Karya Ilmiah
PERAN OTONOMI DAERAH DALAM
PENINGKATAN KESEHATAN MASYARAKAT
Oleh :
Ansyaruddin
IKATAN
PEMUDA PELAJAR MAHASISWA PANGKEP
KOORDINATOR
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
(UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa tercurah atas kehadirat Allah
SWT, sebab berkat ridha dan rahmat-Nyalah sehingga kita masih diberikan
kesempatan dan kesehatan sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Dan tak
lupa pula kita panjatkan shalawat dan salam atas junjungan besar kita Nabiullah
Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kebiadaban menuju ke zaman
yang lebih beradab.
Dalam karya ilmiah ini kami sangat menyadari akan
banyaknya kekurangan di dalamnya,namun itulah fitrah manusia yang tidak akan
pernah lupuk dari kesalahan. Karena itu, kami senantiasa membuka diri untuk
menerima saran dan kritikan teman – teman sekalian guna perbaikan kedepannya.
Makassar, Desember 2008
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul .......................................................................................................... i
Kata
Pengantar .......................................................................................................... ii
Daftar
Isi ................................................................................................................... iii
Bab
I (Pendahuluan)
A.
Latar Belakang .............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
Bab
II (Pembahasan)
A.
Sekilas Tentang Otonomi Daerah ................................................................. 3
B.
Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah ......................................... 6
C.
Konsepsi Kesehatan Dalam Islam ................................................................. 19
D. Tantangan dan Harapan
Pengembangan dan Pemberdayaan
SDM
Kesehatan Yang Mendukung Program Kesehatan Masyarakat ..... .... 27
Bab
III (Penutup)
A.
Kesimpulan ................................................................................................... 33
B.
Saran ............................................................................................................. 33
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sampai saat ini di lingkungan negara-negara
yang sedang berkembang masalah hubungan antara Pusat dan Daerah masih menjadi
salah satu isu sentral, terutama di negara yang wilayahnya sangat luas atau
kehidupan penduduknya secara sosial maupun ekonomi hiterogen. Pengalaman
menunjukkan bahwa karena pemerintahan daerah yang mencerminkan hubungan
kekuasaan antara Pusat dan Daerah terfokus pada aspek politik, maka masalah
kesenjangan hubungan keduanya sering berakibat pada ancaman disintegrasi
nasional. Perang Biafra di Nigeria, pergolakan Propinsi-propinsi di Pakistan
Timur yang kemudian menjadi Bangladesh sekarang, Eritrea dengan Ethiopia dan
konflik di semenanjung Jafna Srilangka dan sebagainya adalah contoh besarnya
akibat yang bisa ditimbulkan dari masalah hubungan kekuasaan antara Pusat dan
Daerah.
Pengalaman lain juga menunjukkan bahwa masalah
hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah tersebut, lebih sering timbul di
negara-negara kesatuan yang sejumlah sekitar 80% dari jumlah negara di dunia
dewasa ini. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa negara-negara federal
masalah semacam itu tidak pernah ada, hanya saja di negara-negara federal tidak
sampai mengancam kesatuan nasional mereka. Adanya pemerintahan daerah merupakan
hal yang sangat penting dalam membangun sistem pemerintahan negara yang
demokratis, karena bisa menampung pluralisme bangsa yang bersangkutan,
mendorong partisipasi masyarakat dan memberikan tambahan pilihan bagi warganya
terutama yang bersangkutan dengan kebutuhan dan kepentingan penduduknya.
Dengan adanya pemerintahan daerah, maka
pluralisme yang ada dalam masyarakat negara baik sosial, budaya, ekonomi dan
lainnya bisa ditampung dalam wadah pemerintahan daerah masing-masing sehingga
tidak mengarah kepada otokrasi sentral. Dalam wilayah mereka, keragaman yang
ada dalam masyarakat tetap terpelihara sehingga menjadi akar kebangsaan, tanpa
kemudian harus menaifkan ciri-ciri khusus kedaerahan yang ada. Melalui
pemerintahan daerah juga bisa diberi kesempatan yang lebih luas bagi penduduk
untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah mereka,
melalui bermacam-macam dewan daerah baik yang bersifat politik (seperti DPRD di
Indonesia) maupun ekonomi (misalnya Komite Perlindungan Konsumen Daerah) atau
sosial misalnya Dewan Pemangku Adat Daerah dan sebagainya. Masyarakat juga
mempunyai kesempatan untuk memperoleh pilihan yang lebih banyak, dari pelayanan
umum yang disediakan pemerintahan daerah selain yang disediakan oleh
pemerintahan secara nasional.
B.
Rumusan Masalah
§
Apa yang dimaksud dengan otonomi daerah.
§
Bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah.
§
Seperti apa pandangan islam terhadap kesehatan
masyarakat.
§
Apa saja program pemerintah agar tercipta
kesehatan masyarakat yang baik.
BAB II
MEMBANGUN
OTONOMI DAERAH BAGI SEMUA
A.
Sekilas
Tentang Otonomi Daerah
Otonomi daerah membawa perubahan yang bisa
memunculkan aspirasi dan partisipasi masyarakat setempat dalam pembangunan.
Tetapi, di sisi lain dalam perkembangannya, otonomi daerah juga melahirkan
persoalan ketika lahir peraturan daerah yang tidak sejalan dengan sistem hukum
nasional dan mendiskriminasi perempuan.
Indikasi peraturan daerah yang mendiskriminasi
perempuan sudah ditemukan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan), yaitu berjumlah 29 kebijakan daerah.
. Meskipun demikian, bukannya tidak ada model
kebijakan daerah yang dapat ditiru. contoh Perda Provinsi Jawa Timur tentang
perlindungan bagi anak dan perempuan korban kekerasan rumah tangga, yang
merupakan satu-satunya perda semacam ini di Indonesia.
Sering Dilanggar
Sebagian masyarakat merasa bahwa munculnya berbagai kebijakan daerah yang
berkaitan dengan hak asasi manusia, khususnya perempuan, terasa sejak
diresmikannya otonomi daerah (otda). Otda itu diatur melalui UU Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Meskipun UU tersebut secara tegas mengatur
kewenangan bidan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter
dan fiskal, agama, serta bidang lain merupakan kewenangan pemerintah pusat,
tetapi dalam pelaksanaan peraturan tersebut semakin sering dilanggar.
Tidak
jarang pengertian otonomi daerah diartikan berlebihan tanpa mengindahkan
peraturan perundangan yang berlaku.
"Hal
itu dibuktikan dengan dibatalkannya 546 peraturan daerah antara tahun 2002
sampai Agustus 2006. Meskipun awalnya pembatalan peraturan daerah itu
disebabkan adanya berbagai pengaturan yang berhubungan dengan pajak dan
retribusi daerah, tetapi kemudian terdapat pengajuan pembatalan peraturan
daerah yang membatasi hak asasi manusia, khususnya perempuan atau yang
berhubungan dengan agama," ujar Maria Farida.
Berbagai perda menghindar dari ketentuan UU
Nomor 22 Tahun 1999 dan menggunakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu dibolehkannya membuat kebijakan
daerah sesuai kondisi daerah. Dengan demikian, kebijakan tersebut berlindung di
balik alasan "karena keinginan masyarakat". tidak ada alasan setiap
daerah dapat membuat peraturan daerah yang dapat melanggar undang-undang di
atasnya, bahkan melanggar hak asasi, dengan alasan kekhususan daerah.
Landasan
Tidak Kuat
Persoalan dengan lahirnya perda-perda yang
kontroversial adalah dilupakannya prinsip dasar peraturan hukum, yaitu
peraturan tersebut, termasuk peraturan daerah, harus menjamin hak asasi
manusia.
Prof. Dr Syahrizal MA mengatakan, berdasarkan
pengalamannya, penyusunan kebijakan daerah sering dilakukan terburu-buru karena
tekanan ekonomi, politis, atau budaya sehingga penyusunannya melupakan bahwa
peraturan dibuat agar dapat dilaksanakan, berdaya guna, dan berhasil guna bagi
masyarakat.
Dalam kasus Aceh, dalam pembuatan qanun
(peraturan daerah) misalnya, para inisiator dari DPRD ataupun pemda kerap tidak
memiliki kerangka acuan yang jelas walaupun panduan pembuatan peraturan daerah
ada dan cukup rinci.Syahrizal, memiliki Dinas Syariat Islam yang tugasnya,
antara lain, menyiapkan draf rancangan qanun. Tetapi, karena dinas tersebut
juga disibuki dengan urusan birokrasi, mereka tidak dapat menyusun dengan
mendalam dasar filosofis, tujuan, dan mengapa dibutuhkan sebuah perda. Ditambah
dengan desakan politis untuk segera melahirkan qanun, maka lahir qanun yang
dapat bersifat kontroversial.
Meskipun tidak ada undang-undang yang
mengharuskan adanya naskah akademik menyertai penyusunan kebijakan daerah dan
kebijakan itu sah berlaku bila telah dibahas bersama antara legislatif dan
eksekutif, hampir tidak adanya naskah akademik pada sebagian besar peraturan
daerah menyebabkan perda tidak menjamin kepastian hukum, tidak mengayomi
masyarakat, dan dapat melanggar hak asasi.
Dipantau
Dari Awal
Sebagian masyarakat sepakat bahwa pemantauan
terhadap perda harus dilakukan sejak awal, yaitu mulai dari rencana, pengajuan,
pembahasan, pengesahan, dan pelaksanaan di masyarakat.
Maria Farida mengingatkan, penyusunan kebijakan
daerah yang menyangkut moral, adat, dan agama, serta menyangkut hal-hal yang
bersifat privat, harus benar-benar melalui kajian yang mendalam dan dipastikan
diterima luas oleh masyarakat sebelum disahkan. Aturan yang menyangkut adat,
moral, dan agama sebetulnya tanpa diformalkan dalam peraturan hukum pun akan
tetap hidup selama masih ada masyarakat yang mendukungnya.
Mengenai qanun di Aceh terdapat dua kelompok,
yaitu yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan qanun yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat (qanun syariat Islam). Yang disebut
terakhir, seperti disebutkan dalam Pasal 235 UU Nomor 11 Tahun 2006, tidak
dapat dibatalkan pemerintah, kecuali melalui uji materi oleh Mahkamah Agung.
Syahrizal menyebut, karena formalisasi syariat
telah terjadi pergeseran urusan yang semula merupakan urusan pribadi kini
menjadi urusan publik. Dia mencontohkan aturan orang tiga kali berturut-turut
tidak shalat Jumat tanpa alasan akan dipenjara enam bulan atau dihukum cambuk
di depan umum tiga kali.
Syahrizal mengingatkan, penyusunan materi qanun
syariat harus dimulai dengan penelitian serius dalam kerangka normatif dan
sosiologis. Kerangka normatif menuntut untuk menelaah dan meneliti kembali
doktrin fikih karena doktrin di dalam buku fikih, seperti fikih jinayah
(pidana) sangat minim nilai operatifnya. Kerangka sosiologis mengharuskan
meneliti tingkat penerimaan masyarakat terhadap hukum agama di dalam kitab
fikih sehingga diketahui perasaan hukum dan hukum yang hidup di masyarakat.
Qanun syariat yang dibentuk harus memenuhi rasa
keadilan, perasaan hukum, dan sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.
"Hukum menyangkut adat dan agama yang hidup adalah yang dirasakan memberi
manfaat kepada masyarakat karena akan dilestarikan masyarakat. Hukum yang
memenuhi hal itu bila diformalkan akan diterima masyarakat," ungkap
Syahrizal.
B.
HUBUNGAN
PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.
a.
Peranan
Ekonomi Pemda
Pandangan
teori ekonomi terutama menekankan pada peran Pemda sebagai penolong masyarakat
dalam menyediakan pelayanan umum dan berusaha menetapkan persyaratan atau
membuat keadaan yang bisa memaksimalkan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya.
Memang pendekatan ini hanya bisa dipakai atau dipergunakan, sepanjang
bagian-bagian sumber analisa ekonomi dapat diketahui, misalnya data dan informasi
mengenai perusahaan-perusahaan yang benar-benar bersifat bisnis (bukan politis
atau lainnya), aspek-aspek sosiologi yang mempengaruhi perilaku ekonomi
masyarakat dan perspektif lainnya dalam perekonomian. Pada tingkat yang lebih
luas kebijaksanaan dari lembaga demokrasi lokal yang kuat bisa menjadi suatu
bentuk pembangunan kemampuan dan penguatan institusi nasional, yang merupakan
sebuah prasarat penting bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam jangka
panjang.
Desentralisasi
yang melahirkan pemerintah daerah diperlukan karena sangat bermanfaat untuk (1)
meredam in efisiensi didalam sistem pemerintahan yang dikontrol secara sentral
(oleh pemerintah Pusat). (2) Sebagai alat/sarana privatisasi berbagai kegiatan
masyarakat (termasuk yang merupakan pelayanan publik) (3) mengurangi ketegangan
dalam bidang keuangan pada tingat pemerintah nasional. (lihat Bailye)
Kiranya
perlu juga diperhatikan bahwa dalam bidang ekonomi pemerintah mempunyai empat
macam peranan yaitu 1) alokasi, 2) distribusi, 3) regulasi, dan 4) stabilisasi.
Apabila pemerintah daerah bisa menjalankan peranan ekonominya dengan baik, maka
bukan saja akan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya tetapi juga akan mendukung
stabilitas dan kemajuan ekonomi nasional.
b. Hubungan
Pusat dan Daerah di Era Reformasi
Undang-undang No. 22/1999 mencerminkan
pergeseran politik Pemerintah yang besar dalam desentralisasi pemerintahan.
Pada dasarnya Pemerintah hanya memegang kewenangan di bidang : keuangan dan
moneter, luar negeri, peradilan, pertahanan dan keamanan, agama dan kewenangan
bidang lain. Kewenangan bidang lain sebagaimana termaksud pada ayat (1) Pasal :
7 Undang-undang itu, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan,
sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Dengan
demikian maka kewenangan yang lain di luar lima bidang tersebut menjadi
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi, Pasal 2
ayat (3) PP tersebut kewenangan Pemerintah Propinsi adalah dalam bidang :
1. Pertanian
2. Kelautan
3. Pertambangan
dan Energi
4. Kehutanan
dan Perkebunan
5. Perindustrian
dan Perdagangan
6. Perkoperasian
7. Penanaman
Modal
8. Kepariwisataan
9. Ketenagakerjaan
10. Kesehatan
11. Pendidikan
Nasional
12. Sosial
13. Penataan
Ruang
14. Pertanahan
15. Pemukiman
16. Pekerjaan
Umum
17. Perhubungan
18. Lingkungan
Hidup
19. Politik
Dalam Negeri dan Administrasi Publik
20. Pengembangan
Otonomi Daerah
21. Perimbangan
Keuangan
22. Kependudukan
23. Olah
Raga
24. Hukum
dan Perundang-undangan
25. Penerangan.
Adapun kewenangan Kabupaten dan Kota pada
dasarnya sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Propinsi. Dengan
begitu maka meskipun bagi Kabupaten dan Kota diwajibkan melaksanakan sedikitnya
11 bidang kewenangan, yaitu :
1. Pekerjaan
Umum
2. Kesehatan
3. Pendidikan
dan Kebudayaan
4. Pertanian
5. Perhubungan
6. Perindustrian
dan Perdagangan
7. Penanaman
Modal
8. Lingkungan
Hidup
9. Pertanahan
10. Koperasi
11. Tenaga Kerja.
Kendatipun dengan melihat bidang-bidang
tersebut, kewenangan Pemerintah Propinsi kelihatan sangat luas tetapi apabila
dikaitkan dengan besarnya porsi kewenangan Pemerintahan dalam hal-hal tertentu
dalam 25 bidang kewenangan tersebut; maka sebenarnya kewenangan Pemerintah
masih sangat besar. Sebagai contoh adalah kewenangan pemerintah dalam bidang
Perindustrian dan Perdagangan, yang meliputi :
1. Penetapan
kebijakan fasilitasi, pengembangan dan pengawasan perdagangan berjanga
komoditi.
2. Penetapan
standar nasional barang dan jasa di bidang industri dan perdagangan.
3. Pengaturan persaingan usaha.
3. Pengaturan persaingan usaha.
3. Penetapan
pedoman perlindungan konsumen.
4. Pengaturan
lalu lintas barang dan jasa luar negeri.
5. Pengaturan
kawasan berikat.
6. Pengelolaan
kemetrologian.
7. Penetapan
standar industri dan produk tertentu yang berkaitan dengan keamanan,
8. keselamatan
umum, kesehatan, lingkungan dan moral.
9. Penetapan
pedoman pengembangan sistem pergudangan.
10. Fasilitas
kegiatan distribusi bahan-bahan pokok.
Dalam bidang kehutanan dan perkebunan, kewenangan
Pemerintah meliputi 16 macam; bahkan dalam bidang perhubungan - kewenangan
Pemerintah mencapai 31 macam. Tampaknya keraguan sebagian pengamat yang pesimis
terhadap kesungguhan Pemerintah untuk melaksanakan otonomi daerah yang luas,
menemukan alasan pembenar yang kuat dengan isi PP No. 25/2000 tersebut.
Namun demikian, keraguan tersebut tidak perlu
berlebihan karena di sisi lain juga banyak bukti kuat bahwa kewenangan yang
besar yang diberikan kepada daerah tersebut, tidak serta merta bisa dilaksanakan
dengan baik. Apabila Pemerintah memang mempunyai godwill yang kuat, maka PP No.
25/2000 tersebut beberapa tahun ke depan harus dirubah dan kewenangan bidang
tertentu Pemerintah harus dikurangi seiring dengan semakin besarnya kemampuan
pemerintah daerah. Tegasnya, PP No. 25/2000 itu akan diubah secara berkala
sehingga pada akhirnya sebagian besar kewenangan akan dimiliki oleh Pemerintah
Daerah. Persoalannya terletak pada godwill Pemerintah, dan di pihak yang lain
adalah kesungguhan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kemampuannya sehingga
bisa melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut dengan baik. Oleh karena itu
sangat diperlukan sikap dan kesadaran obyektif dari Pemerintah manapun
Pemerintah Daerah, sehingga tidak lagi menimbulkan ketegangan hubungan di
antara keduanya.
Disamping masalah besar di atas, penataan
hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah juga menghadapi beberapa kendala
yang perlu ditangani secara seksama, bertahap dan berkelanjutan. Sekarang ini
kendala yang sudah jelas adalah bidang yuridis, yaitu belum lengkapnya
peraturan pelaksanaan UU No. 22/1999 meskipun sudah melewati batas waktu yang
ditentukan yaitu setahun sesudah undang-undang tersebut ditetapkan. Contog yang
sangat menonjol dari kasus belum adanya atau belum jelasnya ketentuan
pelaksanaan itu adalah keruwetan dalam proses pemilihan Bupati pada awal
pelaksanaan otonomi luas ini. keinginan Daerah untuk segera melaksanakan
otonomi luas itu tidak seiring dengan kemampuan Pemerintah menyiapkan perangkat
aturan pelaksanaannya. Memang masalah itu bisa dimaklumi, karena disamping
beratnya pekerjaan itu mengingat bahwa undang-undang tersebut mengandung
perubahan yang besar dibandingkan undang-undang sebelumnya, Departemen Dalam
Negeri juga dipaksa mengatasi berbagai masalah yang tidak diduga sebelumnya
sebagai buah dari euforia reformasi, misalnya tuntutan sebagian masyarakat
untuk memberhentikan kepala daerah mereka dll. Kendala yang lain adalah :
1. Kapasitas Administrasi Pemerintah Daerah .
Sentralisasi
yang selama puluhan tahun dipraktekkan di Indonesia, telah menyebabkan
kapasitas administrasi pemerintahan daerah kurang berkembang. Ketatnya
pengarahan dan kendali pusat menyebabkan perangkat administrasi daerah
cenderung bergantung dan pasif, sehingga menjadi tidak mandiri dan kurang
inovatif. Karenanya ketika kemudian diberi wewenang yang besar, maka tidak
dengan serta merta bisa melaksanakannya.
2. Kesenjangan Antar Daerah.
Realita
bahwa kondisi geografi maupun demografi daerah-daerah di Indonesia yang sangat
beragam, dahulu kurang diperhatikan melalui kebijaksanaan Pusat yang cenderung
seragam. Akibat dari kebijaksanaan yang seragam itu maka kesenjangan antar
daerah yang alami itu, tidak pernah berkurang. Oleh karena itu maka apabila
tidak diikuti dengan peningkatan peran alokasi dan distribusi Pemerintah dengan
sungguh-sungguh maka akan mengakibatkan kesenjangan antar daerah akan semakin
besar. Apabila hal ini terjadi maka akan menimbulkan arus migrasi antar daerah
yang pada gilirannya bisa mengganggu stabilitas nasional.
3. Kesenjangan Politik.
Otonomi
daerah yang luas tidak saja memberikan wewenang yang lebih besar kepada Daerah,
tetapi juga kekuasaan yang jauh lebih besar kepada politisi lokal. Kekuasaan
besar yang dimiliki politisi lokal akan sangat bermanfaat bagi pengembangan
daerah, apabila disertai dengan kapasitas yang memadai dan kesadaran serta
tanggung jawab politik yang besar pula. Tetapi apabila tidak, maka teratasi
namun hanya sekedar berpindah ke daerah-daerah. Di sisi lain kurangnya
kesadaran dan tanggung jawab politik elite daerah, akan bisa melahirkan
berbagai masalah baru termasuk ancaman disintegrasi bangsa.
4. Perilaku Birokrasi.
Sebagian besar birokrasi Indonesia belum
memiliki perilaku administrasi negara yang benar. Baru sebagian kecil aparatur
birokrasi yang mengerti tujuantujuan negara atau tujuan organisasi (lembaga
tempatnya bekerja) kalaupun mengetahui belum tentu segala kegiatan dalam
pelaksanaan tugasnya dioreantasikan kepada pencapian tujuan organisasi atau
tujuan negara yang telah ditetapkan. Masih banyak pegawai negeri yang bekerja
sekedarnya, tanpa mempunyai motivasi yang memadai untuk mewujudkan tercapainya
sasaran atau tujuan organisasi yang telah ditentukan. Perilaku birokrasi
pemerintah yang cenderung menjadi penguasa dan bukan sebagai pelayan dan abdi
masyarakat, adalah contoh yang nyata dari sikap dan perilaku pegawai negeri
kita. Untuk mewujudkan tercapainya tujuan-tujuan nasional, maka orientasi
pegawai negeri harus dirubah disamping peningkatan kapasitas dan kinerjanya.
Proses perubahan dan peningkatan tersebut memerlukan waktu yang cukup lama,
karena sebagiannya berkaitan dengan faktor sosial dan budaya masyarakat. .
c. Menggagas
Upaya Pencepatan Otonomi Daerah Yang Luas
Dalam hubungan ini maka ada beberapa gagasan
yang mungkin bisa didiskusikan, yaitu :
1.
Melakukan sosialisasi tentang kebijaksanaan
penerapan otonomi daerah yang baru ini, terutama kepada kelompok-kelompok
strategis dalam masyarakat di daerah misalnya : elite lokal, aktifis LSM,
tokoh-tokoh pemuda, pimpinan organisasi kemasyarakatan baik sosial, ekonomi
maupun politik. Pada gilirannya diharapkan agar mereka ini akan menjadi agen
sosialisasi kepada masyarakat di lingkungannya.
2.
Membangun komunikasi yang efektif antara
jajaran eksekutif dengan DPRD, sehingga tidak akan terjadi mis-persepsi ataupun
kesalahan yang berlarut-larut tanpa diketahui dan diusahakan pemecahannya.
3.
Membangun kesadaran kolekteif dalam masyarakat
daerah, agar bisa memahami kemungkinan terjadinya kelambatan atau ketidak
sesuaian harapan dengan apa yang dihasilkan, yang terpaksa terjadi karena
masalah teknis yang obyektif.
4.
Mendorong Pemerintah agar meningkatkan godwill
dalam pelaksanaan otonomi daerah yang baru ini, dan dengan tegas menyelesaikan
masalah yang terjadi di tingkat pusat yang bisa menghambat terwujudnya otonomi
daerah yang luas itu. Kecenderungan sebagian institusi pusat untuk
mempertahankan kekuasaan, harus bisa diatasi dengan segera.
5.
Untuk memperoleh dukungan dari masyarakat, maka
elite lokal (Eksekutif dan DPRD) harus meningkatkan kegiatan pelayanan kepada
masyarakat dan menghindarkan sikap elitis yang cenderung mengedepankan
kepentingan dan keuntungan elite sendiri.
d. Desentralisasi dan
Masalah Pelayanan Kesehatan
Masa transisi otonomi daerah banyak
menimbulkan kebingungan di lapangan, salah satunya mengenai bentuk kelembagaan
rumah sakit daerah, hubungannya dengan dinas kesehatan dan pemerintah daerah
serta sumber pendanaan. Dulu sebagai unit pelaksana teknis, rumah sakit
memperoleh anggaran langsung dari pemerintah pusat lewat departemen dalam negri
(Depdagri ). Sejak desentralisasi, anggaran bidang – bidang yang wewenangnya
telah didelegasikan ke pemerintah daerah, termasuk kesehatan , disalurkan
secara block grant dalam dana alokasi umum.
Setelah didelegasikan, rumah sakit bukan lagi unit pelaksana teknis melainkan bisa dijadikan lembaga teknis daerah atau menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hal ini membawa perubahan hubungan rumah sakit dengan pemerintah daerah, dinas kesehatan, Departemen Kesehatan (Depkes) dan Depdagri.
Setelah didelegasikan, rumah sakit bukan lagi unit pelaksana teknis melainkan bisa dijadikan lembaga teknis daerah atau menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hal ini membawa perubahan hubungan rumah sakit dengan pemerintah daerah, dinas kesehatan, Departemen Kesehatan (Depkes) dan Depdagri.
Kalaupun bentuk kelembagaan dan
struktur organisasi telah ditentukan, masalah belum selesai. Persoalan yang
lebih krusial adalah pendanaan. Pasalnya, paradigma pembangunan fisik warisan
Orde Baru masih merasuk ke tulang sumsum para pejabat dan politisi. Pemerintah
pusat dan daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) masih cenderung memprioritaskan alokasi anggaran
pembangunan untuk pembangunan fisik, karena lebih mudah dilihat sebagai ukuran keberhasilan.
Pembangunan sumber daya manusia-pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan
sosial-masih belum diperhatikan. Kalaupun ada komitmen belum diwujudkan dalam
alokasi anggaran yang signifikan.
Rumah sakit belum dilihat sebagai
alat untuk memelihara kesehatan penduduk. Pemerintah daerah masih enggan
mengalokasikan anggaran untuk rumah sakit, bahkan masih banyak yang melihat
rumah sakit sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD).
Anggaran untuk pembangunan bidang
kesehatan sangat tergantung pada kemampuan kepala dinas kesehatan dan manajemen
rumah sakit untuk mengadvokasi pemerintah daerahnya serta pemahaman pejabat
pemerintah daerah dan politisi lokal terhadap manfaat kesehatan rakyat.
Kondisi ironis ini dalam jangka
panjang akan membahayakan kesehatan penduduk jika tidak dibenahi. Karena itu,
di samping upaya advokasi ke pemerintah daerah dan DPRD, akhir Agustus lalu
diselenggarakan seminar tentang "Hubungan Fungsional Dinas Kesehatan,
Rumah Sakit Daerah, Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri dalam
rangka Pengembangan Pelayanan Kesehatan di Provinsi/Kabupaten/Kota" untuk
membahas masalah ini.
PERSOALAN rumah sakit daerah
dipaparkan Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada) dr Umar Wahid.
Mengenai biaya operasional umumnya rumah sakit daerah swadana telah dapat
menutupi dengan pendapatan sendiri. Namun, rumah sakit daerah nonswadana masih
mengalami masalah, terutama jika rumah sakit diperlakukan sebagai sumber PAD
terbesar oleh pemerintah daerah dan DPRD. Ada pula upaya DPRD di beberapa
daerah untuk mencabut status rumah sakit daerah swadana menjadi rumah sakit
daerah nonswadana.
Untuk pembiayaan pelayanan
kesehatan bagi penduduk miskin, lanjut Umar, semua rumah sakit daerah mengalami
masalah. Dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) banyak membantu, tapi belum
mencukupi. Subsidi dari pemerintah daerah sangat tergantung pada persepsi
pemerintah daerah dan DPRD terhadap peran rumah sakit daerah dalam pelayanan
bagi pasien miskin. Banyak rumah sakit daerah yang harus membiayai pelayanan
pasien miskin menggunakan pendapatan sendiri.
Rakyat, demikian dr Hasbullah Thabrany DrPH
dari Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Universitas Indonesia,
menginginkan fasilitas kesehatan termasuk rumah sakit sebagai alat untuk
menyejahterakan rakyat, bukan instrumen ekonomi untuk meningkatkan pendapatan.
Dasarnya, Pasal 28H Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan dan
Pasal 34 (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan
dan layanan umum yang layak.
Implikasinya, setiap penduduk
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis dan membayar
sesuai dengan kemampuannya. Rumah sakit adalah tempat pelayanan yang terjangkau
dan bermutu memadai bagi seluruh rakyat. Tugasnya memberi pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhan medis tanpa membedakan ras, agama, dan kemampuan ekonomi
pasien.
Penyediaan pelayanan rumah sakit
adalah tugas dan kewenangan pemerintah daerah. Pelayanan itu dapat diberikan
lewat rumah sakit daerah maupun swasta yang diberi mandat pemerintah daerah.
"Di seluruh dunia, kesehatan
dan rumah sakit berada di bawah kendali sektor kesejahteraan, bukan usaha.
Rumah sakit berbentuk perusahaan merupakan pelanggaran UUD," ujar
Hasbullah.
Sebaliknya, Direktur Pusat
Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dr
Laksono Trisnantoro MSc PhD menyatakan, otonomi perlu diberikan kepada rumah
sakit agar efisien. Di beberapa negara, bahasa yang digunakan untuk otonomi
rumah sakit adalah menjadikan rumah sakit sebagai badan usaha. Prinsipnya,
mempertahankan kepemilikan pemerintah namun mengurangi biaya rumah sakit dengan
cara memberi wewenang meningkatkan penerimaan dari pasien dan mengubah struktur
insentif di rumah sakit.
Dalam badan usaha ada pemisahan
fungsi pemerintah sebagai pembayar dan pemberi pelayanan sehingga terjadi
hubungan kontraktual antara pemerintah dengan rumah sakit. Pemerintah membayar
rumah sakit berdasarkan unit cost untuk pelayanan kesehatan bagi
penduduk miskin. Pemerintah dalam hal ini bisa pemerintah pusat, provinsi,
maupun kabupaten/kota.
Laksono menekankan tugas rumah
sakit pemerintah adalah pelaksana pelayanan kesehatan. Mencari biaya merupakan
tugas bagian pemerintah yang lain, misalnya Departemen Kesehatan di pusat atau
dinas kesehatan di daerah. Subsidi silang tidak mungkin menutupi biaya
pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Tidak seharusnya rumah sakit dibebani
tugas mencari biaya untuk itu.
"Rumah
sakit bukan sumber PAD. Pemerintah daerah perlu melakukan investasi dalam
bentuk subsidi. Output rumah sakit adalah masyarakat yang sehat dan
manajemen biaya yang efisien. Rumah sakit juga berfungsi sebagai penggerak
kegiatan ekonomi dengan menyediakan lapangan kerja, membayar pajak, membeli
obat dan alat kesehatan," paparnya.
Undang-Undang (UU) Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun
1999 tentang otonomi daerah memberi mandat kepada pemerintah daerah untuk
menyelenggarakan sejumlah kewenangan yang selama ini menjadi tugas dan tanggung
jawab pemerintah pusat. Dalam bidang kesehatan, kewenangan kabupaten/kota
menurut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No 118/ 1500/Pumda
antara lain penyelenggaraan standar minimal pelayanan kesehatan,
penyelenggaraan jaminan kesehatan sosial, penyelenggaraan pembiayaan pelayanan
kesehatan, penyelenggaraan akreditasi sarana dan prasarana kesehatan, dan
penyelenggaraan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.
"Pemerintah daerah harus menjamin semua
masyarakat di wilayahnya terjangkau pelayanan kesehatan, terutama masyarakat
miskin dan kurang mampu. Salah satu lembaga untuk melakukan pelayanan kesehatan
adalah rumah sakit daerah," ujar Seman.
Ia mengakui, rumah sakit masih dihadapkan pada
hambatan seperti pemikiran bahwa rumah sakit merupakan sumber pendapatan
daerah, belum diizinkan mengelola langsung pendapatan fungsionalnya, belum adanya
kesesuaian antara kebutuhan, distribusi, dan kualifikasi petugas medis di rumah
sakit, sehingga tugas dan fungsi yang dijalankan dalam pelayanan kesehatan
masih jauh dari harapan.
Menurut Seman, peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan harus menjadi prioritas pemerintah daerah. Hal itu menyangkut
terjaminnya pelayanan kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, karena
kesehatan merupakan hak asasi yang tak boleh dilalaikan.
"Rumah sakit daerah bukan 'sapi perah'
untuk meningkatkan PAD, melainkan pusat layanan kesehatan yang perlu didukung
setiap pihak terkait. Pemerintah daerah bersama rumah sakit harus mempunyai
perencanaan yang jelas dan pasti untuk operasional dan pemeliharaan rumah
sakit. Pemerintah daerah dapat mengalokasikan dana dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), yang bersumber dari penerimaan fungsional, PAD, dana
perimbangan, hibah, pinjaman daerah dan sumber lain yang tidak mengikat,"
tuturnya.
Di sisi lain, pola pengelolaan keuangan dan
pembiayaan rumah sakit yang mandiri harus mulai dipikirkan untuk mengurangi
ketergantungan. Pemerintah daerah perlu memberi kesempatan rumah sakit dikelola
sebagai instansi yang mandiri dan profesional. Program operasional dan
pemeliharaan rumah sakit (OPRS) dalam jaring pengaman sosial (JPS) dari
pemerintah pusat untuk menjamin pembiayaan pelayanan rumah sakit bagi keluarga
miskin dan kurang mampu di rumah sakit, diharapkan menjadi pendorong
peningkatan kinerja rumah sakit dalam mengelola pembiayaan pasien miskin dan
kurang mampu.
DALAM hal kelembagaan, menurut Direktur Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Karawang dr Hanna Permana Subanegara MARS, dalam masa
transisi masih banyak rumah sakit daerah yang belum terjamah otonomi daerah.
Lembaga rumah sakit daerah masih menjadi
perdebatan di kalangan eksekutif dan legislatif daerah walau sudah terbit
Keputusan Presiden (Keppres) No 40/2001 tentang Lembaga Rumah Sakit Daerah dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri No 1/2002 tentang Organisasi Rumah Sakit Daerah.
Pada
prinsipnya, rumah sakit bukan unit pelaksana teknis dinas kesehatan (UPTD).
Dinas kesehatan tidak mengatur manajemen internal rumah sakit.
"Dinas kesehatan merupakan penanggung
jawab kesehatan di daerahnya, berfungsi menetapkan kebijakan, pengendalian
pelaksanaan kebijakan, pembiayaan, dan pengawasan. Institusi lain termasuk
rumah sakit wajib melaksanakan kebijakan itu untuk meningkatkan derajat
kesehatan di kabupaten/kota," papar Hanna.
Daerah yang telah menerapkan konsep otonomi
adalah DKI Jakarta. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta dr A Chalik Masulili MSc
menuturkan, konsep otonomi diterapkan dengan pendelegasian sejumlah wewenang.
Izin pelayanan kesehatan seperti klinik, rumah bersalin, apotek, dokter, dan
bidan praktik kecuali rumah sakit telah diserahkan ke suku dinas kesehatan
kota. Setiap unit pelayanan teknis, rumah sakit daerah, dan Puskesmas mendapat
mata anggaran sendiri. Dengan itu mereka membuat rencana sendiri untuk
pembelian obat dan biaya operasional.
Hanna berpendapat, Dinas kesehatan juga
berfungsi mencari dana untuk membayar rumah sakit daerah maupun institusi
pelayanan kesehatan lain yang memberi pelayanan kepada keluarga miskin dengan
sistem klaim.
"Dana JPS maupun kompensasi BBM yang kini
langsung diberikan ke rumah sakit sebaiknya disalurkan ke dinas kesehatan.
Dinas kesehatan menerima klaim biaya pelayanan rumah sakit daerah dan rumah
sakit lain yang ditunjuk sehingga bisa mengendalikan dan mengawasi pelayanan
keluarga miskin oleh rumah sakit," ujarnya.
Terhadap pendapat ini, Kepala Biro Perencanaan
Departemen Kesehatan (Depkes) dr Setiawan Soeparan MPH yang ditemui dalam
kesempatan berbeda menyatakan, banyak rumah sakit keberatan jika dana
disalurkan lewat dinas kesehatan, karena prosesnya makin panjang. Padahal
operasional rumah sakit perlu dana cepat. Saat ini Depkes sedang mengevaluasi
dan mencari cara terbaik untuk menyalurkan biaya kesehatan bagi penduduk
miskin.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Depkes drg Eddie Naydial Roesdal MScPH berpendapat, penyaluran dana kompensasi
BBM lewat rumah sakit ataupun dinas kesehatan tidak masalah sepanjang sampai ke
yang berhak. Sejauh ini penyaluran lewat rumah sakit berjalan baik dan dianggap
tepat, karena langsung ke instansi yang melayani sehingga mempermudah
administrasi. Pengelolaan memang perlu ditingkatkan dengan lebih mengaktifkan
tim verifikasi.
Bagi masyarakat, yang harus diupayakan dan
dijaga semua pihak adalah agar tujuan desentralisasi untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat bisa tercapai. Bukan sebaliknya, menciptakan
kerajaan-kerajaan kecil dan keruwetan di lapangan. (atk)
C.
KONSEPSI KESEHATAN DALAM ISLAM
- Sakit Dalam Pandangan Islam.
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan umat manusia secara beramai-ramai memburu
kemewahan hidup, disisi lain masih banyak manusia yang mengalami penderitaan
hidup. Akibat ketidak mampuan mengatasi kesulitan hidup banyak manusia yang
mengalami kegoncangan jiwa karena tertekan oleh suatu kondisi. Kondisi yang
menekan ini membuat jiwanya goncang lalu menimbulkan penderitaan bathin atau
muncul bermacam-macam penyakit pada fisik.[1]
Dalam perjalanan hidupnya didunia, manusia menjalani tiga keadaan penting:
sehat, sakit atau mati. Kehidupan itu sendiri selalu diwarnai oleh hal-hal yang
saling bertentangan, yang saling berganti mengisi hidup ini tanpa pernah kosong
sedikit pun. Sehat dan sakit merupakan warna dan rona abadi yang selalu
melekat dalam diri manusia selama dia masih hidup. Tetapi kebanyakan manusia
memperlakukan sehat dan sakit secara tidak adil. Kebanyakan mereka menganggap
sehat itu saja yang mempunyai makna. Sebaliknya sakit hanya dianggap sebagai
beban dan penderitaan, yang tidak ada maknanya sama sekali. Orang yang
beranggapan demikian jelas melakukan kesalahan besar, sebab Allah SWT selalu
menciptakan sesuatu atau memberikan suatu ujian kepada hambanya pasti ada
hikmah / pelajaran dibalik itu semua. (Q.S. Shaad : 27)
Walaupun demikian tidak seorang pun
menginginkan dirinya sakit, namun kalau dia datang manusia tidak kuasa untuk
menolaknya. Dalam keadaan sakit seseorang selain mengeluhkan penderitaan
fisiknya juga biasanya disertai gangguan/guncangan jiwa dengan gejala ringan
seperti stes sampai tingkat yang lebih berat. Hal ini wajar karena secara fisik
seseorang yang sedang sakit akan dihadapkan kepada tiga alternatif kemungkinan
yang akan dialaminya, yaitu : sembuh sempurna, sembuh disertai cacat sehingga
terdapat kemunduran menetap pada fungsi-fungsi organ tubuhnya, atau meninggal
dunia. Alternatif meninggal umumnya cukup menakutkan bagi mereka yang sedang
sakit, karena mereka seperti juga kebanyakan diantara kita belum siap
menghadapi panggilan malakul maut. Kecemasan atau ketakutan pada penderita ini,
dapat menyebabkan timbulnya stess psikis yang justru akan melemahkan respons
imonologi (daya tahan tubuh) dan mempersulit proses penyembuhan diri bagi
mereka yang sakit. Menghadapi kondisi seperti ini bimbingan ruhani sangat
diperlukan agar jiwa manusia tidak terguncang dan menjadi lebih kuat, yang pada
akhirnya akan membantu proses kesembuhan
Gangguan psikis lainnya yang sering dialami oleh orang sakit adalah rasa putus
asa, terutama bagi penderita yang kronis dan susah sembuh. Karena tipisnya
aqidah (keimanan) kemudian muncul keinginan pada diri orang sakit untuk
mengakhiri hidup dengan jalan yang tidak diridhai Allah SWT. Semua ini
diakibatkan oleh hilangnya keyakinan kepada rahmat Allah SWT, sehingga kadang
kala ada pasien yang sengaja meninggalkan ibadah sehari-hari, seperti doa,
dzikir, atau sholat. Akibatnya semakin gersanglah nurani orang sakit tersebut
dari sibghah ilahi rabbi.
Sakit sebagai salah satu ciptaan Allah SWT yang ditimpakan kepada manusia juga
pasti ada maksudnya. Salah satu hikmah Allah SWT kepada hamba-Nya adalah
sebagai ujian dan cobaan untuk membuktikan siapa-siapa saja yang benar-benar
beriman.
Sabda Rasulullah SAW :
وإن الله
تعالى أذا أحب قوما ابتلاهم فمن رضي فله الرضاومن فله السخط
(رواه ابن ماجه و
الترمذى)
Artinya : Dan sesungguhnya bila Allah SWT
mencintai suatu kaum, dicobanya dengan berbagai cobaan. Siapa yang ridha
menerimanya, maka dia akan memperoleh keridhoan Allah. Dan barang siapa yang
murka (tidak ridha) dia akan memperoleh kemurkaan Allah SWT. (H.R. Ibnu
Majah dan At Turmudzi)
Dalam hadist lain Rasulullah SAW bersabda :
عن ابي
هريرة رضي الله عنه : عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما يصيب المسلم من نصب
ولا هم ولا حزن ولا أذى ولاغم حتى شوكة يشاكها إلا :فر الله بها خطاياه (رواه
البخارى و مسلم)
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Muhammad
SAW. Bersabda : Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, kesusahan, kesedihan,
penyakit, gangguan menumpuk pada dirinya kecuali Allah SWT hapuskan akan
dosa-dosanya
(H.R. Bukhari dan
Muslim).
Allah SWT menciptakan cobaan antara lain untuk mengingatkan manusia terhadap
rahmat-rahmat yang telah diberikan-Nya. Allah SWT memberikan penyakit agar
setiap insan dapat menyadari bahwa selama ini dia telah diberi rahmat sehat
yang begitu banyak. Namun kesehatan yang dimilikinya itu sering kali di
abaikan, bahkan mungkin disia-siakan. Padahal ia mempunyai harga yang sangat
bernilai tiada tolak ukur dan bandingannya.
Anjuran
Untuk Berobat
Metode pengobatan didunia kedokteran pada
umumnya memang hanya mengandalkan terapi fisik belaka, tanpa melihat pasien
dari segi ruhaniyahnya. Meskipun diakui bahwa kondisi psikis yang stabil sangat
menunjang penyembuhan diri, terlebih lagi bagi orang yang menderita penyakit
psikomatik, yaitu penyakit fisik yang diakibatkan oleh stress psikis. Tetapi
mungkin dikarenakan adanya beberapa kendala administratif atau misalnya adanya
perbedaan agama antara dokter dengan pasiennya, menyebabkan pengobatan ruhani
ini menjadi sukar untuk dilaksanakan.
Menurut paham kesehatan jiwa, seseorang dikatakan sakit apabila ia sudah tidak
mampu lagi memfungsikan dirinya secara wajar dalam kehidupan sehari-hari,
dengan kata lain manusia tersebut telah mengalami ganggung fisik atau bahkan
mungkin gangguan kejiwaaan. Meskipun gangguan jiwa itu dianggap sebagai
gangguan yang menyebabkan kematian secara tidak langsung, namun beratnya
gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara
individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak
produktif dan efisien
Sebagian
orang mengatakan, hal ini disebabkan karena kemiskinan, mereka tidak mampu
membayar dokter dan menebus obat. Pada kasus-kasus tertentu, alasan ini dapat
diterima. Akan tetapi, bagaimana dengan mereka yang dapat berobat secara
gratis, namun mereka tetap tidak mau berobat, malah mereka mengatakan: "
Allah SWT yang akan menyembuhkan". Mereka mengira dengan keyakinan seperti
itu Allah SWT akan mengasihinya.
Memang
benar Allah SWT Maha Penyembuh. Hal itu tidak seorang muslim pun yang
meragukannya. Tetapi, bagaimana cara dan metodenya? Ini diserahkan kepada
manusia yang telah diberi Allah berupa potensi akal untuk berfikir, dan diberi
pengarahan oleh Rasulullah SAW dengan pengarahan yang benar : " Allah SWT
tidak menurunkan penyakit kecuali diturunkan-Nya pula obat". Oleh karena
itu bila seseorang ditimpa penyakit diperintahkan untuk berusaha mencari obat
supaya sembuh.
Dalam
agama (Islam) bagi mereka yang sakit dianjurkan untuk berobat kepada ahlinya
disertai dengan berdo’a dan berdzikir. Bagi pemeluk agama (Islam) do’a dan
dzikir merupakan salah satu bentuk komitmen keagamaan/keimanan seseorang[6].
Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran yang pesat timbul kesadaran
diantara para ahli biologi bahwa pendekatan biologis saja tidak cukup untuk
menangani orang yang terkena penyakit. Kita menyadari bahwa manusia sebagai
mahluk ciptaan Allah SWT yang sempurna dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
mental spiritual, sosial budaya, dan unsur biologisnya sendiri. Dengan demikian
pedekatan yang menyeluruh (holistik) merupakan pendekatan yang paling tepat
dalam pelayanan kesehatan.
Metodologi pengobatan nabi terhadap suatu penyakit biasa dilakukan dengan tiga
cara : pertama, dengan menggunakan obat-obatan, kedua, Dengan
menggunakan obat-obatan bernuansa wahyu. Ketiga, kombinasi dari kedua jenis
pengobatan tersebut.[7] Seperti yang diketahui, mereka yang spesialis
tentang masalah penyakit dan obat adalah para dokter, karena itu berobatlah dan
minta nasehatlah kepada mereka, tentu saja disertai dengan tawakal kepada Yang
Maha Sembuh (berupa do'a dan dzikir sebagai pelengkap terapi medik).
Suatu
hal yang dapat disimpulkan dari hadist Rasulullah SAW tersebut diatas ialah
memberikan harapan yang sangat besar kepada orang-orang yang sakit, bahwa
setiap penyakit ada obatnya. Mereka yang sakit sangat sukar membuka pintu
harapan dan optimisme untuk dirinya sendiri, sebab kondisi jiwa mereka dalam
keadaan tidak normal. Mereka juga dianjurkan Rasulullah SAW berharap sehat
dengan segera, tidak boleh putus asa terhadap masa depan, berdo'a dan berdzikir
untuk proses percepatan kesembuhan. Hal ini merupakan suatu faktor yang efektif
untuk membantu kesembuhan seseorang, disamping obat. (insya Allah).
Islam
adalah agama untuk semesta alam, dimana didalamnya selalu mengajarkan tentang
nilai-nilai kebaikan dan mengajak manusia untuk beribadah, berusaha, dan
beramal yang dilandasi keimanan hanya kepada Allah semata. Sebagai agama yang
rahmatan lil'alamin, Islam mempunyai aturan-aturan / hukum syariat yang
melindungi agama, jiwa, akal, jasmani, harta dan keturunan. Dan tiga dari
keenam hal tersebut yakni jiwa, jasmani dan akal sangat berkaitan erat dengan
kesehatan, oleh karena itu ajaran Islam sangat sarat dengan tuntunan bagaimana
memelihara kesehatan Jasmani dan kesehatan ruhani.
Pepatah
dalam Islam mengatakan didalam Iman yang kuat terdapat jiwa yang sehat dan
tubuh yang kuat. Hal inilah yang mendasari bahwa untuk manusia bisa selalu
sehat adalah selalu melakukan beberapa upaya dan cara untuk bisa menjaga
kesehatannya yakni dengan cara menjaga kesehatan fisik dan jiwa yang dilandasi
dengan keimanan.
Dalam
bahasa Indonesia sering didengar istilah sehat wal afiat, yang dua
kalimat tersebut (sehat dan afiat) dimaknakan sama yakni sebagai keadaan baik
segenap badan serta bagian-bagiannya, yakni bebas dari penyakit, atau lebih
dikenal dengan kesehatan fisik, mental dan kesehatan masyarakat.
Substansi
dari istilah kesehatan tersebut sepenuhnya dapat ditemukan dalam ajaran Islam,
tetapi yang perlu digaris bawahi ialah bahwa pengertian kesehatan dalam Islam
lebih merujuk kepada pengertian yang terkandung dalam kata afiat. Sebab sehat
dan afiat itu mempunyai makna yang berbeda kendati tak jarang hanya disebut
dengan salah satunya, karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna
yang terkandung dalam kata yang tidak disebut.
Dalam
kamus bahasa arab sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota
badan dan afiat diartikan sebagai perlindungan Allah SWT untuk hamba-Nya dari
segala macam bencana dan tipudaya. Perlindungan Allah itu sudah barang tentu
tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi orang-orang yang mematuhi petunjuk-Nya.
Dengan demikian makna afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh
manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Untuk
lebih memahami makna sehat dan afiat, berikut diberikan suatu pemaknaan dari
organ tubuh yang ada. Mata yang sehat misalnya adalah mata yang mudah digunakan
untuk melihat dan membaca tanpa memerlukan bantuan kacamata, tetapi mata yang
afiat adalah mata yang mudah digunakan untuk melihat objek-objek yang
bermanfaat dan halal, namun sulit digunakan untuk melihat objek-objek yang
diharamkan, karena itulah sebenarnya fungsi yang diharapkan dari penciptaan
mata.
- Kesehatan Fisik.
Majlis Ulama Indonesia dalam musyawarah Nasional Ulama tahuun 1983 merumuskan
kesehatan sebagai ketahanan “jasmaniah, ruhaniyah dan social” yang dimiliki
manusia sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan
tuntunan-Nya, dan memelihara serta mengembangkannya. Nabi Muhammad SAW bersabda
bersabda bahwa “Mukmin yang kuat itu lebih disukai Allah dibanding
mukmin yang lemah”. Hadist ini mempunyai makna bahwa kesehatan fisik
sangat perlu diperhatikan yang mengandung ungkapan tentang kesehatan, baik
kesehatan tubuh maupun kesehatan otak.
Tuntunan agama dalam hal memelihara kesehatan, sejalan dengan pola ajaran Islam
secara menyeluruh, yakni mencegah terjadinya sesuatu yang berakibat buruk atau
mengambil langkah-langkah prefentif seperti yang diungkapkan dalam kaidah
“mencegah lebih baik dibanding mengobati.
Setiap
insan sudah sangat mengenal ungkapan ‘bersih pangkal sehat” dan
mengetahui sabda rasulullah SAW :“kebersihan merupakan sebagian dari
iman”. Agama Islam menyangkut kebersihan bahkan masuk dalam system peribadatan
tertentu menentukan sah atau tidaknya suatu amalan ibadah, seperti berwudhu,
membersihkan kotoran buang air besar dan air kecil, (istinja), mandi janabat,
disamping yang sunnah, seperti bersiwak, cuci tangan sebelum makan, larangan
kencing diair yang tidak mengalir, atau di bawah pohon atau ditempat-tempat
umum fasilitas umum dan lain sebagainya.
Prinsip
pencegahan juga nampak dari ajaran Islam tentang makanan. Firman Allah SWT
:Artinya : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di
setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Q.S.
Al-A’raf ; 31)
Dalam ayat ini diingatkan agar manusia setiap ingin menjalankan ibadah
hendaklah memakai pakaian yang bersih lagi indah, Karena Allah SWT itu indah
dan menyukai keindahan. Selain itu al-qur’an melarang minum atau makan sesuatu
secara berlebih-lebihan. Ditemukan pula peringatan dalam hadist yang intinya
menyebutkan bahwa pola makan yang salah akan menjadi biang segala penyakit,
karena perut itu merupakan sumber penyakit. Al-qur’an juga mengharamkan makanan
dan minuman tertentu karena ia dinilai kotor atau rijs yang mempunyai maksud
penciptaan untuk dimanfaatkan, bukan untuk dijual, atau disalahgunakan.
- Kesehatan Jiwa (Mental)
Kalau kita memperhatikan kehidupan masyarakat sehari-hari, akan banyak dijumpai
orang dengan ragam perangainya. Ada orang yang selalu nampak riang gembira dan
bahagia meski hidupnya amat sederhana. Dalam segala keadaan ia tetap menjadi
dirinya, disukai orang, tidak mempunyai musuh, dan pekerjaan selalu berjalan
lancar. Sebaliknya ada orang yang selalu murung, mengeluh dan kecewa, padahal
secara lahir fasilitas hidupnya tercukupi atau lebih dari cukup. Ia tidak bisa
akur dengan orang lain, tidak bersemangat dalam melaksanakan tugas. Ia selalu
gelisah, cemas dan tidak pernah mencapai kepuasan batin. Disamping itu ada juga
dijumpai orang yang pekerjaannya mengganggu orang lain, melanggar hak dan
ketenangan orang lain, menyebarkan gosip, fitnah, adu domba, menganiaya,
menyeleweng, menipu, dan perilaku menyimpang lainnya.
Itu semuanya berhubungan dengan tingkat kesehatan mentalnya, kesehatan jiwanya.
Dalam al-qur’an manusia disebut sebagai basyar dan sebagai insan disamping
sebagai bani adam. Basyar lebih merujuk pada persamaan manusia sebagai fisik, sedangkan
insan merujuk kepada mahluk yang berfikir dan merasa. Sebagai basyar manusia
banyak kesamaannya, tetapi sebagai insan manusia berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya. Perbedaan itu bisa menyangkut kecerdasan, tabiat,
karakter, dan temperamennya.
Dalam pandangan Islam, hidup di dunia
adalah bagaikan orang yang sedang menanam diladang, sementara masa panen yang
sebenarnya berada dikehidupan yang lain. Hidup didunia secara keseluruhan
adalah pekerjaan menanam sementara buahnya dipetik dimasa yang lain. Ungkapan
lain menyebutkan bahwa hidup didunia bagaikan orang yang sedang menyebrang,
dunia adalah jembatan, sedangkan ujung dari jembatan dunia ini adalah akhirat.
Dunia dan akhirat dalam pandangan Islam bukan merupakan dua hal yang terpisah,
tetapi bersambung, berurutan, dimana dunia dipandang sebagai kehidupan fana
sementara akhiratlah kehidupan yang sebenarnya (Q.S. Al-Ankabut : 64).
D.
TANTANGAN DAN HARAPAN PENGEMBANGAN DAN
PEMBERDAYAAN SDM KESEHATAN YANG MENDUKUNG PROGRAM KESEHATAN MASYARAKAT
Program
kesehatan masyarakat adalah bagian dari program kesehatan nasional
yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang
optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan UUD-1945.
- Program Kesmas Vs Yanmed
?
|
KESMAS
|
?
|
YANMED
|
1
|
Pelaksana:
ahli kesmas
|
1
|
Tenaga
dokter
|
2
|
Tujuan:
meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit
|
2
|
Menyembuhakan
penyakit dan memulihkan kesehatan
|
3
|
Sasaran:
kelompok dan masyarakat
|
3
|
Perorangan
dan keluarga
|
4
|
Mengutamakan
aspek efisiensi
|
4
|
Mengutamakan
aspek efektifitas
|
5
|
Promosi
dibenarkan
|
?
|
Bertentangan
dengan etika
|
6
|
Memberdayakan
masyarakat dan mendapat dukungan UU
|
6
|
Upaya perorangan
dan tunduk pada UU
|
7
|
Pendapatan:
dari gaji
|
7
|
Dari
imbal jasa pasien
|
8
|
Pertanggungjawaban:
kepada masyarakat melalui badan legislatif
|
8
|
Kepada
individu pasien
|
9
|
Dapat
monopoli pelayanan
|
9
|
Menghadapi
banyak saingan
|
10
|
Masalah
administrasi dan kepemimpinan komplek
|
10
|
Masalah
adminstrasi dan kepemimpinan sederhana
|
- Karakteristik Program Kesehatan Masyarakat ?
- Pada umumnya merupakan upaya pemerintah, diselenggarakan oleh pegawai pemerintah dengan latar belakang pendidikan kesehatan masyarakat (public health officer) serta didukung oleh anggaran belanja pemerintah
- Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesehatan (promotion) serta mencegah timbulnya penyakit (prevention) melalui penerapan intervensi prilaku, lingkungan dan manajemen dengan dukungan biostatistik dan epidemiologi
- Sasaran utamanya adalah: masyarakat secara keseluruhan, yang untuk tercapaianya hasil yang optimal perlu diberdayakan sehingga dapat berperan sebagai mitra pemerintah dalam melaksanakan setiap upaya kesehatan masyarakat
- Mendapat dukungan serta dapat memanfaatkan kekuasaan perundang-undangan, mengutamakan prinsip efisiensi serta penyelesaian masalah-masalah kesehatn masyarakat.
- Sarana Kesehatan Masyarakat ?
- Sarana kesehatan masyarakat adalah berbagai instansi pemerintah yang diserahkan tanggung jawabnya mengelola program kesehatan
- Untuk Indonesia sarana tersebut adalah: Puskesma, Dinas kesehatan kabupaten/ Kota, Dinas kesehatan propinsi dan departemen kesehatan
d. Tenaga
Kesehatan Masyarakat ?
- Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (UU No. 23 tahun 1992)
- Tenaga kesehatan masyarakat adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesmas serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan dibidang kesmas (ilmu kesehatan masyarakat).
- Ilmu Kesehatan Masyarakat ?
Ilmu dan
ketrampilan untuk mencegah penyakit, memperpanjang usia hidup, memelihara
kesehatan jasmani dan rohani serta meningkatkan efisiensi melalui usaha
masyarakat yang terorganisir untuk penyehatan lingkungan, pemberantasan
penyakit menular, pendidikan setiap orang dalam prinsip kesehatan perorangan,
mengatur usaha pengobatan dan perawatan guna diagnosis dini dan pengobatan
pelbagai penyakit dan mengembangkan badan-badan kemasyarakatan yang akan
memberi jaminan bagi setiap orang di dalam masyarakat suatu derajat hidup yang
cukup guna mempertahankan kesehatannya.
- Jenis Tenaga Kesehatan Masyarakat ?
- Tenaga kesehatan terdiri dari :
- Tenaga medis (dokter dan dokter gigi)
- Tenaga keperawatan (perawat dan bidan)
- Tenaga kefarmasian (apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker)
- Tenaga gizi (nutrisionist dan dietisian)
- Tenaga keterapian fisik (fisioterapis, okupasiterapis dan terapi wicara)
- Tenaga ketehnisan medis (radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optision, otorik prostetik, teknisi trasfusi, dan perekam medik), serta
- Tenaga kesmas (PP No.32 tahun 1996)
- Tenaga kesmas adalah: semua jenis tenaga kesehatan yang mendapatkan tambahan pendidikan serta berkiprah dibidang kesehatan masyarakat
- Tambahan pendidikan yang dimaksud setidak-tidaknya dalam bidang biostatistik, epidemiologi, perilaku, kesehatan lingkungan dan manajemen kesehatan
- Dokter dan dokter gigi selama proses pendidikannya telah mendapatkan pelajaran kesmas dan karena itu sekalipun termasuk dalam kategori tenaga medis, namun kalau mereka berkiprah disarana kesehatan masyarakat (misal Puskesmas) maka mereka pada dasarnya adalah juga tenaga kesmas.
- Tantangan ?
- penghasilan rendah dan karena itu minat menjadi tenaga kesmas relatif kurang
- Pengembangan karier dan prospek masa depan, karena lahan kerja dan perhatian pemerintah terbatas, relatif kurang menguntungkan
- Upaya promosi dan preventif yang menjadi lahan kesmas pada saat ini telah membutuhkan intervensi (pengetahuan/ keterampilan) medis
- Jumlah lembaga pendidikan kesmas bertambah pesat sementara itu perkembangan lahan kerja terbatas
- Paket Kesehatan Terpadu Untuk Si Miskin
Penanggulangan kemiskinan tidak selalu harus
berbentuk bantuan uang atau pangan. Justru perubahan pola perilaku kolektif
yang lebih diutamakan. Melalui pola hidup sehat diharapkan kaum miskin dapat
menanggulangi kemiskinannya sendiri. Karena, jika kita sehat, maka biaya yang
kerap digunakan untuk berobat dapat dialihkan untuk kegiatan produktif lain.
Demikian dikatakan Staf Dinas Kesehatan
Kabupaten Landak Konyis SH yang juga merupakan Ketua Pakem Kesehatan dalam
sambutan kegiatan penyuluhan gizi pada salah satu kegiatan PAKET P2KP di
Kecamatan Sidas, beberapa waktu lalu. Selain itu, ada pula kegiatan yang
bersifat mengobati dalam bentuk pengobatan massal untuk 1.385 orang di
desa-desa yang masuk kategori miskin dan bukan perkotaan. Ternyata jumlah
masyarakat yang datang ke kegiatan tersebut, jauh melebihi target. ”Dengan
demikian, lanjutnya, dapat dikatakan program lanjutan P2KP ini sebagai program
PAKET kesehatan terpadu untuk si miskin,” tegas Konyis.
Walau respon dari seluruh komponen masyarakat
menggembirakan, masih ada yang menganggap kegiatan tidak seluruhnya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Seperti yang dikatakan Tobing, salah seorang tokoh
masyarakat Kersik Blantian. Ia mengatakan, program pembagian abate untuk
daerah-daerah lintas jalur sutra sudah cocok. ”Namun, untuk kami yang ada di
pedalaman, penyuluhan penyakit malaria dan demam berdarah itu bukan prioritas.
Begitu juga untuk Temahar. Pembagian garam beryodium di sana, dianggap bukan
kebutuhan. Justru yang jauh lebih berguna di tempat ini mungkin penyuluhan
mengenai penyakit TBC,” tandasnya. Untuk itu, pelibatan tenaga lokal seperti
tenaga puskesmas dan bidan desa harus lebih dominan seperti dalam program P2KP
sebelumnya.
Andre, Fasilitator P2KP yang mendampingi Pakem
Kesehatan mengatakan, dalam program pengobatan gratis di BLM Tahap-3 lalu,
hampir semua ditangani personel Puskesmas dan bidan desa setempat, sehingga
lebih mengenai sasaran kebutuhan tiap lokasi. Sedangkan dalam PAKET, Ketua
Pakem yang berasal dari Dinas Teknis, lebih dominan. ”Begitu juga untuk
masyarakat yang meminta disuntik, kali ini diminta membayar Rp 10.000 per
orang, karena itu (suntik) tidak termasuk dalam budget program. Tapi,
masyarakat tak mau tahu soal itu,” ujarnya.
Meski demikian, keberhasilan program penyuluhan
gizi dan pengobatan gratis ini tak terlepas dari peran serta seluruh
masyarakat, terutama kerja keras seluruh Panitia kemitraan. Bahkan Hendri yang
baru saja jadi ayah, rela tidak pulang seminggu terakhir guna berkeliling desa
sasaran program.
”Mudah-mudahan dalam termin 2 nanti, kegiatan
PAKET P2KP dapat lebih lancar. Selain pelakunya lebih paham, juga diharapkan
dana dampingan pemda sudah cair. Dengan begitu, Pokja Paket dan Komunitas
Belajar Perkotaan (KBP) yang seharusnya terjun ke lapangan untuk memonitoring
tiap kegiatan Pakem, dapat benar-benar terlaksana.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemberian kewenangan oleh
pemerintah pusat kepada daerah , untuk mengatur daerahnya.Dalam hal ini
kesehatan masyarakat pada suatu daerah tertentu sangat memerlukan bantuan
pemerintah daerah untuk mengayomi dan mengarahkan petugas kasehatan, guna
pemberian pelayana masyarakat yang lebih baik.Bahkan dalam pandangan Islam pun
telah ditekankan betapa pentingnya kesehatan untuk pembangunan pemerintahan
yang lebih baik.
B .
Saran
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi – tingginya , pemerintah tidak harusmemusatkan perhatiannya
kepada petugas kesehatan , tetapi bagaimana pemerintah mampu untuk mengajak dan
mengarahkan masyarakat untuk mau dan mengupayakan terciptanya kesehatan itu
mulai dari diri pribadi.
penerapan paradigma sehat (15 determinan)
memberikan porsi tinggi pada upaya promotif dan preventif
Makin
meningkatnya kesadaran akan pentingnya pelayanan kesehatan yang termasuk dalam
kelompok public goods
Berkembangnya
berbagai upaya dan riset kesehatan yang membutuhkan dukungan ilmu kesmas.