnya tanpa diformalkan dalam peraturan hukum pun akan tetap hidup selama masih ada masyarakat yang mendukungnya.
Mengenai qanun di Aceh terdapat dua kelompok, yaitu yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan qanun yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat (qanun syariat Islam). Yang disebut terakhir, seperti disebutkan dalam Pasal 235 UU Nomor 11 Tahun 2006, tidak dapat dibatalkan pemerintah, kecuali melalui uji materi oleh Mahkamah Agung.
Syahrizal menyebut, karena formalisasi syariat telah terjadi pergeseran urusan yang semula merupakan urusan pribadi kini menjadi urusan publik. Dia mencontohkan aturan orang tiga kali berturut-turut tidak shalat Jumat tanpa alasan akan dipenjara enam bulan atau dihukum cambuk di depan umum tiga kali.
Syahrizal mengingatkan, penyusunan materi qanun syariat harus dimulai dengan penelitian serius dalam kerangka normatif dan sosiologis. Kerangka normatif menuntut untuk menelaah dan meneliti kembali doktrin fikih karena doktrin di dalam buku fikih, seperti fikih jinayah (pidana) sangat minim nilai operatifnya. Kerangka sosiologis mengharuskan meneliti tingkat penerimaan masyarakat terhadap hukum agama di dalam kitab fikih sehingga diketahui perasaan hukum dan hukum yang hidup di masyarakat.
Qanun syariat yang dibentuk harus memenuhi rasa keadilan, perasaan hukum, dan sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. "Hukum menyangkut adat dan agama yang hidup adalah yang dirasakan memberi manfaat kepada masyarakat karena akan dilestarikan masyarakat. Hukum yang memenuhi hal itu bila diformalkan akan diterima masyarakat," ungkap Syahrizal.

B.       HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.

a.      Peranan Ekonomi Pemda
Pandangan teori ekonomi terutama menekankan pada peran Pemda sebagai penolong masyarakat dalam menyediakan pelayanan umum dan berusaha menetapkan persyaratan atau membuat keadaan yang bisa memaksimalkan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Memang pendekatan ini hanya bisa dipakai atau dipergunakan, sepanjang bagian-bagian sumber analisa ekonomi dapat diketahui, misalnya data dan informasi mengenai perusahaan-perusahaan yang benar-benar bersifat bisnis (bukan politis atau lainnya), aspek-aspek sosiologi yang mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat dan perspektif lainnya dalam perekonomian. Pada tingkat yang lebih luas kebijaksanaan dari lembaga demokrasi lokal yang kuat bisa menjadi suatu bentuk pembangunan kemampuan dan penguatan institusi nasional, yang merupakan sebuah prasarat penting bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam jangka panjang.
Desentralisasi yang melahirkan pemerintah daerah diperlukan karena sangat bermanfaat untuk (1) meredam in efisiensi didalam sistem pemerintahan yang dikontrol secara sentral (oleh pemerintah Pusat). (2) Sebagai alat/sarana privatisasi berbagai kegiatan masyarakat (termasuk yang merupakan pelayanan publik) (3) mengurangi ketegangan dalam bidang keuangan pada tingat pemerintah nasional. (lihat Bailye)
Kiranya perlu juga diperhatikan bahwa dalam bidang ekonomi pemerintah mempunyai empat macam peranan yaitu 1) alokasi, 2) distribusi, 3) regulasi, dan 4) stabilisasi. Apabila pemerintah daerah bisa menjalankan peranan ekonominya dengan baik, maka bukan saja akan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya tetapi juga akan mendukung stabilitas dan kemajuan ekonomi nasional.

b.      Hubungan Pusat dan Daerah di Era Reformasi
Undang-undang No. 22/1999 mencerminkan pergeseran politik Pemerintah yang besar dalam desentralisasi pemerintahan. Pada dasarnya Pemerintah hanya memegang kewenangan di bidang : keuangan dan moneter, luar negeri, peradilan, pertahanan dan keamanan, agama dan kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain sebagaimana termaksud pada ayat (1) Pasal : 7 Undang-undang itu, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Dengan demikian maka kewenangan yang lain di luar lima bidang tersebut menjadi Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi, Pasal 2 ayat (3) PP tersebut kewenangan Pemerintah Propinsi adalah dalam bidang :
1.      Pertanian
2.      Kelautan
3.      Pertambangan dan Energi
4.      Kehutanan dan Perkebunan
5.      Perindustrian dan Perdagangan
6.      Perkoperasian
7.      Penanaman Modal
8.      Kepariwisataan
9.      Ketenagakerjaan
10.  Kesehatan
11.  Pendidikan Nasional
12.  Sosial
13.  Penataan Ruang
14.  Pertanahan
15.  Pemukiman
16.  Pekerjaan Umum
17.  Perhubungan
18.  Lingkungan Hidup
19.  Politik Dalam Negeri dan Administrasi Publik
20.  Pengembangan Otonomi Daerah
21.  Perimbangan Keuangan
22.  Kependudukan
23.  Olah Raga
24.  Hukum dan Perundang-undangan
25.  Penerangan.
Adapun kewenangan Kabupaten dan Kota pada dasarnya sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Propinsi. Dengan begitu maka meskipun bagi Kabupaten dan Kota diwajibkan melaksanakan sedikitnya 11 bidang kewenangan, yaitu :
1.      Pekerjaan Umum
2.      Kesehatan
3.      Pendidikan dan Kebudayaan
4.      Pertanian
5.      Perhubungan
6.      Perindustrian dan Perdagangan
7.      Penanaman Modal
8.      Lingkungan Hidup
9.      Pertanahan
10.  Koperasi
11.  Tenaga Kerja.
Kendatipun dengan melihat bidang-bidang tersebut, kewenangan Pemerintah Propinsi kelihatan sangat luas tetapi apabila dikaitkan dengan besarnya porsi kewenangan Pemerintahan dalam hal-hal tertentu dalam 25 bidang kewenangan tersebut; maka sebenarnya kewenangan Pemerintah masih sangat besar. Sebagai contoh adalah kewenangan pemerintah dalam bidang Perindustrian dan Perdagangan, yang meliputi :
1.      Penetapan kebijakan fasilitasi, pengembangan dan pengawasan perdagangan berjanga komoditi.
2.      Penetapan standar nasional barang dan jasa di bidang industri dan perdagangan.
3. Pengaturan persaingan usaha.
3.      Penetapan pedoman perlindungan konsumen.
4.      Pengaturan lalu lintas barang dan jasa luar negeri.
5.      Pengaturan kawasan berikat.
6.      Pengelolaan kemetrologian.
7.      Penetapan standar industri dan produk tertentu yang berkaitan dengan keamanan,
8.      keselamatan umum, kesehatan, lingkungan dan moral.
9.      Penetapan pedoman pengembangan sistem pergudangan.
10.  Fasilitas kegiatan distribusi bahan-bahan pokok.
Dalam bidang kehutanan dan perkebunan, kewenangan Pemerintah meliputi 16 macam; bahkan dalam bidang perhubungan - kewenangan Pemerintah mencapai 31 macam. Tampaknya keraguan sebagian pengamat yang pesimis terhadap kesungguhan Pemerintah untuk melaksanakan otonomi daerah yang luas, menemukan alasan pembenar yang kuat dengan isi PP No. 25/2000 tersebut.
Namun demikian, keraguan tersebut tidak perlu berlebihan karena di sisi lain juga banyak bukti kuat bahwa kewenangan yang besar yang diberikan kepada daerah tersebut, tidak serta merta bisa dilaksanakan dengan baik. Apabila Pemerintah memang mempunyai godwill yang kuat, maka PP No. 25/2000 tersebut beberapa tahun ke depan harus dirubah dan kewenangan bidang tertentu Pemerintah harus dikurangi seiring dengan semakin besarnya kemampuan pemerintah daerah. Tegasnya, PP No. 25/2000 itu akan diubah secara berkala sehingga pada akhirnya sebagian besar kewenangan akan dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Persoalannya terletak pada godwill Pemerintah, dan di pihak yang lain adalah kesungguhan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kemampuannya sehingga bisa melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut dengan baik. Oleh karena itu sangat diperlukan sikap dan kesadaran obyektif dari Pemerintah manapun Pemerintah Daerah, sehingga tidak lagi menimbulkan ketegangan hubungan di antara keduanya.
Disamping masalah besar di atas, penataan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah juga menghadapi beberapa kendala yang perlu ditangani secara seksama, bertahap dan berkelanjutan. Sekarang ini kendala yang sudah jelas adalah bidang yuridis, yaitu belum lengkapnya peraturan pelaksanaan UU No. 22/1999 meskipun sudah melewati batas waktu yang ditentukan yaitu setahun sesudah undang-undang tersebut ditetapkan. Contog yang sangat menonjol dari kasus belum adanya atau belum jelasnya ketentuan pelaksanaan itu adalah keruwetan dalam proses pemilihan Bupati pada awal pelaksanaan otonomi luas ini. keinginan Daerah untuk segera melaksanakan otonomi luas itu tidak seiring dengan kemampuan Pemerintah menyiapkan perangkat aturan pelaksanaannya. Memang masalah itu bisa dimaklumi, karena disamping beratnya pekerjaan itu mengingat bahwa undang-undang tersebut mengandung perubahan yang besar dibandingkan undang-undang sebelumnya, Departemen Dalam Negeri juga dipaksa mengatasi berbagai masalah yang tidak diduga sebelumnya sebagai buah dari euforia reformasi, misalnya tuntutan sebagian masyarakat untuk memberhentikan kepala daerah mereka dll. Kendala yang lain adalah :
1.    Kapasitas Administrasi Pemerintah Daerah .
Sentralisasi yang selama puluhan tahun dipraktekkan di Indonesia, telah menyebabkan kapasitas administrasi pemerintahan daerah kurang berkembang. Ketatnya pengarahan dan kendali pusat menyebabkan perangkat administrasi daerah cenderung bergantung dan pasif, sehingga menjadi tidak mandiri dan kurang inovatif. Karenanya ketika kemudian diberi wewenang yang besar, maka tidak dengan serta merta bisa melaksanakannya.
2.    Kesenjangan Antar Daerah.
Realita bahwa kondisi geografi maupun demografi daerah-daerah di Indonesia yang sangat beragam, dahulu kurang diperhatikan melalui kebijaksanaan Pusat yang cenderung seragam. Akibat dari kebijaksanaan yang seragam itu maka kesenjangan antar daerah yang alami itu, tidak pernah berkurang. Oleh karena itu maka apabila tidak diikuti dengan peningkatan peran alokasi dan distribusi Pemerintah dengan sungguh-sungguh maka akan mengakibatkan kesenjangan antar daerah akan semakin besar. Apabila hal ini terjadi maka akan menimbulkan arus migrasi antar daerah yang pada gilirannya bisa mengganggu stabilitas nasional.
3.    Kesenjangan Politik.
Otonomi daerah yang luas tidak saja memberikan wewenang yang lebih besar kepada Daerah, tetapi juga kekuasaan yang jauh lebih besar kepada politisi lokal. Kekuasaan besar yang dimiliki politisi lokal akan sangat bermanfaat bagi pengembangan daerah, apabila disertai dengan kapasitas yang memadai dan kesadaran serta tanggung jawab politik yang besar pula. Tetapi apabila tidak, maka teratasi namun hanya sekedar berpindah ke daerah-daerah. Di sisi lain kurangnya kesadaran dan tanggung jawab politik elite daerah, akan bisa melahirkan berbagai masalah baru termasuk ancaman disintegrasi bangsa.
4.    Perilaku Birokrasi.
       Sebagian besar birokrasi Indonesia belum memiliki perilaku administrasi negara yang benar. Baru sebagian kecil aparatur birokrasi yang mengerti tujuantujuan negara atau tujuan organisasi (lembaga tempatnya bekerja) kalaupun mengetahui belum tentu segala kegiatan dalam pelaksanaan tugasnya dioreantasikan kepada pencapian tujuan organisasi atau tujuan negara yang telah ditetapkan. Masih banyak pegawai negeri yang bekerja sekedarnya, tanpa mempunyai motivasi yang memadai untuk mewujudkan tercapainya sasaran atau tujuan organisasi yang telah ditentukan. Perilaku birokrasi pemerintah yang cenderung menjadi penguasa dan bukan sebagai pelayan dan abdi masyarakat, adalah contoh yang nyata dari sikap dan perilaku pegawai negeri kita. Untuk mewujudkan tercapainya tujuan-tujuan nasional, maka orientasi pegawai negeri harus dirubah disamping peningkatan kapasitas dan kinerjanya. Proses perubahan dan peningkatan tersebut memerlukan waktu yang cukup lama, karena sebagiannya berkaitan dengan faktor sosial dan budaya masyarakat.  .

c.       Menggagas Upaya Pencepatan Otonomi Daerah Yang Luas
Dalam hubungan ini maka ada beberapa gagasan yang mungkin bisa didiskusikan, yaitu :
1.        Melakukan sosialisasi tentang kebijaksanaan penerapan otonomi daerah yang baru ini, terutama kepada kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat di daerah misalnya : elite lokal, aktifis LSM, tokoh-tokoh pemuda, pimpinan organisasi kemasyarakatan baik sosial, ekonomi maupun politik. Pada gilirannya diharapkan agar mereka ini akan menjadi agen sosialisasi kepada masyarakat di lingkungannya.
2.        Membangun komunikasi yang efektif antara jajaran eksekutif dengan DPRD, sehingga tidak akan terjadi mis-persepsi ataupun kesalahan yang berlarut-larut tanpa diketahui dan diusahakan pemecahannya.
3.        Membangun kesadaran kolekteif dalam masyarakat daerah, agar bisa memahami kemungkinan terjadinya kelambatan atau ketidak sesuaian harapan dengan apa yang dihasilkan, yang terpaksa terjadi karena masalah teknis yang obyektif.
4.        Mendorong Pemerintah agar meningkatkan godwill dalam pelaksanaan otonomi daerah yang baru ini, dan dengan tegas menyelesaikan masalah yang terjadi di tingkat pusat yang bisa menghambat terwujudnya otonomi daerah yang luas itu. Kecenderungan sebagian institusi pusat untuk mempertahankan kekuasaan, harus bisa diatasi dengan segera.
5.        Untuk memperoleh dukungan dari masyarakat, maka elite lokal (Eksekutif dan DPRD) harus meningkatkan kegiatan pelayanan kepada masyarakat dan menghindarkan sikap elitis yang cenderung mengedepankan kepentingan dan keuntungan elite sendiri.

d.      Desentralisasi dan Masalah Pelayanan Kesehatan
           Masa transisi otonomi daerah banyak menimbulkan kebingungan di lapangan, salah satunya mengenai bentuk kelembagaan rumah sakit daerah, hubungannya dengan dinas kesehatan dan pemerintah daerah serta sumber pendanaan. Dulu sebagai unit pelaksana teknis, rumah sakit memperoleh anggaran langsung dari pemerintah pusat lewat departemen dalam negri (Depdagri ). Sejak desentralisasi, anggaran bidang – bidang yang wewenangnya telah didelegasikan ke pemerintah daerah, termasuk kesehatan , disalurkan secara block grant dalam dana alokasi umum.
Setelah didelegasikan, rumah sakit bukan lagi unit pelaksana teknis melainkan bisa dijadikan lembaga teknis daerah atau menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hal ini membawa perubahan hubungan rumah sakit dengan pemerintah daerah, dinas kesehatan, Departemen Kesehatan (Depkes) dan Depdagri.
            Kalaupun bentuk kelembagaan dan struktur organisasi telah ditentukan, masalah belum selesai. Persoalan yang lebih krusial adalah pendanaan. Pasalnya, paradigma pembangunan fisik warisan Orde Baru masih merasuk ke tulang sumsum para pejabat dan politisi. Pemerintah pusat dan daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masih cenderung memprioritaskan alokasi anggaran pembangunan untuk pembangunan fisik, karena lebih mudah dilihat sebagai ukuran keberhasilan. Pembangunan sumber daya manusia-pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial-masih belum diperhatikan. Kalaupun ada komitmen belum diwujudkan dalam alokasi anggaran yang signifikan.
             Rumah sakit belum dilihat sebagai alat untuk memelihara kesehatan penduduk. Pemerintah daerah masih enggan mengalokasikan anggaran untuk rumah sakit, bahkan masih banyak yang melihat rumah sakit sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD).
              Anggaran untuk pembangunan bidang kesehatan sangat tergantung pada kemampuan kepala dinas kesehatan dan manajemen rumah sakit untuk mengadvokasi pemerintah daerahnya serta pemahaman pejabat pemerintah daerah dan politisi lokal terhadap manfaat kesehatan rakyat.
               Kondisi ironis ini dalam jangka panjang akan membahayakan kesehatan penduduk jika tidak dibenahi. Karena itu, di samping upaya advokasi ke pemerintah daerah dan DPRD, akhir Agustus lalu diselenggarakan seminar tentang "Hubungan Fungsional Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Daerah, Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri dalam rangka Pengembangan Pelayanan Kesehatan di Provinsi/Kabupaten/Kota" untuk membahas masalah ini.
              PERSOALAN rumah sakit daerah dipaparkan Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada) dr Umar Wahid. Mengenai biaya operasional umumnya rumah sakit daerah swadana telah dapat menutupi dengan pendapatan sendiri. Namun, rumah sakit daerah nonswadana masih mengalami masalah, terutama jika rumah sakit diperlakukan sebagai sumber PAD terbesar oleh pemerintah daerah dan DPRD. Ada pula upaya DPRD di beberapa daerah untuk mencabut status rumah sakit daerah swadana menjadi rumah sakit daerah nonswadana.
            Untuk pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, lanjut Umar, semua rumah sakit daerah mengalami masalah. Dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) banyak membantu, tapi belum mencukupi. Subsidi dari pemerintah daerah sangat tergantung pada persepsi pemerintah daerah dan DPRD terhadap peran rumah sakit daerah dalam pelayanan bagi pasien miskin. Banyak rumah sakit daerah yang harus membiayai pelayanan pasien miskin menggunakan pendapatan sendiri.
            Rakyat, demikian dr Hasbullah Thabrany DrPH dari Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Universitas Indonesia, menginginkan fasilitas kesehatan termasuk rumah sakit sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat, bukan instrumen ekonomi untuk meningkatkan pendapatan.
            Dasarnya, Pasal 28H Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan dan Pasal 34 (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan layanan umum yang layak.
             Implikasinya, setiap penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis dan membayar sesuai dengan kemampuannya. Rumah sakit adalah tempat pelayanan yang terjangkau dan bermutu memadai bagi seluruh rakyat. Tugasnya memberi pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan medis tanpa membedakan ras, agama, dan kemampuan ekonomi pasien.
            Penyediaan pelayanan rumah sakit adalah tugas dan kewenangan pemerintah daerah. Pelayanan itu dapat diberikan lewat rumah sakit daerah maupun swasta yang diberi mandat pemerintah daerah.
            "Di seluruh dunia, kesehatan dan rumah sakit berada di bawah kendali sektor kesejahteraan, bukan usaha. Rumah sakit berbentuk perusahaan merupakan pelanggaran UUD," ujar Hasbullah.
            Sebaliknya, Direktur Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dr Laksono Trisnantoro MSc PhD menyatakan, otonomi perlu diberikan kepada rumah sakit agar efisien. Di beberapa negara, bahasa yang digunakan untuk otonomi rumah sakit adalah menjadikan rumah sakit sebagai badan usaha. Prinsipnya, mempertahankan kepemilikan pemerintah namun mengurangi biaya rumah sakit dengan cara memberi wewenang meningkatkan penerimaan dari pasien dan mengubah struktur insentif di rumah sakit.
            Dalam badan usaha ada pemisahan fungsi pemerintah sebagai pembayar dan pemberi pelayanan sehingga terjadi hubungan kontraktual antara pemerintah dengan rumah sakit. Pemerintah membayar rumah sakit berdasarkan unit cost untuk pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin. Pemerintah dalam hal ini bisa pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.
             Laksono menekankan tugas rumah sakit pemerintah adalah pelaksana pelayanan kesehatan. Mencari biaya merupakan tugas bagian pemerintah yang lain, misalnya Departemen Kesehatan di pusat atau dinas kesehatan di daerah. Subsidi silang tidak mungkin menutupi biaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Tidak seharusnya rumah sakit dibebani tugas mencari biaya untuk itu.
"Rumah sakit bukan sumber PAD. Pemerintah daerah perlu melakukan investasi dalam bentuk subsidi. Output rumah sakit adalah masyarakat yang sehat dan manajemen biaya yang efisien. Rumah sakit juga berfungsi sebagai penggerak kegiatan ekonomi dengan menyediakan lapangan kerja, membayar pajak, membeli obat dan alat kesehatan," paparnya.
Undang-Undang (UU) Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 tentang otonomi daerah memberi mandat kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sejumlah kewenangan yang selama ini menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat. Dalam bidang kesehatan, kewenangan kabupaten/kota menurut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No 118/ 1500/Pumda antara lain penyelenggaraan standar minimal pelayanan kesehatan, penyelenggaraan jaminan kesehatan sosial, penyelenggaraan pembiayaan pelayanan kesehatan, penyelenggaraan akreditasi sarana dan prasarana kesehatan, dan penyelenggaraan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.
"Pemerintah daerah harus menjamin semua masyarakat di wilayahnya terjangkau pelayanan kesehatan, terutama masyarakat miskin dan kurang mampu. Salah satu lembaga untuk melakukan pelayanan kesehatan adalah rumah sakit daerah," ujar Seman.
Ia mengakui, rumah sakit masih dihadapkan pada hambatan seperti pemikiran bahwa rumah sakit merupakan sumber pendapatan daerah, belum diizinkan mengelola langsung pendapatan fungsionalnya, belum adanya kesesuaian antara kebutuhan, distribusi, dan kualifikasi petugas medis di rumah sakit, sehingga tugas dan fungsi yang dijalankan dalam pelayanan kesehatan masih jauh dari harapan.
Menurut Seman, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan harus menjadi prioritas pemerintah daerah. Hal itu menyangkut terjaminnya pelayanan kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, karena kesehatan merupakan hak asasi yang tak boleh dilalaikan.
"Rumah sakit daerah bukan 'sapi perah' untuk meningkatkan PAD, melainkan pusat layanan kesehatan yang perlu didukung setiap pihak terkait. Pemerintah daerah bersama rumah sakit harus mempunyai perencanaan yang jelas dan pasti untuk operasional dan pemeliharaan rumah sakit. Pemerintah daerah dapat mengalokasikan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang bersumber dari penerimaan fungsional, PAD, dana perimbangan, hibah, pinjaman daerah dan sumber lain yang tidak mengikat," tuturnya.
Di sisi lain, pola pengelolaan keuangan dan pembiayaan rumah sakit yang mandiri harus mulai dipikirkan untuk mengurangi ketergantungan. Pemerintah daerah perlu memberi kesempatan rumah sakit dikelola sebagai instansi yang mandiri dan profesional. Program operasional dan pemeliharaan rumah sakit (OPRS) dalam jaring pengaman sosial (JPS) dari pemerintah pusat untuk menjamin pembiayaan pelayanan rumah sakit bagi keluarga miskin dan kurang mampu di rumah sakit, diharapkan menjadi pendorong peningkatan kinerja rumah sakit dalam mengelola pembiayaan pasien miskin dan kurang mampu.
DALAM hal kelembagaan, menurut Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karawang dr Hanna Permana Subanegara MARS, dalam masa transisi masih banyak rumah sakit daerah yang belum terjamah otonomi daerah.
Lembaga rumah sakit daerah masih menjadi perdebatan di kalangan eksekutif dan legislatif daerah walau sudah terbit Keputusan Presiden (Keppres) No 40/2001 tentang Lembaga Rumah Sakit Daerah dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 1/2002 tentang Organisasi Rumah Sakit Daerah.
Pada prinsipnya, rumah sakit bukan unit pelaksana teknis dinas kesehatan (UPTD). Dinas kesehatan tidak mengatur manajemen internal rumah sakit.
"Dinas kesehatan merupakan penanggung jawab kesehatan di daerahnya, berfungsi menetapkan kebijakan, pengendalian pelaksanaan kebijakan, pembiayaan, dan pengawasan. Institusi lain termasuk rumah sakit wajib melaksanakan kebijakan itu untuk meningkatkan derajat kesehatan di kabupaten/kota," papar Hanna.
Daerah yang telah menerapkan konsep otonomi adalah DKI Jakarta. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta dr A Chalik Masulili MSc menuturkan, konsep otonomi diterapkan dengan pendelegasian sejumlah wewenang. Izin pelayanan kesehatan seperti klinik, rumah bersalin, apotek, dokter, dan bidan praktik kecuali rumah sakit telah diserahkan ke suku dinas kesehatan kota. Setiap unit pelayanan teknis, rumah sakit daerah, dan Puskesmas mendapat mata anggaran sendiri. Dengan itu mereka membuat rencana sendiri untuk pembelian obat dan biaya operasional.
Hanna berpendapat, Dinas kesehatan juga berfungsi mencari dana untuk membayar rumah sakit daerah maupun institusi pelayanan kesehatan lain yang memberi pelayanan kepada keluarga miskin dengan sistem klaim.
"Dana JPS maupun kompensasi BBM yang kini langsung diberikan ke rumah sakit sebaiknya disalurkan ke dinas kesehatan. Dinas kesehatan menerima klaim biaya pelayanan rumah sakit daerah dan rumah sakit lain yang ditunjuk sehingga bisa mengendalikan dan mengawasi pelayanan keluarga miskin oleh rumah sakit," ujarnya.
Terhadap pendapat ini, Kepala Biro Perencanaan Departemen Kesehatan (Depkes) dr Setiawan Soeparan MPH yang ditemui dalam kesempatan berbeda menyatakan, banyak rumah sakit keberatan jika dana disalurkan lewat dinas kesehatan, karena prosesnya makin panjang. Padahal operasional rumah sakit perlu dana cepat. Saat ini Depkes sedang mengevaluasi dan mencari cara terbaik untuk menyalurkan biaya kesehatan bagi penduduk miskin.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Depkes drg Eddie Naydial Roesdal MScPH berpendapat, penyaluran dana kompensasi BBM lewat rumah sakit ataupun dinas kesehatan tidak masalah sepanjang sampai ke yang berhak. Sejauh ini penyaluran lewat rumah sakit berjalan baik dan dianggap tepat, karena langsung ke instansi yang melayani sehingga mempermudah administrasi. Pengelolaan memang perlu ditingkatkan dengan lebih mengaktifkan tim verifikasi.
Bagi masyarakat, yang harus diupayakan dan dijaga semua pihak adalah agar tujuan desentralisasi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat bisa tercapai. Bukan sebaliknya, menciptakan kerajaan-kerajaan kecil dan keruwetan di lapangan. (atk)

C.      KONSEPSI KESEHATAN DALAM ISLAM

  1. Sakit Dalam Pandangan Islam.
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan umat manusia secara beramai-ramai memburu kemewahan hidup, disisi lain masih banyak manusia yang mengalami penderitaan hidup. Akibat ketidak mampuan mengatasi kesulitan hidup banyak manusia yang mengalami kegoncangan jiwa karena tertekan oleh suatu kondisi. Kondisi yang menekan ini membuat jiwanya goncang lalu menimbulkan penderitaan bathin atau muncul bermacam-macam penyakit pada fisik.[1]
            Dalam perjalanan hidupnya didunia, manusia menjalani tiga keadaan penting: sehat, sakit atau mati. Kehidupan itu sendiri selalu diwarnai oleh hal-hal yang saling bertentangan, yang saling berganti mengisi hidup ini tanpa pernah kosong sedikit pun.  Sehat dan sakit merupakan warna dan rona abadi yang selalu melekat dalam diri manusia selama dia masih hidup. Tetapi kebanyakan manusia memperlakukan sehat dan sakit secara tidak adil. Kebanyakan mereka menganggap sehat itu saja yang mempunyai makna. Sebaliknya sakit hanya dianggap sebagai beban dan penderitaan, yang tidak ada maknanya sama sekali. Orang yang beranggapan demikian jelas melakukan kesalahan besar, sebab Allah SWT selalu menciptakan sesuatu atau memberikan suatu ujian kepada hambanya pasti ada hikmah / pelajaran dibalik itu semua. (Q.S. Shaad : 27)
Walaupun demikian tidak seorang pun menginginkan dirinya sakit, namun kalau dia datang manusia tidak kuasa untuk menolaknya. Dalam keadaan sakit seseorang selain mengeluhkan penderitaan fisiknya juga biasanya disertai gangguan/guncangan jiwa dengan gejala ringan seperti stes sampai tingkat yang lebih berat. Hal ini wajar karena secara fisik seseorang yang sedang sakit akan dihadapkan kepada tiga alternatif kemungkinan yang akan dialaminya, yaitu : sembuh sempurna, sembuh disertai cacat sehingga terdapat kemunduran menetap pada fungsi-fungsi organ tubuhnya, atau meninggal dunia. Alternatif meninggal umumnya cukup menakutkan bagi mereka yang sedang sakit, karena mereka seperti juga kebanyakan diantara kita belum siap menghadapi panggilan malakul maut. Kecemasan atau ketakutan pada penderita ini, dapat menyebabkan timbulnya stess psikis yang justru akan melemahkan respons imonologi (daya tahan tubuh) dan mempersulit proses penyembuhan diri bagi mereka yang sakit. Menghadapi kondisi seperti ini bimbingan ruhani sangat diperlukan agar jiwa manusia tidak terguncang dan menjadi lebih kuat, yang pada akhirnya akan membantu proses kesembuhan
            Gangguan psikis lainnya yang sering dialami oleh orang sakit adalah rasa putus asa, terutama bagi penderita yang kronis dan susah sembuh. Karena tipisnya aqidah (keimanan) kemudian muncul keinginan pada diri orang sakit untuk mengakhiri hidup dengan jalan yang tidak diridhai Allah SWT. Semua ini diakibatkan oleh hilangnya keyakinan kepada rahmat Allah SWT, sehingga kadang kala ada pasien yang sengaja meninggalkan ibadah sehari-hari, seperti doa, dzikir, atau sholat. Akibatnya semakin gersanglah nurani orang sakit tersebut dari sibghah ilahi rabbi.


            Sakit sebagai salah satu ciptaan Allah SWT yang ditimpakan kepada manusia juga pasti ada maksudnya. Salah satu hikmah Allah SWT kepada hamba-Nya adalah sebagai ujian dan cobaan untuk membuktikan siapa-siapa saja yang benar-benar beriman.
Sabda Rasulullah SAW :
وإن الله تعالى أذا أحب قوما ابتلاهم فمن رضي فله الرضاومن فله السخط
 (رواه ابن ماجه و الترمذى)
Artinya : Dan sesungguhnya bila Allah SWT mencintai suatu kaum, dicobanya dengan berbagai cobaan. Siapa yang ridha menerimanya, maka dia akan memperoleh keridhoan Allah. Dan barang siapa yang murka (tidak ridha) dia akan memperoleh kemurkaan Allah SWT. (H.R.  Ibnu Majah dan At Turmudzi)
Dalam hadist lain Rasulullah SAW bersabda :
عن ابي هريرة رضي الله عنه : عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما يصيب المسلم من نصب ولا هم ولا حزن ولا أذى ولاغم حتى شوكة يشاكها إلا :فر الله بها خطاياه (رواه البخارى و مسلم)
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Muhammad SAW. Bersabda : Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, kesusahan, kesedihan, penyakit, gangguan menumpuk pada dirinya kecuali Allah SWT hapuskan akan dosa-dosanya             (H.R. Bukhari dan Muslim).
            Allah SWT menciptakan cobaan antara lain untuk mengingatkan manusia terhadap rahmat-rahmat yang telah diberikan-Nya. Allah SWT memberikan penyakit agar setiap insan dapat menyadari bahwa selama ini dia telah diberi rahmat sehat yang begitu banyak. Namun kesehatan yang dimilikinya itu sering kali di abaikan, bahkan mungkin disia-siakan. Padahal ia mempunyai harga yang sangat bernilai tiada tolak ukur dan bandingannya.
 Anjuran Untuk Berobat
Metode pengobatan didunia kedokteran pada umumnya memang hanya mengandalkan terapi fisik belaka, tanpa melihat pasien dari segi ruhaniyahnya. Meskipun diakui bahwa kondisi psikis yang stabil sangat menunjang penyembuhan diri, terlebih lagi bagi orang yang menderita penyakit psikomatik, yaitu penyakit fisik yang diakibatkan oleh stress psikis. Tetapi mungkin dikarenakan adanya beberapa kendala administratif atau misalnya adanya perbedaan agama antara dokter dengan pasiennya, menyebabkan pengobatan ruhani ini menjadi sukar untuk dilaksanakan.
            Menurut paham kesehatan jiwa, seseorang dikatakan sakit apabila ia sudah tidak mampu lagi memfungsikan dirinya secara wajar dalam kehidupan sehari-hari, dengan kata lain manusia tersebut telah mengalami ganggung fisik atau bahkan mungkin gangguan kejiwaaan. Meskipun gangguan jiwa itu dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara tidak langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan efisien
Sebagian orang mengatakan, hal ini disebabkan karena kemiskinan, mereka tidak mampu membayar dokter dan menebus obat. Pada kasus-kasus tertentu, alasan ini dapat diterima. Akan tetapi, bagaimana dengan mereka yang dapat berobat secara gratis, namun mereka tetap tidak mau berobat, malah mereka mengatakan: " Allah SWT yang akan menyembuhkan". Mereka mengira dengan keyakinan seperti itu Allah SWT akan mengasihinya.
Memang benar Allah SWT Maha Penyembuh. Hal itu tidak seorang muslim pun yang meragukannya. Tetapi, bagaimana cara dan metodenya?  Ini diserahkan kepada manusia yang telah diberi Allah berupa potensi akal untuk berfikir, dan diberi pengarahan oleh Rasulullah SAW dengan pengarahan yang benar : " Allah SWT tidak menurunkan penyakit kecuali diturunkan-Nya pula obat". Oleh karena itu bila seseorang ditimpa penyakit diperintahkan untuk berusaha mencari obat supaya sembuh.
Dalam agama (Islam) bagi mereka yang sakit dianjurkan untuk berobat kepada ahlinya disertai dengan berdo’a dan berdzikir. Bagi pemeluk agama (Islam) do’a dan dzikir merupakan salah satu bentuk komitmen keagamaan/keimanan seseorang[6].  Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran yang pesat timbul kesadaran diantara para ahli biologi bahwa pendekatan biologis saja tidak cukup untuk menangani orang yang terkena penyakit. Kita menyadari bahwa manusia sebagai mahluk ciptaan Allah SWT yang sempurna dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti mental spiritual, sosial budaya, dan unsur biologisnya sendiri. Dengan demikian pedekatan yang menyeluruh (holistik) merupakan pendekatan yang paling tepat dalam pelayanan kesehatan.
            Metodologi pengobatan nabi terhadap suatu penyakit biasa dilakukan dengan tiga cara : pertama, dengan menggunakan obat-obatan, kedua, Dengan menggunakan obat-obatan bernuansa wahyu. Ketiga, kombinasi dari kedua jenis pengobatan tersebut.[7] Seperti yang diketahui, mereka yang spesialis tentang masalah penyakit dan obat adalah para dokter, karena itu berobatlah dan minta nasehatlah kepada mereka, tentu saja disertai dengan tawakal kepada Yang Maha Sembuh (berupa do'a dan dzikir sebagai pelengkap terapi medik).
Suatu hal yang dapat disimpulkan dari hadist Rasulullah SAW tersebut diatas ialah memberikan harapan yang sangat besar kepada orang-orang yang sakit, bahwa setiap penyakit ada obatnya. Mereka yang sakit sangat sukar membuka pintu harapan dan optimisme untuk dirinya sendiri, sebab kondisi jiwa mereka dalam keadaan tidak normal. Mereka juga dianjurkan Rasulullah SAW berharap sehat dengan segera, tidak boleh putus asa terhadap masa depan, berdo'a dan berdzikir untuk proses percepatan kesembuhan. Hal ini merupakan suatu faktor yang efektif untuk membantu kesembuhan seseorang, disamping obat. (insya Allah).
Islam adalah agama untuk semesta alam, dimana didalamnya selalu mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan dan mengajak manusia untuk beribadah, berusaha, dan beramal yang dilandasi keimanan hanya kepada Allah semata. Sebagai agama yang rahmatan lil'alamin, Islam mempunyai aturan-aturan / hukum syariat yang melindungi agama, jiwa, akal, jasmani, harta dan keturunan. Dan tiga dari keenam hal tersebut yakni jiwa, jasmani dan akal sangat berkaitan erat dengan kesehatan, oleh karena itu ajaran Islam sangat sarat dengan tuntunan bagaimana memelihara kesehatan Jasmani dan kesehatan ruhani.  
Pepatah dalam Islam mengatakan didalam Iman yang kuat terdapat jiwa yang sehat dan tubuh yang kuat. Hal inilah yang mendasari bahwa untuk manusia bisa selalu sehat adalah selalu melakukan beberapa upaya dan cara untuk bisa menjaga kesehatannya yakni dengan cara menjaga kesehatan fisik dan jiwa yang dilandasi dengan keimanan.
Dalam bahasa Indonesia  sering didengar istilah sehat wal afiat, yang dua kalimat tersebut (sehat dan afiat) dimaknakan sama yakni sebagai keadaan baik segenap badan serta bagian-bagiannya, yakni bebas dari penyakit, atau lebih dikenal dengan kesehatan fisik, mental dan kesehatan masyarakat.
Substansi dari istilah kesehatan tersebut sepenuhnya dapat ditemukan dalam ajaran Islam, tetapi yang perlu digaris bawahi ialah bahwa pengertian kesehatan dalam Islam lebih merujuk kepada pengertian yang terkandung dalam kata afiat. Sebab sehat dan afiat itu mempunyai makna yang berbeda kendati tak jarang hanya disebut dengan salah satunya, karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang terkandung dalam kata yang tidak disebut.
Dalam kamus bahasa arab sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan dan afiat diartikan sebagai perlindungan Allah SWT untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipudaya. Perlindungan Allah itu sudah barang tentu tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi orang-orang yang mematuhi petunjuk-Nya. Dengan demikian makna afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Untuk lebih memahami makna sehat dan afiat, berikut diberikan suatu pemaknaan dari organ tubuh yang ada. Mata yang sehat misalnya adalah mata yang mudah digunakan untuk melihat dan membaca tanpa memerlukan bantuan kacamata, tetapi mata yang afiat adalah mata yang mudah digunakan untuk melihat objek-objek yang bermanfaat dan halal, namun sulit digunakan untuk melihat objek-objek yang diharamkan, karena itulah sebenarnya fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.


  1. Kesehatan Fisik.
            Majlis Ulama Indonesia dalam musyawarah Nasional Ulama tahuun 1983 merumuskan kesehatan sebagai ketahanan “jasmaniah, ruhaniyah dan social” yang dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya, dan memelihara serta mengembangkannya. Nabi Muhammad SAW bersabda bersabda bahwa “Mukmin yang kuat itu lebih disukai Allah dibanding  mukmin yang lemah”.  Hadist ini mempunyai makna bahwa kesehatan fisik sangat perlu diperhatikan yang mengandung ungkapan tentang kesehatan, baik kesehatan tubuh maupun kesehatan otak.
            Tuntunan agama dalam hal memelihara kesehatan, sejalan dengan pola ajaran Islam secara menyeluruh, yakni mencegah terjadinya sesuatu yang berakibat buruk atau mengambil langkah-langkah prefentif seperti yang diungkapkan dalam kaidah “mencegah lebih baik dibanding mengobati.
 Setiap insan sudah sangat mengenal ungkapan ‘bersih pangkal sehat” dan  mengetahui sabda rasulullah SAW :“kebersihan merupakan sebagian dari iman”. Agama Islam menyangkut kebersihan bahkan masuk dalam system peribadatan tertentu menentukan sah atau tidaknya suatu amalan ibadah, seperti berwudhu, membersihkan kotoran buang air besar dan air kecil, (istinja), mandi janabat, disamping yang sunnah, seperti bersiwak, cuci tangan sebelum makan, larangan kencing diair yang tidak mengalir, atau di bawah pohon atau ditempat-tempat umum fasilitas umum dan lain sebagainya.
Prinsip pencegahan juga nampak dari ajaran Islam tentang makanan. Firman Allah SWT :Artinya : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. Al-A’raf ; 31)
            Dalam ayat ini diingatkan agar manusia setiap ingin menjalankan ibadah hendaklah memakai pakaian yang bersih lagi indah, Karena Allah SWT itu indah dan menyukai keindahan. Selain itu al-qur’an melarang minum atau makan sesuatu secara berlebih-lebihan. Ditemukan pula peringatan dalam hadist yang intinya menyebutkan bahwa pola makan yang salah akan menjadi biang segala penyakit, karena perut itu merupakan sumber penyakit. Al-qur’an juga mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena ia dinilai kotor atau rijs yang mempunyai maksud penciptaan untuk dimanfaatkan, bukan untuk dijual, atau disalahgunakan.

  1. Kesehatan Jiwa (Mental)
            Kalau kita memperhatikan kehidupan masyarakat sehari-hari, akan banyak dijumpai orang dengan ragam perangainya. Ada orang yang selalu nampak riang gembira dan bahagia meski hidupnya amat sederhana. Dalam segala keadaan ia tetap menjadi dirinya, disukai orang, tidak mempunyai musuh, dan pekerjaan selalu berjalan lancar. Sebaliknya ada orang yang selalu murung, mengeluh dan kecewa, padahal secara lahir fasilitas hidupnya tercukupi atau lebih dari cukup. Ia tidak bisa akur dengan orang lain, tidak bersemangat dalam melaksanakan tugas. Ia selalu gelisah, cemas dan tidak pernah mencapai kepuasan batin. Disamping itu ada juga dijumpai orang yang pekerjaannya mengganggu orang lain, melanggar hak dan ketenangan orang lain, menyebarkan gosip, fitnah, adu domba, menganiaya, menyeleweng, menipu, dan perilaku menyimpang lainnya.
            Itu semuanya berhubungan dengan tingkat kesehatan mentalnya, kesehatan jiwanya. Dalam al-qur’an manusia disebut sebagai basyar dan sebagai insan disamping sebagai bani adam. Basyar lebih merujuk pada persamaan manusia sebagai fisik, sedangkan insan merujuk kepada mahluk yang berfikir dan merasa. Sebagai basyar manusia banyak kesamaannya, tetapi sebagai insan manusia berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu bisa menyangkut kecerdasan, tabiat, karakter, dan temperamennya.
 Dalam pandangan Islam, hidup di dunia adalah bagaikan orang yang sedang menanam diladang, sementara masa panen yang sebenarnya berada dikehidupan yang lain. Hidup didunia secara keseluruhan adalah pekerjaan menanam sementara buahnya dipetik dimasa yang lain. Ungkapan lain menyebutkan bahwa hidup didunia bagaikan orang yang sedang menyebrang, dunia adalah jembatan, sedangkan ujung dari jembatan dunia ini adalah akhirat. Dunia dan akhirat dalam pandangan Islam bukan merupakan dua hal yang terpisah, tetapi bersambung, berurutan, dimana dunia dipandang sebagai kehidupan fana sementara akhiratlah kehidupan yang sebenarnya (Q.S. Al-Ankabut : 64).

D.      TANTANGAN DAN HARAPAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SDM KESEHATAN YANG MENDUKUNG PROGRAM KESEHATAN MASYARAKAT

Program kesehatan masyarakat adalah bagian dari program kesehatan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD-1945.

  1. Program Kesmas Vs Yanmed

?
KESMAS
?
YANMED
1
Pelaksana: ahli kesmas
1
Tenaga dokter
2
Tujuan: meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit
2
Menyembuhakan penyakit dan memulihkan kesehatan
3
Sasaran: kelompok dan masyarakat
3
Perorangan dan keluarga
4
Mengutamakan aspek efisiensi
4
Mengutamakan aspek efektifitas
5
Promosi dibenarkan
?
Bertentangan dengan etika
6
Memberdayakan masyarakat dan mendapat dukungan UU
6
Upaya perorangan dan tunduk pada UU
7
Pendapatan: dari gaji
7
Dari imbal jasa pasien
8
Pertanggungjawaban: kepada masyarakat melalui badan legislatif
8
Kepada individu pasien
9
Dapat monopoli pelayanan
9
Menghadapi banyak saingan
10
Masalah administrasi dan kepemimpinan komplek
10
Masalah adminstrasi dan kepemimpinan sederhana

  1. Karakteristik Program Kesehatan Masyarakat ?
  1. Pada umumnya merupakan upaya pemerintah, diselenggarakan oleh pegawai pemerintah dengan latar belakang pendidikan kesehatan masyarakat (public health officer) serta didukung oleh anggaran belanja pemerintah
  2. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesehatan (promotion) serta mencegah timbulnya penyakit (prevention) melalui penerapan intervensi prilaku, lingkungan dan manajemen dengan dukungan biostatistik dan epidemiologi
  3. Sasaran utamanya adalah: masyarakat secara keseluruhan, yang untuk tercapaianya hasil yang optimal perlu diberdayakan sehingga dapat berperan sebagai mitra pemerintah dalam melaksanakan setiap upaya kesehatan masyarakat
  4. Mendapat dukungan serta dapat memanfaatkan kekuasaan perundang-undangan, mengutamakan prinsip efisiensi serta penyelesaian masalah-masalah kesehatn masyarakat.

  1. Sarana Kesehatan Masyarakat ?
  1. Sarana kesehatan masyarakat adalah berbagai instansi pemerintah yang diserahkan tanggung jawabnya mengelola program kesehatan
  2. Untuk Indonesia sarana tersebut adalah: Puskesma, Dinas kesehatan kabupaten/ Kota, Dinas kesehatan propinsi dan departemen kesehatan
d.      Tenaga Kesehatan Masyarakat ?
  1. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (UU No. 23 tahun 1992)
  2. Tenaga kesehatan masyarakat adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesmas serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan dibidang kesmas (ilmu kesehatan masyarakat).

  1. Ilmu Kesehatan Masyarakat ?
Ilmu dan ketrampilan untuk mencegah penyakit, memperpanjang usia hidup, memelihara kesehatan jasmani dan rohani serta meningkatkan efisiensi melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk penyehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, pendidikan setiap orang dalam prinsip kesehatan perorangan, mengatur usaha pengobatan dan perawatan guna diagnosis dini dan pengobatan pelbagai penyakit dan mengembangkan badan-badan kemasyarakatan yang akan memberi jaminan bagi setiap orang di dalam masyarakat suatu derajat hidup yang cukup guna mempertahankan kesehatannya.

  1. Jenis Tenaga Kesehatan Masyarakat ?
  1. Tenaga kesehatan terdiri dari :
    1. Tenaga medis (dokter dan dokter gigi)
    2. Tenaga keperawatan (perawat dan bidan)
    3. Tenaga kefarmasian (apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker)
    4. Tenaga gizi (nutrisionist dan dietisian)
    5. Tenaga keterapian fisik (fisioterapis, okupasiterapis dan terapi wicara)
    6. Tenaga ketehnisan medis (radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optision, otorik prostetik, teknisi trasfusi, dan perekam medik), serta
    7. Tenaga kesmas (PP No.32 tahun 1996)
  2. Tenaga kesmas adalah: semua jenis tenaga kesehatan yang mendapatkan tambahan pendidikan serta berkiprah dibidang kesehatan masyarakat
  3. Tambahan pendidikan yang dimaksud setidak-tidaknya dalam bidang biostatistik, epidemiologi, perilaku, kesehatan lingkungan dan manajemen kesehatan
  4. Dokter dan dokter gigi selama proses pendidikannya telah mendapatkan pelajaran kesmas dan karena itu sekalipun termasuk dalam kategori tenaga medis, namun kalau mereka berkiprah disarana kesehatan masyarakat (misal Puskesmas) maka mereka pada dasarnya adalah juga tenaga kesmas.

  1. Tantangan ?
  1. penghasilan rendah dan karena itu minat menjadi tenaga kesmas relatif kurang
  2. Pengembangan karier dan prospek masa depan, karena lahan kerja dan perhatian pemerintah terbatas, relatif kurang menguntungkan
  3. Upaya promosi dan preventif yang menjadi lahan kesmas pada saat ini telah membutuhkan intervensi (pengetahuan/ keterampilan) medis
  4. Jumlah lembaga pendidikan kesmas bertambah pesat sementara itu perkembangan lahan kerja terbatas

  1. Paket Kesehatan Terpadu Untuk Si Miskin
Penanggulangan kemiskinan tidak selalu harus berbentuk bantuan uang atau pangan. Justru perubahan pola perilaku kolektif yang lebih diutamakan. Melalui pola hidup sehat diharapkan kaum miskin dapat menanggulangi kemiskinannya sendiri. Karena, jika kita sehat, maka biaya yang kerap digunakan untuk berobat dapat dialihkan untuk kegiatan produktif lain.
Demikian dikatakan Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Landak Konyis SH yang juga merupakan Ketua Pakem Kesehatan dalam sambutan kegiatan penyuluhan gizi pada salah satu kegiatan PAKET P2KP di Kecamatan Sidas, beberapa waktu lalu. Selain itu, ada pula kegiatan yang bersifat mengobati dalam bentuk pengobatan massal untuk 1.385 orang di desa-desa yang masuk kategori miskin dan bukan perkotaan. Ternyata jumlah masyarakat yang datang ke kegiatan tersebut, jauh melebihi target. ”Dengan demikian, lanjutnya, dapat dikatakan program lanjutan P2KP ini sebagai program PAKET kesehatan terpadu untuk si miskin,” tegas Konyis.
Walau respon dari seluruh komponen masyarakat menggembirakan, masih ada yang menganggap kegiatan tidak seluruhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Seperti yang dikatakan Tobing, salah seorang tokoh masyarakat Kersik Blantian. Ia mengatakan, program pembagian abate untuk daerah-daerah lintas jalur sutra sudah cocok. ”Namun, untuk kami yang ada di pedalaman, penyuluhan penyakit malaria dan demam berdarah itu bukan prioritas. Begitu juga untuk Temahar. Pembagian garam beryodium di sana, dianggap bukan kebutuhan. Justru yang jauh lebih berguna di tempat ini mungkin penyuluhan mengenai penyakit TBC,” tandasnya. Untuk itu, pelibatan tenaga lokal seperti tenaga puskesmas dan bidan desa harus lebih dominan seperti dalam program P2KP sebelumnya.
Andre, Fasilitator P2KP yang mendampingi Pakem Kesehatan mengatakan, dalam program pengobatan gratis di BLM Tahap-3 lalu, hampir semua ditangani personel Puskesmas dan bidan desa setempat, sehingga lebih mengenai sasaran kebutuhan tiap lokasi. Sedangkan dalam PAKET, Ketua Pakem yang berasal dari Dinas Teknis, lebih dominan. ”Begitu juga untuk masyarakat yang meminta disuntik, kali ini diminta membayar Rp 10.000 per orang, karena itu (suntik) tidak termasuk dalam budget program. Tapi, masyarakat tak mau tahu soal itu,” ujarnya.
Meski demikian, keberhasilan program penyuluhan gizi dan pengobatan gratis ini tak terlepas dari peran serta seluruh masyarakat, terutama kerja keras seluruh Panitia kemitraan. Bahkan Hendri yang baru saja jadi ayah, rela tidak pulang seminggu terakhir guna berkeliling desa sasaran program.


”Mudah-mudahan dalam termin 2 nanti, kegiatan PAKET P2KP dapat lebih lancar. Selain pelakunya lebih paham, juga diharapkan dana dampingan pemda sudah cair. Dengan begitu, Pokja Paket dan Komunitas Belajar Perkotaan (KBP) yang seharusnya terjun ke lapangan untuk memonitoring tiap kegiatan Pakem, dapat benar-benar terlaksana.
























BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada daerah , untuk mengatur daerahnya.Dalam hal ini kesehatan masyarakat pada suatu daerah tertentu sangat memerlukan bantuan pemerintah daerah untuk mengayomi dan mengarahkan petugas kasehatan, guna pemberian pelayana masyarakat yang lebih baik.Bahkan dalam pandangan Islam pun telah ditekankan betapa pentingnya kesehatan untuk pembangunan pemerintahan yang lebih baik.

B . Saran
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya , pemerintah tidak harusmemusatkan perhatiannya kepada petugas kesehatan , tetapi bagaimana pemerintah mampu untuk mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk mau dan mengupayakan terciptanya kesehatan itu mulai dari diri pribadi.
 penerapan paradigma sehat (15 determinan) memberikan porsi tinggi pada upaya promotif dan preventif
Makin meningkatnya kesadaran akan pentingnya pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok public goods
Berkembangnya berbagai upaya dan riset kesehatan yang membutuhkan dukungan ilmu kesmas.