TINJAUAN HUKUM TENTANG
STATUS LEMBAGA ADOPSI
(Studi
Pada Pengadilan Negeri Makassar)
Skripsi
Diajukan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar
Sarjana
Hukum Islam Jurusan Hukum
Pidana dan Ketatanegaraan
pada
Fakultas Syariah dan Hukum
UIN
Alauddin Makassar
Oleh
ANSYARUDDIN
NIM.
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2010
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i-x
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii-iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
ABSTRAK ........................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1-25
A.
Latar Belakang Masalah
.................................................................. 1
B.
Rumusan dan Batasan Masalah ...................................................... 18
C.
Pengertian Judul dan Devenisi
Operasional .................................... 18
D.
Tinjauan Pustaka ............................................................................. 19
E.
Metode Penelitian ........................................................................... 21
F.
Tujuan dan Keguanaan Penelitian ................................................... 24
BAB II TINJAUAN UMUM
TENTANG LEMBAGA ADOPSI ............. 25-38
A.
Pengertian Adopsi ........................................................................... 26
B.
Sejarah Lembaga Adopsi dan Alasan
Berdirinya ........................... 30
C.
Peran Lembaga Adopsi pada Pengadilan
Negeri Makassar ............ 35
BAB III SISTEM HUKUM YANG
MENGATUR TENTANG
ADOPSI ......................................................................................... 38-54
A.
Adopsi Menurut Hukum Barat ....................................................... 39
B.
Adopsi Menurut Hukum Adat ........................................................ 46
C.
Adopsi Menurut Hukum Islam ....................................................... 50
BAB IV ANALISIS
TENTANG STATUS LEMBAGA ADOPSI ............ 54-84
A.
Bentuk Status Lembaga Adopsi di
Pengadilan Negeri
Makassar
......................................................................................... 55
B.
Dampak Status Lembaga Adopsi di
Pengadilan Negeri
Makassar
......................................................................................... 57
C.
Tinjauan Hukum Tentang Kepastian
Lembaga Adopsi
di
Pengadilan Negeri Makassar ....................................................... 65
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 85-87
A.
Kesimpulan ..................................................................................... 85
B.
Saran ............................................................................................... 86
DAFTAR
PUSTAKA ....................................................................................... 87
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
G.
Latar
Belakang Masalah
Penghargaan, penghormatan, serta perlindungan hak
asasi manusia (HAM) adalah hal amat penting yang tidak mengenal ruang dan
waktu. Sejak tonggak awal HAM, yang merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan
Raja John dari Kerajaan Inggeris.
Berbagai bentuk peraturan yang bersifat universal
telah dikeluarkan dalam rangka mendukung upaya perlindungan HAM di dunia.
Sebagian besar negara pun mencantumkan permasalahan mengenai hak-hak dasar ke
dalam konstitusinya masing-masing, termasuk Indonesia dengan undang-undang
dasarnya. Membicarakan masalah perlindungan akan selalu terkait dengan
penegakan hukum karena perlindungan merupakan salah satu bagian dari tujuan
penegakan hukum. Negara ini adalah negara yang berdasar atas hukum, maka
perlindungan HAM sudah barang tentu juga merupakan tujuan penegakan hukum
secara konsisten.
Salah satu bidang HAM yang menjadi perhatian bersama
baik di dunia internasional maupun di Indonesia adalah hak anak. Masalah
seputar kehidupan anak sudah selayaknya menjadi perhatian utama bagi masyarakat
dan pemerintah. Saat ini, sangat banyak kondisi ideal yang diperlukan untuk
melindungi hak-hak anak Indonesia namun tidak mampu diwujudkan oleh negara,
dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia. Kegagalan berbagai pranata sosial
dalam menjalankan fungsinya ikut menjadi penyebab terjadinya hal tersebut.
Berbagai usaha dilakukan oleh berbagai pihak demi melindungi anak, dan salah
satu bentuk perlindungan itu adalah pengangkatan anak, yang di satu sisi terus
dicegah pelaksanaannya, namun di sisi lain diharapkan dapat menjadi salah satu
wujud dari usaha perlindungan anak.
Selama ini memang belum ada peraturan
perundang-undangan yang secara spesifik mengatur mengenai pengangkatan anak,
kecuali bagi Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina, yaitu dengan Staatsblad
1917 Nomor 129.[1]
Salah
satu tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan. Begitu
pentingnya keturunan dalam kehidupan keluarga maka keluarga yang tidak atau
belum dikaruniai anak akan berusaha untuk mendapatkan keturunan. Pengangkatan
anak merupakan salah satu peristiwa hukum di dalam memperoleh keturunan.
Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat
terkecil, yang terdiri dari seorang ayah, Ibu dan anak. Dalam Kenyataan tidak
selalu ketiga unsur ini terpenuhi, sehingga kadang-kadang terdapat suatu
keluarga yang tidak mempunyai anak.
Dengan demikian dilihat dari eksistensi keluarga
sebagai kelompok kehidupan masyarakat, menyebabkan tidak kurangnya mereka yang
menginginkan anak, karena alasan emosional, sehingga terjadilah perpindahan
anak dari satu kelompok keluarga ke dalam kelompok keluarga yang lain.[2]
Dalam
Kamus Hukum kata adopsi yang berasal dari bahasa latin adoptio diberi
arti : Pengangkatan anak sebagai anak sendiri.[3]
Rifyal
Ka‘bah, dengan mengutip Blackl’s Law
Dictionary, mengemukakan bahwa adopsi adalah penciptaan hubungan
orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak
mempunyai hubungan (keluarga).[4]
Tujuan
pengangkatan anak adalah untuk meneruskan keturunan dan merupakan motivasi dan
salah satu jalan keluar sebagai alterlatif yang positif serta manusiawi
terhadap naluri kehadiran seorang anak di dalam pelukan keluarga, yang
bertahun-tahun belum dikaruniai seorang anak. Dengan pengangkatan anak diharapkan
agar ada yang memelihara dihari tuanya, dan mengurusi harta kekayaannya
sekaligus menjadi generasi penerusnya.
Fungsi anak angkat adalah sama dengan anak kandung.
Oleh karena itu harapan orang tua angkat adalah agar si anak angkat akan
meladeninya bila sudah tua dan tidak mampu untuk melanjutkan
kewajiban-kewajibannya dalam “pekraman”.[5]
Maka orang tua itu akan luput dari keadaan cauput yaitu keadaan yang
tanpa keturunan dan ia akan memperoleh pelanjut dalam tata cara kehidupan adat
di desa yang menyangkut masalah hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai
warga desa. Seorang anak angkat diharapkan melakukan dharmanya sebagaimana
dilakukannya terhadap orang tua kandungnya sendiri. Namun apabila dalam suatu
keluarga yang melakukan pengangkatan anak sudah ada anak kandung, maka hak-hak
dan kewajiban-kewjiban itu akan dibebankan kepada semua anak-anaknya baik itu
terhadap anak angkat maupun terhadap anak kandungnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh R. Soeroso, adopsi yang diatur dalam BW
hanya adopsi atau pengangkatan anak luar kawin, yaitu sebagaimana
termuat pada Buku I Bab XII Bagian III pasal 280 sampai dengan 290. Sedangkan,
pengangkatan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di masyarakat dan dunia
peradilan sekarang, tidak hanya terbatas pada pengangkatan anak luar kawin,
tetapi sudah mencakup pengangkatan anak dalam arti luas. Dengan demikian,
sebenarnya, BW tidak mengatur pengangkatan anak sebagaimana dikenal sekarang.
Hanya saja kemudian, untuk memenuhi tuntutan masyarakat, oleh Pemerintah
Belanda dikeluarkan Stb. 1917 Nomor 129 yang memberikan ketantuan mengenai
adopsi bagi masyarakat Tionghoa, dalam hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 5
sampai dengan Pasal 15. Di dalamnya diatur tentang siapa yang boleh mengangkat,
siapa yang boleh diangkat sebagai anak angkat, dan tatacara pengangkatan anak,
termasuk di dalamnya syarat-syarat pengangkatan anak.[6]
Melihat praktek permohonan pengangkatan anak di peradilan dari hari ke
hari semakin marak, terlepas dari motivasi yang melatarbelakangi pemohon, dan
aturan yang mengatur mengenai hal itu masih dirasa kurang, maka Mahkamah Agung
memandang perlu untuk memberikan tambahan aturan yang bersifat teknis mengenai
pengangkatan anak tersebut. Kepedulian Mahkamah Agung tersebut diwujudkan
dengan mengeluarkan aturan dalam bentuk Surat Edaran. Paling tidak sudah ada 4
(empat) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) mengenai pengangkatan anak tersebut,
antara lain:
a. Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.
b. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983.
c.
Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 1989.[7]
Dasar hukum adopsi adalah Staatsblad Tahun 1917 nomor 129. Oleh karena
itu pembicaraan mengenai adopsi Hukum Perdata Barat hanya bersumber dari Staatsblad
tersebut, sebab keberadaannya merupakan satu-satunya pelengkap bagi BW yang di
dalamnya memang tidak mengenal masalah adopsi.[8]
Yang diatur dalam BW hanya adopsi atau pengangkatan anak luar kawin. Yang perlu
dicatat adalah bahwa adopsi yang diatur dalam ketentuan Staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa.[9]
Dr. Muhammad Ali Al Shabuny dalam tafsirnya “Rawai’ul Bayan, Juz II”
menyatakan :
“Sebagaimana
Islam telah membatalkan Zihar, maka demikian pula dengan tabanny (pengangkatan anak).
Syari’at Islam telah mengharamkannya, karena tabbny itu menisbatkan seorang
anak kepada yang bukan ayahnya, dan itu termasuk dosa besar yang mewajibkan
pelakunya mendapat murka dan kutukan Tuhan”.[10]
Syaikh Mahmud Syalthout, mantan Rektor Al Azhar dalam kitabnya Al Fatawa,
sebagaimana dikutip oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai landasan
fatwanya tentang hal ini, mengemukakan sebagai berikut :
“Untuk mengetahui hukum Islam dalam masalah
tabanny perlu difahami bahwa tabanny itu ada dua bentuk, salah satu di
antaranya adalah bahwa seorang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan
seperti anak kandung sendiri, dalam rangka memberi kasih sayang , nafkah
pendidikan dan keperluan lainnya, dan secara hukum anak itu bukan anaknya.”[11]
Pemerintah
Belanda dikeluarkan Stb. 1917 Nomor 129 yang memberikan ketantuan mengenai
adopsi bagi masyarakat Tionghoa, dalam hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 5
sampai dengan Pasal 15. Di dalamnya diatur tentang siapa yang boleh mengangkat,
siapa yang boleh diangkat sebagai anak angkat, dan tatacara pengangkatan anak,
termasuk di dalamnya syarat-syarat pengangkatan anak.
Prof. Dr. Soepomo, SH. Dalam bukunya “Bab-bab Tentang
Hukum Adat” menegaskan bahwa :
Maksud
perkawinan menurut paham tradisional orang Indonesia ialah merupakan angkatan,
meneruskan keturunan. Apabila suami istri mendapatkan anak, maka tujuan
perkawinan tercapai. Segala harta keluarga, dengan tidak mengindahkan asalnya,
jadi baik asal suami, barang asal istri, maupun barang gono-gini, barang
pencarian akan oper kepada anak.[12]
Disamping itu, salah satu tujuan dari perkawinan[13]
yang dilakukan, pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan, yaitu anak.
Begitu pentingnya hal keturunan (anak) ini, sehingga menimbulkan berbagai
peristiwa hukum karena, misalnya, ketiadaan keturunan (anak). Perceraian,
poligami dan pengangkatan anak merupakan beberapa peristiwa hukum yang terjadi
karena alasan di dalam perkawinan itu tidak memperoleh keturunan (walaupun
bukan satu-satunya alasan). Tingginya frekuensi perceraian, poligami dan
pengangkatan anak yang dilakukan di dalam masyarakat mungkin merupakan akibat
dari perkawinan yang tidak menghasilkan keturunan. Jadi, seolah-olah apabila
suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan tidak
tercapai. Dengan demikian, apabila di dalam suatu perkawinan telah ada
keturunan (anak), maka tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses
pelanjutan generasi dapat berjalan.[14]
Pada
umumnya perkawinan tidak akan puas bilamana tidak mempunyai anak, sehingga
berbagai usaha dilakukan untuk memperolehnya. Pengangkatan anak adalah salah satu
usaha untuk memiliki anak, mengambil serta mengasuh anak hingga menjadi orang
dewasa yang mandiri sehingga terjalinlah hubungan rumah tangga antara Bapak dan
Ibu angkat disatu pihak dan anak angkat di lain pihak.
Pengangkatan
anak merupakan salah satu perbuatan hukum, oleh karena itu mempunyai akibat
hukum, salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai
status hukum pengangkatan anak, itu sendiri yang sering menimbulkan
permasalahan di dalam keluarga.
Pada dasarnya dalam suatu
kehidupan manusia tidaklah kompleks bila mana tidak memiliki katurunan,
keinginan untuk memiliki keturunan atau mempunyai anak merupakan suatu naluri
manusia dan alamiah. Akan tetapi kadangkala naluri itu terbentuk pada takdir
Ilahi dimana kehendak seseorang ingin mempunyai anak tidak tercapai.
Dalam suatu kehidupan manusia
umumnya tidak pernah puas dengan apa yang dirasakan dan dialaminya, sehingga
berbagai usaha yang dilakukan untuk dapat memenuhi kepuasan dalam hal pemilikan
anak usaha yang pernah mereka lakukan adalah mengangkat anak “ADOPSI”.
Senada
dengan Syaltout, Dr. Yusuf Al Qardhawi juga menyatakan bahwa adopsi dalam
pengertiannya yang konvensional diharamkan oleh Islam. Adopsi tersebut ialah
yang menjadikan seseorang sebagai anak secara hukum dan dinisbatkan kepada
keluarga yang mengangkatnya padahal sebenarnya dia bukanlah anak sendiri.
Bahkan, dikukuhkan oleh hukum yang mengatur tentang anak, dengan menetapkan
berbagai akibat hukumnya, seperti diperbolehkannya bercampr baur, haram
dinikahi, juga hak-hak pewarisan. Akan tetapi, mengambil anak dalam pengertian
untukpengasuhan dan mengambil alih fungsi pendidikan dari orang tua asalnya,
seperti mengambil anak yatim dan anak terlantar lalu diperlakukannya seperti
anak sendiri dalam hal kasih sayang, perhatian, dan pendidikan dengan tidak
menisbatkan kepada diri si pengambil anak dan tidak pula mengukuhkan hukum anak
tersebut sebagaimana anak sendiri diperbolehkan oleh Islam. Menurutnya, praktek
seperti itu sangat dipuji oleh Islam.[15]
Majelis Ulama Indonesia melalui
Musyawarah Kerja Nasional yang diselenggarakan pada bulan Maret 1984
memfatwakan sebagai berikut :
a.
Islam mengakui keturunan (nasab)
yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).
b.
Mengngkat anak (adopsi) dengan penegertian anak tersebut putus hubungan
nasab dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syari’at Islam.
c.
Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab nasab dan
agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara mengasuh, dan
mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri adalah
perbuatan terpuji dan termasuk amal saleh yang dianjurkan oleh agama Islam.
d. Pengangkatan anak
Inbdonesia oleh Warga Negara Asing selain bertentangan UUD 1945 Pasal 34, juga
merendahkan martabat bangsa.[16]
Pengangkatan anak atau yang
lebih dikenal dengan istilah “ADOPSI” yang dimaksudkan adalah mengambil anak
orang lain menjadi anak sendiri dengan melalui suatu proses yang ditetapkan di
pengadilan, semua ini dilakukan demi untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai
perubahan status dari anak angkat tersebut ke dalam praktek kehidupan
masyarakat karena tidak mempunyai anak atau karena tidak mempunyai anak
laki-laki atau perempuan.
Telah difirmankan oleh Allah SWT Dalam
Q.S. Al-Ahzab
(4-5) bahwa:
$¨B @yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4 $tBur @yèy_ ãNä3y_ºurør& Ï«¯»©9$# tbrãÎg»sàè? £`åk÷]ÏB ö/ä3ÏG»yg¨Bé& 4 $tBur @yèy_ öNä.uä!$uÏã÷r& öNä.uä!$oYö/r& 4 öNä3Ï9ºs Nä3ä9öqs% öNä3Ïdºuqøùr'Î/ ( ª!$#ur ãAqà)t ¨,ysø9$# uqèdur Ïôgt @Î6¡¡9$# ÇÍÈ öNèdqãã÷$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JÏm§ ÇÎÈ
Terjemahnya:
“Allah
sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan
dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang
demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang
Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil
pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka
(panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan
tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.[17]
Dalam adat yang berkembang di
masyarakat yang beranekaragam sistem peradabannya, banyak cara yang dilakukan
untuk mengangkat anak dilihat dari kehidupan sehari-hari pengangkatan anak
lebih banyak atas pertalian darah, sehingga kelanjutan kehidupan keluarga
tersebut tergantung kepadanya, adapun harta kekayaan tersebut juga tergantung
apakah pengangkatan anak yang dimaksud berdasarkan pertalian darah atau tidak.
Demikian juga kedudukan anak tersebut dalam masyarakat masih dipengaruhi oleh
perlakuan dan pertimbangan hukum tertentu.
Lembaga “Adopsi” tidak diakui
oleh hukum Islam. Akibat-akibat hukum dari adopsi banyak sekali diantaranya hak
mewaris bagi anak angkat. Semua akibat hukum dari adopsi juga tidak diakui oleh
hukum Islam. Apakah dengan demikian berarti Islam mencegah penyantunan terhadap
anak-anak yang terlantar? Mengingat bahwa pengangkatan anak pada umumnya
dilakukan oleh orang kaya terhadap anak orang lain yang terlantar, atau oleh
orang (yang mampu) yang tidak punya anak terhadap anak kerabatnya yang kurang
mampu.
Dengan memperhatikan berbagai
pertimbangan tersebut, maka di dalam hal pengangkatan anak yang dilakukan
menurut adat dan kebiasaan yang harus dilaksanakan dengan mengutamakan
kepentingan kesejahteraan anak dan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang
yang berlaku dalam undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak,
secara tegas dinyatakan “Bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan
sejak dalam kandungan Ibunya, selain itu anak berhak atas perlindungan terhadap
lingkungan”.[18]
Kemudian lebih lanjut dijelaskan
dalam undang-undang No. 4 tahun 1979 Bab II pasal 2 sampai dengan pasal 9
mengatur hak-hak anak atau kesejahteraan sebagai berikut:
a.
Hak atas kesejahteraan,
perawatan, asuhan dan bimbingan.
b.
Hak atas pelayanan.
c.
Hak atas pemeliharaan dan
perlindungan.
d.
Hak atas perlindungan terhadap
lingkungan hidup.
e.
Hak mendapat pertolongan pertama
f.
Hak memperoleh asuhan.
g.
Hak memperoleh bantuan.
h.
Hak memperoleh pelayanan dan
asuhan.
i.
Hak memperoleh
pelayanan-pelayanan khusus.
j.
Hak mendapatkan bantuan dan
pelayanan.[19]
Menurut Arief Gosita, mengemukakan tentang perlindungan
anak bahwa:
Perlindungan anak merupakan upaya-upaya yang mendukung
terlaksananya hak-hak dan kewajiban seorang yang memperoleh dan mempertahankan
hak untuk tumbuh dan berkembang dalam hidup secara berimbang dan positif,
berarti mendapat perlakuan secara adil dan terhindar dari ancaman yang
merugikan usaha-usaha perlindungan anak dapat merupakan suatu tindakan hukum
yang mempunyai akibat hukum, sehingga menghindarkan anak dari tindakan orang
tua yang sewenang-wenang.[20]
Dengan menyimak berbagai
penjelasan dari undang-undang kesejahteraan anak tersebut, maka persoalan anak
pengangkatan anak, bukanlah suatu hal yang mudah dan gampang, namun dalam hal
ini yang menjadi pokok perhatian bagi lembaga perlindungan anak serta
pelaksanaannya harus diamankan oleh hukum perlindungan anak, jika tidak sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang relevan antara fenomena yang ada dan saling
mempengaruhi, tentu dalam hal ini akan menimbulkan dampak yang negatif terhadap
pelayanan kesejahteraan bagi anak yang diangkat, dengan demikian pengangkatan
anak harus dilihat dari berbagai aspek kesejahteraannya maupun dari aspek kedudukan
dan kepastian hukumnya.
Dalam hukum Indonesia, kita mengenal ada
beberapa macam istilah yang berhubungan dengan pengangkatan anak yang
masing-masing tertuju pada bentuk pengangkatan anak yang berbeda. Menurut
adat adalah perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah,
pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai
anak sendiri. Sedangkan Burgelijk Weatboek (BW) menjelaskan bahwa memasukkan anak yang
diketahuinya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya dengan mendapatkan
status dan fungsi yang sama persis dengan anak kandungnya sendiri.
Kalau kita mendengar istilah
hukum Adopsi biasanya yang terbayang oleh kita adalah Adopsi sebagaimana yang
diatur dalam Burgelijk Weatboek (BW)
sebagai yang diketahui pula lembaga pengangkatan anak juga dikenal dalam hukum
adat. Belakangan ini ada juga yang menggunakan istilah pengangkatan anak dalam
arti luas sehingga meliputi keduanya untuk membedakan antara ketiganya lebih
lanjut dapat digunakan istilah Adopsi untuk pengangkatan sebagai yang dimaksud
dalam ketentuan-ketentuan hukum barat (Burghelijk
Weatboek). Sedangkan untuk pengangkatan anak adat dalam arti luas disebut
pengangkatan anak.
Dengan melihat dan menelaah berbagai
uraian di a
tas ini dengan demikian ada tiga
sistem atau stelsel hukum barat (BW) hukum adat, dan hukum Islam pada ketiga
sistem atau stelsel hukum itulah yang akan penulis tempatkan dan soroti tentang
status dan kedudukan Adopsi atau anak angkat yang dimaksud.
Dalam kitab Undang-undang hukum
perdata (KUH Perdata) kita tidak menemukan suatu ketentuan yang mengatur
tentang masalah Adopsi atau anak angkat, yang ada hanyalah ketentuan tentang
pengangkatan anak di luar kawin atau anak yang diakui, ketentuan ini boleh
dikatakan tidak ada sama sekali hubungannya dengan masalah “Adopsi” karena
kitab undang-undang hukum perdata tidak mengenal hak pengangkatan anak. Maka bagi
orang-orang Belanda pada awalnya tidak dapat memungut anak secara sah namun
pada akhirnya di Negara Belanda itu sendiri yaitu di Netherland baru-baru
seperti yang dikemukakan oleh Lindarwati Gunandhi, SH, dalam tulisannya bahwa
di sana telah diterima baik oleh staten general Netherland sebuah undang-undang
Adopsi.[21]
Landasan diterimanya
undang-undang tersebut adalah bahwa setelah perang dunia ke II, seluruh Eropa
timbul golongan manusia baru, orang tua yang telah kehilangan anak yang tidak
bisa mendapatkan anak baru lagi secara wajar atau anak yatim-piatu yang telah
kehilangan orang tuanya dalam peperangan dan lahirnya anak di luar perkawinan.
Atas landasan itulah, maka staten Nedherland telah menerima baik undang-undang
Adopsi (adoptie recht) tersebut yang
membuka kemungkinan terbatas untuk Adopsi, dengan demikian perbuatan Adopsi
telah dikenal oleh berbagai Negara sejak zaman dahulu.
Dalam hukum adat sesungguhnya
Adopsi atau keluarga buatan ini telah dikenal dan dilakukan diberbagai tempat
dipermukaan bumi ini baik pada masyarakat primitif maupun masyarakat yang sudah
maju. Oleh sebab itulah tidak heran kalau terakhir ini, banyak dikhawatirkan
dari orang-orang tua, terutama di kota-kota besar terhadap anak kecilnya,
karena sudah banyak kasus pencurian anak untuk dijual ke luar negeri, akibatnya
anak-anak tersebut di Adopsi secara resmi oleh orang-orang asing. Di Indonesia
sebagai negara kepulauan, terdapat keanekaragaman hukum yang berbeda antara
daerah satu dengan yang lain sesuai dengan perbedaan hukum adat, seperti yang
dikemukakan oleh Van Vollen Hoven di Indonesia terdapat 19 lingkungan hukum
adat (Recht Tskring), sedangkan tiap recht tskring pun terdiri atas kukuban
hukum (Recht Gouw).
Dengan demikian, tentunya akan
terdapat beberapa perbedaan masing-masing daerah hukum di Indonesia tentang
masalah status anak angkat itu hal ini sesuai dengan keanekaragaman bangsa
Indonesia yang tercermin dalam bentuk lambung Negara Indonesia yang Berbhinneka
Tunggal Ika.
Eksistensi lembaga Adopsi di
Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah
yang menyangkut ketentuan dan kepastian hukum. Ketidaksingkronan tersebut
sangat jelas dilihat, kalau kita mempelajari ketentuan tentang lembaga Adopsi
itu sendiri dalam sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia, baik hukum
barat yang bersumber dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam burgelijk wetboek (BW) dan hukum adat
yang berlaku di masyarakat Indonesia maupun hukum Islam yang merupakan
konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia yang mayoritas mutlak beragama
Islam.
Dari ketiga sistem hukum di
atas, belum terlihat adanya suatu persamaan yang memberikan suatu kepastian
hukum masalah pengangkatan anak sebagai bentuk pelayanan kesejahteraan anak
yang bertujuan memberikan suatu perlindungan secara optimal. Optimalisasi
adanya kepastian hukum adopsi tujuannya menghindarkan terjadinya penyelewengan
yang dapat menghilangkan tujuan awal dari pengadaan pelayanan kesejahteraan
bagi anak sebagai subjek yang seharusnya dilindungi hak-hak yang sesuai dengan
asas perlindungan anak. Bentuk penyelewengan yang dapat menghilangkan hakikat
fungsi pengangkatan anak (Adopsi), sebagai sarana perlindungan, dijadikan
sebagai kedok untu memperoleh keuntungan atau demi kepentingan sepihak dan
memandang anak tidak lagi sebagai subjek yang harus dilindungi kepentingannya
menjadi sebuah objek diam yang lemah.untuk itulah diperlukan penanganan yang
serius agar masalah pengangkatan anak (Adopsi) ini tidak dijadikan kesempatan
bagi pihak-pihak yang mencari keuntungan sendiri, maka dalam hal pengangkatan
anak seharusnya memiliki suatu ketentuan atau aturan-aturan hukum yang pasti
tentang (Adopsi).
Atas dasar uraian tersebut di
atas, maka peneliti mengambil judul “Tinjauan Hukum Tentang Status Lembaga Adopsi (Studi
Pada Pengadilan Negeri Makassar)”.
Berangkat dari persoalan inilah maka penulis tertarik
mengangkat masalah Adopsi dalam penulisan skripsi ini.
H.
Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan gambaran yang telah
dikemukakan pokok masalah yang timbul adalah Tinjauan Hukum Tentang Status
Lembaga Adopsi (Studi pada Pengadilan
Negeri Makassar), maka pokok masalah dijabarkan dalam beberapa sub masalah
sebagai berikut :
a.
Bagaimana peranan lembaga Adopsi di
Pengadilan Negeri Makassar?
b.
Bagaimana kepastian hukum lembaga Adopsi di
Pengadilan Negeri Makassar?
I.
Pengertian Judul dan Devenisi Operasional
a.
Pengertian Judul
Untuk memperoleh pemahaman yang jelas terhadap objek penelitian dalam
skripsi ini, maka penulis terlebih dahulu menguraikan pengertian judul “Tinjauan
Hukum Tentang Status Lembaga Adopsi (Studi
pada Pengadilan Negeri Makassar)” sebagai barikut :
Tinjauan adalah
hasil meninjau; pandangan; pendapat sesudah menyelidiki, mempelajari dan
sebagainya.[22]
Hukum adalah
peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi
semua orang di suatu masyarakat (Negara).[23]
Status yang
kami maksudkan disini adalah bagaimana pandangan hukum tentang lembaga Adopsi
dalam hukum barat, hukum Islam dan hukum adat.
Adopsi adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak
sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan
timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan faktor hubungan darah.[24]
b.
Defenisi Operasional
Defenisi operasional dari “Tinjauan Hukum Tentang Status Lembaga Adopsi
(Studi pada Pengadilan Negeri Makassar)”
adalah bagaimana pandangan hukum terhadap lembaga adopsi baik itu menurut hukum
barat, hukum Islam dan hukum adat.
J.
Tinjauan
Pustaka
Pengangkatan
anak yang dilakukan di Indonesia sudah banyak, susunan masyarakat
pun
berbeda-beda. Untuk wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh hukum adat yang
berbeda-beda. Dalam upacara pengangkatan anak ada perbuatan yang dinamakan ”serah
terima” yaitu penyerahan anak dari orang tua kandung terhadap calon orang tua
angkat dan sebaliknya. Tetapi ada pula yang melaksanakan upacara pengangkatan
anak tanpa adanya serah terima tersebut. Akibatnya dalam pratek mengalami
masalah yaitu dalam hal menentukan apakah anak itu diangkat secara hukum.
Menurut
Djaja S. Meliala dalam bukunya berjudul “Pengangkatan
Anak di Indonesia”
latar belakang dilakukan pengangkatan anak.
a.
Rasa belas kasihan terhadap anak
terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya atau alasan
kemanusiaan.
b.
Tidak mempunyai anak dan
keinginan anak untuk menjaga dan memelihara kelak dikemudian hari tua.
c.
Adanya kepercayaan bahwa dengan
adanya anak dirumah maka akan mempunyai anak sendiri.
d.
Untuk mendapatkan teman bagi
anaknya yang sudah ada.
e.
Untuk menambah atau mendapatkan
tenaga kerja.
f.
Untuk mempertahankan ikatan perkawinan
atau kebahagiaan keluarga.[25]
M.
Budiarto dalam bukunya yang berjudul “Pengangkatan
Anak Ditinjau dari Segi Hukum” bahwa faktor atau latar belakang dilakukan
pengangkatan anak, yaitu:
a.
Keinginan untuk mempunyai anak,
bagi pasangan yang tidak mempunyai anak.
b.
Adanya harapan dan kepercayaan
akan mendapatkan anak setelah mengangkat anak atau sebagai “pancingan”.
c.
Masih ingin menambah anak yang
lain jenis dari anak yang telah dipunyai.
d.
Sebagai belas kasihan terhadap
anak terlantar, miskin, yatim piatu dan sebagainya.[26]
Dari pendapat-pendapat yang
telah diuraikan diatas terlihat bahwa pada dasarnya latar belakang seseorang
melakukan pengangkatan anak adalah tidak mempunyai keturunan, untuk
mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan, adanya harapan dan kepercayaan
akan mendapatkan anak setelah mengangkat anak atau pancingan. Dengan demikian
jelaslah pengangkatan anak merupakan sesuatu yang bernilai positif.
K.
Metode
Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, definisi penelitian adalah
suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruktif yang
dilakukan secara metodologi, sistematis dan konsisten. Metodologi berarti
sesuai dengan metode atau cara-cara tertentu. Sistematis artinya berdasarkan
suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dengan suatu kerangka tertentu. Penelitian adalah suatu usaha
untuk menemukan, mengembangkan dan menguji suatu pengetahuan. Sebelum seseorang
melakukan penelitian ia dituntun untuk dapat menguasai dan menerapkan
metodologi dengan baik.[27]
Metode yang digunakan dalam penyusunan dan penulisan
skripsi ini adalah :
1.
Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode
pendekatan yuridis sosiologis. Metode pendekatan yuridis sosiologi adalah
metode pendekatan yang bertujuan memaparkan suatu pernyataan yang ada
dilapangan berdasarkan asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum atau
Perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang
dikaji.[28]
2.
Penentuan Lokasi
Penentuan
lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja atau (purpusive) sehingga diambil kota Makassar sebagai lokasi
penelitian, dengan didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain:
Kota Makassar termasuk salah
satu daerah perkotaan yang cukup ramai dan berkembang, baik dilihat dari jumlah
penduduknya maupun keadaan sosial budaya yang sejalan dengan perkembangan
kota-kota lain di sulawesi selatan.
3.
Jenis dan Sumber Data
Dalam
penulisan skripsi ini diperlukan berbagai jenis data, adapun data yang
diperlukan atau dibtuhkan yaitu data primer dan data skunder kedua data ini dapat
diperoleh pada objek-objek penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.
4.
Pemilihan Responden
Pemilihan
responden atau informan dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja pula yang
didasarkan kepada tujuan penelitian sehingga dalam hal ini diambil orang-orang
yang menurut pengamatan penulis mengetahui dan memahami masalah yang diteliti.
Maka dalam
hal ini yang diambil sebagai responden dan informan adalah:
a.
Hakim Pengadilan Negeri Makassar
b.
Panitera pada Pengadilan Negeri Makassar
5.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam
penelitian ini, untuk mengumpulkan data diperlukan atau dipergunakan metode
atau teknik antara lain:
a.
Teknik penelitian kepustakaan (library research)
Yaitu dengan
jalan membaca bahan-bahan tulisan ilmiah, buku-buku literature,
peraturan-peraturan perundang-undangan dan berbagai konsep-konsep lainnya yang
dipandang dapat menambah kejelasan permasalahan dan arah pembahasan yang ada
relevan dalam penelitian.
b.
Penelitian lapangan (field reseach)
Penelitian lapangan ini penulis
lakukan dengan cara:
1.
Pengamatan yaitu penulis
melakukan kunjungan langsung pada tempat atau objek-objek yang menjadi tujuan
atau sasaran penelitian.
2.
Wawancara (interview)
Dimana
penulis mengadakan wawancara dan konsultasi secukupnya dengan Aparat atau Pihak
dari pengadilan negeri Makassar dalam wilayah hukum kota Makassar.
3.
Observasi
Yaitu melakukan pengamatan, melihat,
meninjau atau mengawasi dalam pengumpulan data-data dilakukan dalam penelitian
hukum sebagaimana juga dalam ilmu-ilmu sosial.[29]
6.
Teknik Analisis Data
Dalam penulisan
skripsi ini, teknik analisa data yang digunakan adalah analisa data secara
normatif kualitatif:
Yaitu
memberikan pembahasan atau suatu penjelasan tentang bahan penelitian yang
datanya mengarah pada kajian yang bersifat teoritis mengenai konsep-konsep dan
berbagai bahan hukum lainnya, yaitu dimana pernyataan khusus dikaitan dengan
pernyataan umum yang diperoleh dilapangan.
Hasil penelitian dari data yang
diperoleh baik secara tertulis atau lisan dari perilaku nyata yang diamati itu
dipelajari serta dibahas yang utuh untuk diungkapkan dalam pembahasan skripsi
ini.
L.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan
a.
Untuk mengetahui
peran lembaga Adopsi di Pengadilan Negeri Makassar.
b.
Untuk mengetahui
kepastian hukum lembaga Adopsi di Pengadilan Negeri Makassar.
2.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan
berguna:
a.
Bagi kalangan akademis maupun
masyarakat dapat menambah wawasan di bidang hukum perdata serta untuk
memberikan jawaban terhadap masalah-masalah hukum kongkrit khususnya dalam hal
pengangkatan anak (Adopsi), dan selanjutnya agar dapat mengembangkan dan
memperluas wawasan pemikiran mengenai kepastian hukum tentang lembaga Adopsi.
b.
Hasil penelitian ini merupakan
perwujudan dari hasrat penulis untuk memenuhi kewajiban seseorang calon sarjana
guna menambah atau mengembangkan ilmu pengetahuan tentang hukum.
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG LEMBAGA ADOPSI
D.
Pengertian
Adopsi
Sebelum penulis lebih lanjut
mengemukakan dan menguraikan tentang pengertian adopsi, maka penulis dapat
membedakan dari dua sudut pandangan, yaitu pengertian secara etimologis dan
secara terminologi :
1. Secara Etimologi
Kata adopsi berasal dari kata “Adoptie” bahasa Belanda atau “Adopt” (Adoption) bahasa Inggris yang berarti pengakuan anak.
Sedangkan dalam bahasa Arab
disebut “Tabanni”. Secara
etimologi, kata tabanni berarti “mengambil anak angkat”.[30] Istilah tabanni yang berarti seseorang yang
mengangkat anak orang lain sebagai anak, dan berlakulah terhadap anak tersebut
seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak kandung orang tua angkat. Dalam bahasa Belanda
menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang
anak untuk
dijadikan sebagai anak kandung sendiri.
Pengertian
dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti penganngkatan seorang anak
untuk dijadikan sebagai anak kandungnya sendiri, jadi di sini penekanannya pada
persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak kandung, sedangkan
pengertian secara Literlijk Adopsi dalam kamus bahasa Indonesia berarti anak
angkat atau mengangkat anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri.[31]
2. Secara Terminologi
Para
ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang defenisi adopsi antara lain:
a.
Arif
Gosita, dalam bukunya “Masalah
Perlindungan Anak”, bahwa: Pengangkatan anak adalah suatu
tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai
anak keturunannya sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah
disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku pada masyarakat yang
bersangkutan.[32]
b.
Emiliana
Krisnawati, dalam bukunya “Aspek Hukum
Perlindungan Anak” bahwa: Adopsi adalah suatu perbuatan mengangkat anak
untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu
yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan faktor hubungan
darah.[33]
c.
Soedharyo Soimin, dalam bukunya
“Hukum Orang dan Keluarga” bahwa: Adopsi adalah suatu perbuatan
mengambil anak orang lain ke dalam keluarganya sendiri, sehingga dengan demikian
antara orang yang mengambil anak dan yang diangkat timbul suatu hubungan hukum.[34]
d.
Muderis Zaini, dalam bukunya “Adopsi
Suatu Tujuan dari Tiga Sistem Hukum” bahwa: Adopsi adalah suatu perbuatan
pengambilan anak orang lain ke dalam keluarganya sendiri sedemikian rupa,
sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipunggut itu timbul
suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan
anak kandungnya sendiri.[35]
e.
Djaja S. Semliala, dalam bukunya
“Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia” bahwa: Adopsi adalah suatu
perbuatan hukum yang memberi kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama
seperti seorang anak yang sah.[36]
f.
Soerjono
Soekanto, dalam bukunya “Hukum Adat
Indonesia” bahwa: Adopsi (anak angkat) pada dasarnya adalah anak orang lain
(dalam hubungan perkawinan yang sah menurut adat dan agama) yang diangkat
karena alasan tertentu dan dianggap sebagai anak kandung. Masyarakat lampung
membedakan anak angkat ini menjadi dua kategori, yaitu anak angkat adat (jadi,
anak angkat adat) dan anak angkat biasa. Anak angkat adat adalah anak orang
yang lain yang diangkat oleh suatu keluarga dan dianggap sebagai anak kandung
sendiri dan biasanya anak angkat ini dilakukan oleh suatu keluarga oleh karena
mereka tidak mempunyai anak sama sekali, jadi anak angkat adat ini dapat berupa
perempuan dan dapat pula laki-laki. Tetapi pada umumnya yang diangkat sebagai
anak angkat adat adalah anak laki-laki, hubungan antara anak angkat adat dengan
orang tua kandungnya secara formal terputus.[37]
g.
B.
Bastian Tafal, di dalam bukunya “Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat
Hukumnya di Kemudian Hari” bahwa pengangkatan anak adalah usaha
untuk mengambil anak bukan keturunan dengan maksud untuk memelihara dan
memperlakukannya sebagai anak sendiri.[38]
h.
Amir
Martosedono, dalam bukunya “Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya”, bahwa: Anak Angkat adalah anak yang diambil oleh seseorang
sebagai anaknya, dipelihara, diberi makan, diberi pakaian, kalau sakit diberi
obat, supaya tumbuh menjadi dewasa. Diperlakukan sebagai anaknya sendiri. Dan
bila nanti orang tua angkatnya meninggal dunia, dia berhak atas warisan orang
yang mengangkatnya.[39]
Dari pengertian pengangkatan anak
maupun anak angkat yang telah dikemukakan tersebut di atas pada dasarnya adalah
sama. Dari pendapat tersebut dapat diambil unsur kesamaan yang ada di dalamnya,
yaitu :
1.
Suami
istri yang tidak mempunyai anak tersebut mengambil anak orang lain yang bukan
keturunannya sendiri.
2.
Memasukkan
anak tersebut ke dalam lingkungan keluarganya, untuk dipelihara, di didik dan
sebagainya.
3.
Memperlakukan
anak yang bukan keturunan sendiri sebagai anak sendiri.
E. Sejarah Lembaga Adopsi dan Alasan
Berdirinya
Secara historis, pengangkatan anak (adopsi) sudah
dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad saw. Mahmud Syaltun
menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan anak sebenarnya dan dipraktekkan oleh
masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang
dipraktekkan oleh bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman
kuno. Dikalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah
pengangkatan anak dikenal dengan at-tabanni dan sudah ditradisikan secara
turun-temurun.[40]
Imam Al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa
sebelum kanabian, Rasulullah saw sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah
menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama
ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah saw dengan nama Zaid bin
Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya diumumkan oleh Rasulullah Muhammad saw
di depan kaum Quraisy. Nabi Muhammad saw juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid
saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy, putrid
Aminah binti Abdul Muthalib, bibi Nabi Muhammad saw. Oleh karena Nabi saw telah
menganggapnya sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan
nama Zaid bin Muhammad.[41]
Setelah Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul,
turunlah surat Al-Ahzab (33) ayat (4) dan (5), yang salah satu intinya melarang
pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi) dan
memanggilnya sebagai anak kandung. Imam Al-Qurtubi menyatakan bahwa kisah di
atas menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut.
Ketentuan di atas sudah cukup jelas, bahwa yang
dilarang adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal. Dari
sini terlihat adanya titik persilangan ketentuan hukum perdata dalam hal ini
staatblaad 1927 nomor 129, yang menghilangkan atau memutuskan kedudukan anak
angkat dengan kedua orang tua kandungnya sendiri. Hal ini bersifat prinsip
dalam lembaga adopsi, karena ketentuan yang menghilangkan hak-hak ayah kandung
dan dapat merombak ketentuan waris.
Gagasan
mengenai hak anak pertama kali muncul pasca berakhirnya Perang Dunia I. Sebagai
reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang
dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, para aktivis perempuan melakukan
protes dengan menggelar pawai. Dalam pawai tersebut, mereka membawa
poster-poster yang meminta perhatian publik atas nasib anak-anak yang menjadi
korban perang.
Salah
seorang di antara aktivis tersebut, Eglantyne
Jebb, kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak yang
pada tahun 1923 diadopsi oleh Save the Children Fund International Union.
Untuk pertama kalinya, pada tahun 1924, Deklarasi Hak Anak diadopsi secara
internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Selanjutnya, deklarasi ini juga dikenal
dengan sebutan Deklarasi Jenewa.
Setelah
berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya pada 10 Desember 1948, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Universal Declaration of Human
Rights atau Deklarasi Universal mengenai HAM (DUHAM). Peristiwa yang diperingati
setiap tahun sebagai Hari HAM Sedunia tersebut menandai perkembangan penting
dalam sejarah HAM. Beberapa hal yang menyangkut hak khusus bagi anak-anak
tercakup pula dalam deklarasi ini.
Pada
1959, Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan Pernyataan mengenai Hak Anak
sekaligus merupakan deklarasi internasional kedua di bidang hak khusus bagi
anak-anak. Selanjutnya, perhatian dunia terhadap eksistensi bidang hak ini
semakin berkembang. Tahun 1979, bertepatan dengan saat dicanangkannya Tahun
Anak Internasional, pemerintah Polandia mengajukan usul disusunnya perumusan
suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap
hak-hak anak dan bersifat mengikat secara yuridis. Inilah awal mula dibentuknya
Konvensi Hak Anak.
Dalam
pelaksanaan pengangkatan anak, pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak adalah
hal paling utama. Selanjutnya, harus diperhatikan pula kepentingan pemilik anak
agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Pelayanan berikutnya diberikan
bagi pihak-pihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak.
Dan yang paling akhir mendapatkan pelayanan adalah anak yang diangkat.
Sepanjang proses tersebut, anak benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan
persetujuan antara orang-orang dewasa.[42] Berkaitan dengan kenyataan
ini, proses pengangkatan anak yang menuju ke arah suatu bisnis jasa komersial
merupakan hal yang amat penting untuk dicegah karena hal ini bertentangan
dengan asas dan tujuan pengangkatan anak.
Menurut beberapa ahli, bahwasanya yang menjadi
alasan mendasar terjadinya pengangkatan anak (adopsi) yaitu :
1.
Menurut Muderis Zaini,[43] dalam bukunya yang
berjudul "Adopsi" Inti dari motif pengangkatan anak :
a.
Karena tidak mempunyai anak.
b.
Karena belas kasihan kepada anak
tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya.
c.
Karena belas kasihan, disebabkan
anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua (yatim piatu).
d.
Untuk mempererat hubungan
kekeluargaan.
e.
Sebagai pemancing bagi yang
tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung.
f.
Untuk menambah tenaga dalam
keluarga.
g.
Untuk menyambung keturunan dan
mendapatkan regenerasi bagi yang tidak mempunyai anak kandung.
2.
Menurut Hilman Hadikusumo,[44] pengangkatan anak
dilakukan karena alasan-alasan sebagai berikut :
a.
Tidak mempunyai keturunan.
b.
Tidak ada penerus keturunan.
c.
Rasa kekeluargaan dan kebutuhan
tenaga kerja.
Demikian
beberapa motivasi pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang-orang yang
berkepentingan di Indonesia, sehingga jelas adanya lembaga adopsi ini sangat
dibutuhkan oleh mayarakat di Indonesia.
F.
Peran Lembaga Adopsi pada Pengadilan Negeri Makassar
Sebagai
salah satu lembaga hukum dalam lingkup Pengadilan Negeri Makassar, maka lembaga
adopsi (pengangkatan anak) mempunyai peran yang luar biasa besarnya. Di
Indonesia pada umumnya masyarakat hanya sekedar untuk menutupi kekurangan kedua
belah pihak saja, apakah itu karena tidak adanya keturunan atau pun karena
ketakutan akan terlantarnya anak tersebut.
Namun
perlu diketahui bahwa tujuan pengangkatan anak ini, tidak lagi semata-mata atas
motivasi untuk meneruskan keturunan saja, tetapi lebih beragam dari itu. Ada
berbagai motivasi lain yang mendorong seseorang untuk mengadopsi anak, bahkan
tidak jarang pula karena faktor politik, ekonomin, sosial, budaya dan
sebagainya. Demikianlah peran Lembaga Adopsi pada Pengadilan Negeri Makassar
dalam mengontrol jalannya proses Adopsi itu.
Bila dilihat rangkaian kegiatan
adopsi di Indonesia ini, dia tidak lepas dari gerak dan dinamika sosial dan sistem
peradatan masyarakat lingkungan hukum, di mana adopsi itu terjadi. Namun di
samping adopsi adalah produk dari sistem kemasyarakatan di suatu lingkungan
tertentu, sekaligus adopsi juga mempunyai fungsi sosial. Hal ini juga diakui
oleh R. Supomo dalam buku beliau Hubungan Individu dan Masyarakat dalam hukum
adat, yaitu :
“Fungsi sosial dari peraturan-peraturan hukum seperti
pengangkatan anak jelas pula. Apabila seorang Lampu atau seorang Bali yang
tidak berputera memungut seorang anak laki-laki, maka yang demikian itu tidak
dilakukannya semata-mata untuk kesenangan sendiri, melainkan karena dia merasa
wajib untuk menjaga lanjutnya keluarganya. Lagi pula bagi seorang Bali penting
sekali, bahwa ia mempunyai seorang putera yang akan meneruskan pemujaan dalam
pamerajan atau dalam sanggah, sesudah ia meninggal dunia dan yang akan mengurus
pembakaran jenazahnya. Di kepulauan Kei, ada juga berlangsung orang mengangkat anak
perempuan, supaya bias dikawinkan dengan seorang laki-laki menurut cara
perkawinan antara anak bersaudara yang di sana sangat disukai. Orang-orang
Semendo dan Tayan di Kalimantan Barat, yang tidak mempunyai anak perempuan,
memungut anak perempuan untuk mendapatkan seorang yang bisa melakukan pekerjaan
dalam keluarga sebagai pengurus harta benda asli keluarga. Apabila pada
suku-suku bangsa tersebut anak perempuan yang tertua kawin, maka suaminya harus
datang tinggal di rumahnya karena ia sebagai pemelihara pusaka keluarga harus
tinggal di rumah keluarganya.”[45]
Dengan demikian, jelas bahwa
adopsi di samping sistem kemasyarakatan yang dilahirkan oleh kultur kehidupan
masyarakat, juga sekaligus timbal baliknya fungsi sosial dari adopsi ini sangat
besar artinya, terutama dalam hubungannya untuk kepentingan keluarga dengan
berbagai variasinya, seperti yang ditulis oleh Prof. Drs. R. Supomo, SH., di
atas.
Sebagai suatu lembaga
kemasyarakatan yang juga mempunyai fungsi sosial yang tidak kecil artinya
terhadap keluarga dan dampaknya kepada masyarakat keseluruhan, maka eksistensi
adopsi sebagai suatu lembaga hukum perlu mendapatkan tempat yang lebih jelas.
Hal ini mengingatkan bahwa
adopsi atau pengangkatan anak ini di samping telah dikenal dan dilakukan di
Indonesia yang semula bertujuan untuk meneruskan garis keturunan dalam suatu
keluarga, akan tetapi dewasa ini adopsi telah dilakukan pula demi kemanusiaan. Terlebih-lebih
dalam perkembangan kemajuan sekarang yang dibarengi pula efek negatifnya, maka
peran lembaga adopsi sebagai lembaga hukum sangat besar artinya.
Anak-anak
merupakan generasi penerus yang sangat diharapkan dapat meneruskan pembangunan
suatu bangsa, dan ada benarnya bila dikatakan bahwa anak adalah bunga bangsa.
Agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sempurna, sehat lahir dan batin,
dibutuhkan lingkungan hidup yang sehat dan memberikan kesempatan yang sama
untuk hidup layak.
Adanya
lembaga adopsi minimal melingkupi dua subyek yang berkepentingan, yakni orang
tua yang mengangkat di satu pihak dan si anak yang diangkat di lain pihak,
dengan berbagai variasi latar belakang pengangkatan anak itu sendiri adalah
jelas menggambarkan bahwa adopsi sebagai suatu lembaga yang dibutuhkan
masyarakat yang padanya bertengger berbagai kepentingan.
Dalam
hal adopsi ini, dimana kepentingan orang tua yang mengangkat dengan sejumlah
motif yang ada belakangan dapat terpenuhi dengan baik, sedangkan dipihak lain
kepentingan anak yang diangkat juga dapat terpenuhi yaitu terciptanya masa
depan yang harus lebih terjamin kepastiannya. Disamping itu pula kehormatan
orang tua kandungnya bisa terjaga.
Sebagai salah satu lembaga hukum, maka
kepentingan masyarakat akan lebih terjamin, karena misi hukum mempertahankan
kedamaian di antara manusia dan sekaligus melindungi kepentinagnnya. Hal ini
sesauai dengan yang ditulis oleh Prof. Mr. Dr. LJ. Van Apeldoorn, dalam buku
Muderis Zaini, bahwa :
“Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang
kepentingan-kepentingan yang bertentangan diantaranya karena hukum hanya dapat
mencapai tujuan (mengatur pergaulan) hidup secara damai, jika ia menuju
peraturan yang adil, artinya peraturan pada norma terdapat keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi, pada mana setiap orang memperoleh
sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya”.[46]
Sebagai satu lembaga hukum, maka dalam stelsel hukum
barat yang bersumber dar BW tidak ada yang mengatur masalah adopsi ini secara
khusus, kecuali hanya terdapat dalam staatsblad 1917 nomor 129 dan ketentuan
inipun hanya khusus berlaku bagi orang-orang yang termasuk golongan Tionghoa.
Dari pasal 5 staatsblad tersebut dapat diketahui, bahwa yang dimaksudkan adalah
untuk member kesempatan kepada sepasang suami istri/duda/janda yang tidak
mempunyai anak laki-laki, untuk mengangkat anak laki-laki yang dapat meneruskan
garis keturunan. Edangkan BW yang terdapat hanya ketentuan pasal 39 BW yang
mengatakan tentang anak luar kawin yang diakui dan pasal 40 yang mengatur
tentang anak luar kawin yang tidak diakui.
Dari uraiuan di atas telah digambarkan bahwa
lembaga adopsi pada Pengadilan Negeri Makassar mempunyai peranan yang sangat
penting dalam mengontrol dan mendampingi jalannya pengadopsian masyarakat
Makassar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
BAB III
SISTEM HUKUM YANG MENGATUR TENTANG ADOPSI
D.
Adopsi
Menurut Hukum Barat
Dalam
kitab undang-undang hukum perdata (KAUHP Perdata) atau Bulgelijk Weatboek (BW) kita tidak menemukan suatu ketentuan yang
mengatur tentang adopsi yang disebut dengan anak angkat, yang ada hanyalah
ketentuan-ketentuan tentang pengakuan anak di luar kawin, yaitu seperti yang
diatur dalam buku I BW BAB XII bagian ketiga, pasal 280-289, tentang pengakuan
tentang pengakuan anak di luar kawin. Penjelasan yang dimaksud dapat
dikemukakan pada Pasal 280 bahwa Menyatakan dengan pengakuan yang dilakukan
terhadap seorang anak di luar kawin, timbul hubungan perdata antara sianak dengan
bapak atau ibunya. Pasal 289 Menyatakan tidak seorang anakpun diperbolehkan
menyelidiki siapakah bapak atau ibunya dalam hal-hal, bilamana menurut pasal
283 pengakuan terhadapnya tak boleh dilakukan.[47]
Dari
penjelasan isi pasal terebut di atas sudah jelas kelihatannya tidak ada
katannya atau hubungannya dengan pengangkatan anak, namun apa salahnya penulis
kemukakan ekedar diketahui oleh para pembaca, karena dengan tegas dikatakan
bahwa ketentuan ini boleh dikatakan tidak ada sama sekali hubungannya dengan
pengangkatan anak (adopsi) oleh karena itu kitab undang-undang hukum perdata
tidak mengenal masalah pengangkatan anak (adopsi). Sebagaimana yang pernah
disinggung dan dikemukakan oleh penuli pada halaman sebelumnya, bahwa bagi
orang-orang Belanda sampai sekarang ini belum dapat memungut anak secara sah,
akan tetapi mereka baru-baru ini elah diterima baik oleh Staten General
Nederland sebuah undang-undang adopsi.
Diterimanya
undang-undang tersebut dengan landasan pemikir setelah terjadinya perang dunia
II, dimana seluruh Eropa pada saat itu timbul golongan manusia baru, orang tua
yang kehilangan anak dan tidak bias mendapatkan anak baru lagi secara wajar,
banyak anak-anak yatim piatu dan lahirnya anak di luar perkawinan, dasar itulah
maka Staten General Nederland telah menerima baik sebuah undang-undang adopsi
tersebut yang membuka kemungkinan terbatas untuk adopsi.
Dengan
demikian dapat dapat dikatakan bahwa perbuatan adopsi telah dikenal oleh
berbagai Negara sejak zaman dahulu, sebagai model atau cara untuk memperoleh
anak angkat atau adopsi.
Adopi
merupakan salah satu perbuatan manusia yang termasuk perbuatan perdata, yang
merupakan bagian hukum kekeluargaan, dengan demikian melibatkan persoalan dari
setiap yang berkaitan dengan hubungan antara manusia. Bagaimana juga lembaga
adopsi ini akan mengikuti perkembangan dari mayarakat sendiri, yang telah terus
beranjak kearah kemajuan. Dengan demikian karena tuntutan masyarakat walaupun
dalam KUHP Perdata tidak mengatur masalah adopsi, sedang adopsi itu sendiri
sangatlah lazim terjadi dimasyarakat, maka pemerintah Hindia Belanda Staatblad
Nomor. 129 tahun 1917, khusus pasal 5 sampai 15 yang mengatur masalah
adopsi atau anak angkat ini untuk
golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah staatblaad 1917 Nomor. 129 menjadi
ketentuan hukum tertulis yang mengatur adopsi bagi kalangan masyarakat Tionghoa
yang biasa dikelanal dengan golongan timur asing.
Oleh
karena hanya satu-satunya staatblaad 1917 Nomor. 129 seperti yang disebut di
atas oleh Pemerintah Belanda yang merupakan kelengkapan dari KUHP Perdata atau
BW yang ada, maka untuk mengemukakan data adopsi menurut versi hukum barat itu
semata-mata banyak dari staatblaad 1917 Nomor. 129 mengatur tentang siapa saja
yang boleh mengadopsi yaitu :[48]
Ayat 1 mengemukakan Bahwa seseorang laki-laki yang beristeri atau pernah
beristeri telah mempunyai anak keturunan laki-laki yang sah dalam garis
keturunan laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena
angkatan, maka bolehlah ia mengangkat seseorang laki-laki sebagai anaknya. Ayat
2 mangemukakan Bahwa pengangkatan anak dilakukan oloeh suami bersama dengan
isterinya atau jika ia telah cerai dengan isterinya, pengangkatan anak itu
dilakukan oleh suami. Ayat 3 mengemukakan Bahwa apabila kepada seorang
perempuan janda yang tidak kawin lagi, oleh semuanya yang telah meninggal tidak
ditinggalkan oleh eorang keturunan ebagai termaksud ayat ke-1 pasal, maka
bolehlah ia mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya dengan surat waiat
telah menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak oleh isterinya, maka
pengangkatan anak itupun tidak boleh dilakukan.
Dari
ketentuan di atas, maka yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami istri
yang tidak mempunyai anak laki-laki, duda atau janda yang tidak mempunyai anak
laki-laki, asal saja duda atau janda yang bersangkutan telah ditinggalkan
berupa surat wasiat dari suaminya yang menyatakan tidak menghendaki
pengangkatan anak. Disini tidak diatur secara kongkrit mengenai batasan usia
dan orang yang belum kawin untuk mengangkat anak.
Selanjutnya
pada pasal 6 dan pasal 7 mengatur tentang siapa saja yang dapat di adopsi.[49]
Pasal 6 Menyebutkan yang boleh diangkat menjadi anak hanyalah orang-orang
Tionghoa laki-laki yang tak beristripun tidak beranak, sesuatu yang telah
diangkat oleh orang lain. Pasal 7 ayat (1) Menyebutkan orang yang diangkat
harus paling sedikitnya 18 tahun lebih muda dari pada suami dan paling
sedikitnya pula 15 tahun lebih muda dari pada si isteri atau si janda yang mengangkat.
Ayat (2) Menyebutkan bahwa yang diangkat itu adalah keluarga sedarah, baik yang
sah maupun yang keluarga yang luar kawin, maka keluarga tadi karena
pengangkatan terhadap moyang yang kedua belah pihak bersama harus memperoleh
derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunan, sebelum diangkat.
Dari
keturunan tersebut, batasan usia hanya diebutkan selisih antara orang yang
mengangkat anak dan anak yang diangkat, sedangkan orang yang diangkat hanyalah
mereka yang berbangsa Tionghoa laki-laki yang tidak beristeri, apalagi beranak
juga disyaratkan yang tidak telah diangkat oleh orang lain. Jadi untuk
orang-orang perempuan yang tidak boleh diangkat, tidak ada batasan, apakah yang
diangkat itu harus anak atau keluarga dekat atau luar keluarga atau juga
orang-orang asing hanya ditekankan bahwa manakala yang diangkat adalah orang
yang sedarah, baik keluarga yang sah maupun keluarga luar kawin, maka keluarga
tadi karena angkatannya pada moyang kedua belah pihak bersama pula dengan
derajat keturunannya, karena kelahiran ia diangkat.
Dalam
motif atau tujuan mengadopsi anak tidak ada satu pasal pun yang mengemukakan
secara kongkrit dalam staatblaad 1917 Nomor. 129 ini. Hal ini hanya sebagai
pedoman dalam pembahasan dalam penulisan ini, bahwa yang boleh diangkat
hanyalah anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan dengan tegas dijelaskan
dalam pasal 15 ayat 2 bahwa mengemukakan pengangkatan terhadap anak perempuan
dan pengangkatan dengan cara lain dari pada cara membuat akta otentik adalah batal
karena hukum.
Ketentuan
ini sebenarnya berangkat dari satu Sistem kepercayaan adat Tionghoa, bahwa anak
laki-laki itu dianggap oleh masyarakat Tionghoa untuk melanjutkan keturunan
dari pada mereka dikemudian hari. Diamping itu pula terpenting, bahwa anak
laki-laki yang dapat memelihara leluhur orang tuanya. Oleh karena itulah
kebanyakan dari orang Tionghoa tidak mau anak laki-lakinya diangkat orang lain.
Kecuali apabila keluarga ini merasa tidak mampu lagi memberikan nafkah untuk
kebutuhan anak-anaknya.
Selanjutnya
tata cara dalam pengangkatan anak pula diatur oleh pasal 8 sampai 10 staatblaad
1917 Nomor.129, dimana pada pasal 8 menyebutkan 4 syarat pengangkatan anak
yaitu :[50]
1.
Persetujuan orang tua yang
mengangkat anak :
a. Jika anak yang diangkat itu adalah anak sah dari orang tuanya, maka
diperlukan izin orang tua itu, jika bapaknya sudah meninggal dan ibunya sudah
kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari balai harta peninggalan selaku
penguasa wali.
b. Jika anak yang diangkat itu adalah lahir dari luar pernikahan, maka
diperlukan izin dari orang tuanya yang mengakui sebagai anaknya, manakala anak
itu sama sekali tidak diakui sebagai anaknya, maka harus ada persetujuan dari
walinya serta dari harta peninggalannya.
2.
Jika anak yang akan diangkat itu
sudah berusia 19 tahun, maka diperlukan pula persetujuan dari anak itu sendiri.
3.
Manakala yang mengangkat anak itu
adalah perempuan janda, maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan
ayah dari almarhum suaminya atau jika tidak ada saudara laki-laki dan ayah yang
masih hidup atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka ada persetujuan
dari anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya dalam garis laki-laki
sampai derajat keempat.
Persetujuan
yang dimaksud dalam syarat keempat di atas dapat diganti suatu izin dari
pengadilan negeri diwilayah kediaman janda yang ingin mengankat anak. Menurut
pasal 10 pengangkatan anak itu harus dilakukan dengan akte notaries, sedang
yang mengankat dengan masalah akibat hukum dari pengangkatan anak itu diatur
dalam Pasal 11 megemukakan bahwa Mengenai nama keluarga orang yang mengangkat
anak, maka nama-nama juga menjadi nama dari anak yang diangkat. Pasal 12
megemukakan bahwa Menyamakan seorang anak angkat dengan anak sah dari
perkawinan orang yang mengangkat. Pasal 13 megemukakan bahwa Mewajibkan balai
harta peninggalan untuk mendampingi apabila adam seorang janda mengangkat anak,
mengambil tindakan-tindakan yang perlu, guna menyuruh dan menyelamatkan
barang-barang kekayaan dari anak yang diangkat itu. Pasal 14 megemukakan bahwa Suatu
pengangkatan anak berakibat putusnya hubungan hak antara anak yang diangkat
dengan orang tuanya sendiri, kecuali :
1.
Mengenai larangan kawin yang
berdasar atas satu tali kekeluargaan.
2.
Mengenai peraturan hukum perdata
yang berdasar pada tali kekeluargaan.
3.
Mengenai perhitungan biaya perkara
dimuka hakim.
4.
Mengenai pembuktian dengan seorang
saksi.
5.
Mengenai bertindak sebagai saksi. [51]
Dalam
hubungan dengan masalah pembatalan suatu adopsi hanya ada satu pasal yang
mengatur, yaitu Pasal 15 staatblaad 1917 nomor 129 yang menentukan bahwa suatu
pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan oleh yang bersangkutan sendiri
kemudian pengangkatan anak perempuan atau pengangkatan anak secara lain dari
akta notaries adalah batal dengan sendirinya, kemudian pula ditentukan bahwa
pengangkatan anak dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan pasal 5, 6, 7,
8, 9, dan 10 ayat 1 dan 3.
Dengan berbagai
uraian yang dikemukakan di atas, maka sudah jelas kelihatannya bahwa di dalam
kitab undang-undang hukum perdata (KUHPerdata) atau Burgelijk Weatboek (BW),
tidak terdapat satu pasal pun yang memuat atau yang mengatur masalah adopsi,
meskipun adopsi sangat dibuthkan oleh masyarakat, akan tetapi meski demikian,
pemerintah hindia Belanda berusaha membuat suatu aturan tersendiri tentang
adopsi, karena hal itulah maka dikeluarkan staatblaad nomor 129 tahun1917 yang
dapat mengatur tentang persoalan pengangkatan anak yang dilihat sangat
dibutuhkan dalam kehidupan.
E.
Adopsi
Menurut Hukum Adat
Pada
dasarnya adopsi ini telah dikenal dan dilakukan di berbagai tempat di permukaan
bumi ini, baik pada masyarakat primitive maupun masyarakat yang sudah maju. Sebenarnya banyak cara
yang dapat dilakukan untuk mengangkat anak, terutama di Indonesia sendiri yang
juga mempunyai aneka ragam sistem peradabannya.
Di seluruh lapisan masyarakat
pengangkatan anak itu lebih banyak didasarkan pada pertalian darah, sehingga
tidak jarang anak tersebut diambil dari lingkungan keluarga sendiri. Hal ini
dimaksudkan untuk melanjutkan keturunan dan untuk mempererat persaudaraan
antara keluarga yang bersangkutan.
Sistem
hukum adat yang berlaku di Indonesia tidaklah terlalu banyak berbeda dengan
berbagai negara-negara lain. Namun secara umum Sistem hukum adat Indonesia
mempunyai corak sebagai berikut :
a.
Mempunyai sifat kesamaan atau
komunal yang kuat artinya manusia menurut hukum adat merupakan mahluk dalam
ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan itu meliputi seluruh lapangan
hukum adat;
b.
Mempunyai corak religious yang
berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;
c.
Hukum adat diliputi oleh pikiran
penataan serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan
berulang-ulangnya perhubungan hidup;
d.
Huku madat mempunyai sifat yang
visual, artinya perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan
dengan suatu ikatan yanmg dapat dilihat.
Dengan
demikian, khusus masalah anak angkat atau adopsi bagi masyarakat Indonesia juga
pastilah mempunyai sifat kebersamaan antar berbagai daerah hukum, kendatipun
demikian tentunya karakteristik masing-masing daerah tertentu mewarnai
kebhinnekaan cultural suku bangsa Indonesia.
Dalam hukum adat yang berlaku di
Indonesia, tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh
melakukan pengangkatan anak dan batas usianya Dalam bukunya Muderis Zaini yang
berjudul'Adaptasi suatu tinjauan dari tiga sistem Hukum. "menyatakan bahwa
usia antara orang yang mengangkat dengan anak yang diangkat minimal berbeda 15
tahun, hal ini berdasarkan informasi yang diperoleh dari pengadilan negeri
banjarmasin.
Sedangkan di Kecamatan Singaraja
Kabupaten Garut seorang perempuan yang belum pernah nikah tidak boleh melakukan
pengangkatan anak, tetapi janda/duda diperbolehkan. Sedangkan dikecamatan
Leuwidamar (Bandung) baik belum atau sudah nikah boleh melakukan pengangkatan
anak, begitu pula di Kecamatan Banjarharjo, Brebes dan Semarang.
Di daerah Kendari Sulawesi
Tenggara tidak ditemukan orang yang belum nikah mengangkat anak, begitu juga di
daerah Kolaka, kecuali janda dan duda. Sedangkan di daerah Lombok Tengah belum
di ketahui atau belum pernah seorang bujangan mengangkat anak.
Berkenaan dengan siapa saja yang
dapat diangkat, umumnya dalam masyarakat Hukum Adat Indonesia tidak membedakan
apakah anak laki-laki atau perempuan, kecuali di beberapa daerah kecamatan
Leuwidamar (Bandung) disini anak perempuan tidak bisa dijadikan anak angkat,
juga di Kabupaten Kupang, Alor, Lampung, Peminggiran Kecamatan Kedondong, sebab
masyarakat menganut sistem garis keturunan laki-laki (patrilinel). Dalam hal
usia, Kecamatan Garut yang dijadikan anak angkat adalah dibawah usia 15 Tahun
dan dapat pula diatas 15 tahun asalkan belum kawin. Sedang di Kecamatan
Cikajang biasanya anak yang diangkat adalah sejak masih bayi sampai anak
tersebut berumur 3 tahun. Kemudian di daerah Parindu Kalimatan Barat, seorang
anak mulai dapat diangkat sebagai anak angkat biasanya setelah lepas dari susu
ibunya.
Di Kecamatan Sambas tidak
ditentukan batas usia, melainkan faktor kelayaan yang harus diperhatikan, Yaitu
umur anak yang diangkat dan orang tua yang sebelumnya mengangkat harus
mempunyai perbedaan yang sesuai sebagai anak dengan orang tuanya sendiri. Di
Kecamatan Kendari umumnya anak yang diangkat sejak kecil berusia 1-6 tahun.
Dalam kaitannya dengan keluarga dekat, luar keluarga atau orang asing, maka
pada masyarakat di Indonesia juga terdapat Kebhinekaan atau variasinya.
Misalnya Perbuatan mengangkat anak di Bali yang disebut "NGENTANAYANG", biasanya anak yang
diangkat diambil dari salah satu clan yang ada hubungannya dengan
tradisionalnya. yang disebut "purusan" akhir-akhir ini juga terdapat
anak angkat yang diambil dari luar clan.
Sedangkan di Jawa, Sulawesi dan
beberapa daerah lainnya, pada umumnya anak angkat diambil dari Keponakannya.
Pengangkatan anak dari kalangan keponakanya sesungguhnya merupakan pergeseran
hubungan keluargaan dalam lingkungan keluarga. Lazimnya mengangkat keponakan
ini tanpa disertai dengan pembayaran berupa uang atau penyerahan sesuatu barang
kepada orang tua anak sebenarnya, yang pada hakekatnya masih saudara sendiri
dari orang yang mengangkat anak tersebut. Mengangkat anak yang bukan berasal
dari warga keluarga biasanya disertai dengan penyerahan barang-barang magis
atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula. Selain itu dilakukan pula
upacara adat dengan dibantu kepala adat. Berkenaan dengan masalah tata cara
pengangkatan anak sebenarnya beranekaragam, sesuai dengan keanekaragaman sistem
masyarakat adat kita, sekalipun secara esensial tetap mempunyai titik
persamaan.
Di Lampung Utara misalnya, tata
cara Pengangkatan anak ini dilakukan dengan upacara pemotongan kerbau, yang
dihadiri oleh anggota keluarga, sedangkan pada masyarakat suku mapur di
Kabupaten Bangka Pengangkatan anak dilakukan cukup dengan meminta langsung
kepada orang tua calon anak angkat, kemudian dilaporkan juga kepada kepala
adat. tetapi jika tidak dilaporkan juga tidak menjadi halangan, sebab mereka
beranggapan bahwa orang tua si anak lebih berkuasa dari pada kepala adat.
Demikianlah pengangkatan anak
yang terjadi dalam masyarakat hukum kita, meskipun masing-masing daerah
mempunyai karakteristik yang berbeda- beda akan tetapi masih mempunyai sifat
yang kebersamaan antar berbagai daerah hukum dan ini tentunya akan mewarnai
kebhinekaan kultural suku bangsa Indonesia.
F.
Adopsi
Menurut Hukum Islam
Agama Islam mendorong seorang
muslim untuk memelihara anak orang lain yang tidak mampu, miskin, terlantar dan
lain-lain. Tetapi tidak boleh memutuskan hubungan dan hak-haknya dengan orang
tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus didasarkan atas penyantunan
semata-mata, sesuai dengan anjuran Allah. Karena hal ini jelas
bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam Al-Qur an surat Ahzab ayat 4 dan
5, dimana garis besarnya dapat dirumuskan sebagi berikut :
a.
Allah tidak menjadikan dua hati
dalam dada manusia;
b.
Anak angkatmu bukanlah anak
kandungmu;
c.
Panggillah anak angkatmu menurut
nama bapaknya.
Dengan
demikian, yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah mengangkat anak (adopsi)
dengan memberikan status yang sama dengan anak kandungnya sendiri. Sedangkan yang dimaksud
dengan pengangkatan anak dalam pengertian yang terbatas, maka
kedudukuan hukumnya diperbolehkan saja, bahkan dianjurkan. Pengangkatan anak disini
ditekankan pada perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah,
pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak
kandungnya sendiri.
Pengambilan anak angkat seperti
di atas adalah justru suatu amal yang baik dan teruji. Dan hal ini
sesuai dengan misi keadilan dalam Islam. Karena agama Islam menganjurkan agar umat manusia
saling menolong sesamanya.
Menurut hukum
Islam, pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a.
Tidak memutuskan hubungan darah
antara anak yang diangkat denga orang tua biologis dan keluarganya;
b.
Anak angkat tidak berkedudukan
sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari
orang tua kandungnya;
c.
Anak angkat tidak boleh
mempergunakan naka orang tua angkatnya secara langsung, kecuali sekedar sebagai
tanda pengenal atau alamat saja;
d.
Orang tua angkat tidak dapat
bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkat.
Dari
ketentuan di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak dalam Islam
hanya bersifat sekedar pengasuhan, dengan tujuan agar seorang anak dapat melanjutkan
kehidupan dan tidak terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
Walaupun dalam ajaran Islam
tidak mengenal
pengangkatan anak, sedang yang ada hanya kebolehan untuk memelihara anak
angkat, namun menurut pandangan Islam yang diterapkan diIndonesia terlihat dari
hasil rumusan team pengajian bidang hukum Islam pada pembinaan hukum nasional
dalam seminar evaluasi pengkajian hukum 1980, 1981 di Jakarta telah mengusulkan
pokok-pokok pikiran sebagai bahan untuk menyusun rancangan undang-undang
tentang anak angkat yang dipandang dari sudut hukum Islam adalah sebagai
berikut:
a.
Lembaga pengangkatan anak tidak
dilarang dalam ajaran Islam bahkan agama Islam membenarkan dan menganjurkan
dilakukannya pengangkatan anak untuk kesejahteraan anak dan kebahagiaan orang
tua .
b.
Ketentuan mengenai pengangkatan
anak perlu diatur dengan undang-undang yang memadai.
c.
Istilah yang dipergunakan
hendaknya disatukan dalam perkataan "pengangkatan anak" dengan
berusaha meniadakan istilah-istilah lain.
d.
Pengangkatan ini tidak
menyebabkan putusnya hubungan darah antara anak angkat dengan orang tuanya dan
keluarga orang tua anak yang bersangkutan.
e.
Hubungan keharta-bedaan antara
anak yang diangkat dengan orang tua yang mengangkat dianjurkan untuk dalam
hubungan hibah dan wasiat.
f.
Dalam melanjutkan kenyataan yang
terdapat dalam masyarakat hukum adat kita mengenai pengangkatan anak hendaknya
diusahakan agar tidak berlawanan daengan hukum agama.
g.
Hendaknya diberikan pembatasan
yang lebih ketat dalam pengangkatan anak yang dilakukan orang asing.
h.
Pengangkatan anak oleh orang
yang berlainan agama tidak dibenarkan.
Selanjutnya pendapat majelis
ulama yang dituangkan dalam surat nomor U-335/V1/82 Tanggal 18 syaban 1402 H
atau 10 juni 1982 adalah sebagai berikut: [52]
a.
Adopsi yang bertujuan
pemeliharaan, pemberian bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan
anak angkat dimaksudkan adalah boleh saja menurut Hukum Islam.
b.
Anak-Anak yang beragama Islam
hendaknya dijadikan anak angkat oleh ayah atau ibu angkat yang beragama Islam
pula, agar keIslamannya itu ada jaminan tetap terpelihara.
c.
Pengangkatan anak tidak ada
mengakibatkan kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasib keturunan. Oleh
karena itu pengangkatan anak tidak mengakibatkan hak waris/wali mewali, dan
lain-lain. Sehingga jika ayah/ibu angkat akan memberikan apa-apa kepada anak
angkatnya hendaknya dilakukan pada masih sama-sama hidup sebagai hibah biasa.
d.
Adapun pengangkatan anak yang
dilarang adalah:
a)
Pengangkatan anak orang-orang
yang berbeda agama Misalnya nasrani dengan maksud anak angkatnya dijadikan
Pemeluk agama nasrani.
b)
Pengangkatan anak Indonesia oleh
orang-orang Eropa dan Amerika atau lainnya, biasanya berlatar belakang seperti
tersebut diatas.
Dengan demikian sudah jelas,
bahwa pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah diperbolehkan. Asalkan
pengangkatan anak itu hanya bersifat pengasuh anak saja.
BAB IV
ANALISIS TENTANG STATUS LEMBAGA ADOPSI
D.
Bentuk
Status Lembaga Adopsi di Pengadilan Negeri Makassar
Menurut Hj. Andi Nur Aulia, SH. Status
lembaga adopsi pada Pengadilan Negeri Makassar terdiri dari tiga sistem atau
stelsel perdata yang berlaku sebagaimana aturan yang berlaku di Negara Republik
Indonesia yaitu Hukum Perdata Barat (BW), Hukum Perdata Adat dan Hukum Perdata
Islam.[53]
Pada zaman pemerintahan Hindia
Belanda, di Indonesia pernah berlaku IS (Indische Staatsregeling), yakni aturan
Pemerintah Hindia Belanda yang disahkan berdasarkan Staatsblad 1925 nomor 415
dan 416 pada tanggal 23 Juni 1925 dan mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 1926
berdasarkan Staatsblad 1925 nomor 577. Ada dua pasal penting yang berkenaan di
Indonesia, yaitu pasal 131 dan 163 IS.
Sejak tanggal 1 Mei 1948,
berdasarkan Publikasi/Pengumuman tanggal 30 April 1847, Staatsblad 1847 nomor
23, BW mulai berlaku di Indonesia yang mutatis mutandis dengan menyesuaikan
diri kepada keadaan-keadaan yang terdapat dan terjadi di Indonesia ketika itu.
Berlakunya BW menurut Staatsblad 1847 nomor 23 tersebut hanyalah terhadap :
1.
Orang-orang Eropa;
2.
Orang-orang keturunan Eropa;
3.
Orang-orang yang disamakan
dengan orang Eropa, yaitu mereka yang pada saat itu beragama Kristen.
Pada pasal selanjutnya yang
cukup penting untuk dikemukakan dalam tulisan ini adalah pasal 163 IS yang
menyebutkan, bahwa dalam hubungan dengan berlakunya BW di Indonesia, penduduk
di Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan, yaitu Golongan Eropa, Timur Asing
dan Bumi Putera/Indonesia asli.[54]
Dengan demikian, maka Hukum
Perdata yang berlaku di Indonesia pada pokoknya ada dua buah, yaitu Hukum
Perdata Eropa atau BW yang juga disebut
Hukum Barat dan yang kedua adalah Hukum
Perdata Adat. Hal ini mengakibatkan dualisme dalam lapangan hukum Perdata,
sehingga sampai sekarang pun Indonesia belum terdapat suatu kesatuan, suatu
unifikasi atau uniformitet dalam lapangan Hukum Perdata.
Kemudian kedudukan Hukum Islam
dari dua sistem hukum di atas, adalah bahwa Hukum Islam dianggap sebagai bagian
dari hukum adat Indonesia. Dengan demikian, Hukum Islam adalah sub sistem dari
Hukum Adat.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa
suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka Hukum Adat masyarakat
yang bersangkutan juga Hukum Agama yang dipeluknya. Menurut statistik jumlah
penduduk Indonesia sekitar 90% beragama Islam. Dengan demikian, secara teori
Hukum Adat yang berlaku pada masyarakat Indonesia lebih besar dipengaruhi oleh
Hukum Islam.
E.
Dampak
Status Lembaga Adopsi di Pengadilan Negeri Makassar
Setiap
jenis hukum pasti menimbulkan akibat/dampak terhadap masyarakat maupun Lembaga
yang menjalankannya, demikian juga pada Pengadilan Negeri Makassar, Lembaga
Adopsi kemudian menimbulkan akibat/dampak yang kurang lebihnya seperti pada
penjelasan di bawah.
Anak
angkat adalah seseorang yang bukan keturunan dari seorang suami istri, yang
dipelihara dan diperlakukan sebagai anak angkat keturunannya. Akibat hukum
terhadap pengangkatan anak yang dilakukan berdasarkan hukum adat tersebut
adalah bahwa anak yang diangkat mempunyai kedudukan hukum terhadap orang yang
mengangkatnya, dimana dibeberapa daerah di Indonesia mempunyai kedudukan hukum
yang sama dengan anak keturunnya sendiri, termasuk hak untuk mendapatkan harta
kekayaan dari orang tua angkatnya.
Pengangkatan
anak yang dilakukan berdasarkan hukum adat dapat dilihat dari beberapa faktor
seperti faktor yuridis, faktor sosial maupun faktor psikologis sehingga tidak
jarang pengangkatan anak tersebut menimbulkan berbagai masalah di dalam
masyarakat, terutama anak yang bersangkutan telah mendapatkan statusnya sebagai
anak angkat berdasarkan hukum adat, yang dalam kenyataanya dalam masyarakat,
anak angkat tersebut berhak mendapat kan harta waris dari orang tua yang
mengangkatnya. Dengan kata lain, akibat hukum yang timbul sehubungan dengan
pengangkatan anak berdasarkan hukum adat ini adalah :
a.
Faktor Yuridis, yaitu masalah
yang berhubungan dengan akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut.
b.
Faktor Sosial, yaitu masalah
yang berhubungan dengan dampak sosial dari pengangkatan anak tersebut.
c.
Faktor Psikologis, yaitu masalah
yang berhubungan dengan reaksi kejiwaan yang berasal dari pengangkatan anak
tersebut.
Dari
ketiga akibat di atas menurut hasil penelitian menunjukan, bahwa faktor yang
paling menonjol adalah faktor yuridis dan psikologis. Faktor yuridis yang
berhubungan dengan harta benda orang tua angkatnya.
Meskipun
pengangkatan tersebut dilakukan berdasarkan hukum adat, namun setelah anak
diangkat ia akan menjadi bagian dari keluarga yang mengangkat dan mempunyai
kedudukan sebagai anak sendiri. Menurut hukum adat ini, seorang anak yang telah
diangkat menjadi anak angkat maka ia berhak mendapatkan harta benda dari orang
tua angkatnya.
Adapun
hak anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya pada umumnya
berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Begitu pula
dengan kedudukan anak angkat terhadap harta waris orang tau angkatnya, karena
dalam kenyataanya antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya ada
yang memutuskan hubungan tali persaudaraan dan ada juga yang tidak memutuskan
hubungan kekeluargaan dengan orang tua kandungnya sendiri.
Sedangkan
faktor psikologis adalah karena terjadinya suatu perpindahan dari satu
lingkungan hidup tertentu kepada lingkungan hidup yang lain, sehingga dapat
membawa pengaruh pada kejiwaan anak maupun orang tua angkatnya. Salah satu
penyebabnya adalah faktor psikologis, bahwa orang tua angkat biasanya akan
merahasiakan latar belakang anak yang diangkatnya, karena anak yang diangkat
tidak diketahui asal usulnya seperti tidak mempunyai orang tua yang sah atau
tidak diketahui siapa orang tuanya.
Suatu
perbuatan hukum akan selalu menimbulkan dampak hukum pula dari perbuatan itu.
Dalam perbuatan hukum berupa pengangkatan anak, mempunyai konsekuensi terhadap
harta benda, keluarga yang dilakukan dengan tanpa suatu bukti tertulis bahwa
telah benar-benar dilakukan suatu perbuatan hukum. Hal ini akan menimbulkan permasalahan
terutama mengenai beban pembuktian di hari kemudian apabila terjadi suatu
sengketa. dampak hukum dari pengangkatan anak dapat dibagi menjadi 2 macam,
yakni[55] :
1.
Dampak Terhadap Anak Angkat
Anak angkat
mempunyai hak dalam hal pewarisan harta kekayaan orang tua angkatnya. Perihal
pewarisan terhadap anak angkat dari
orang tua angkatnya dapat dibedakan sebagai berikut :
1)
Anak yang diangkat masih
mempunyai hubungan keluarga dengan orang tua yang mengangkatnya, maka hak waris
dengan dua kemungkinan :
a.
Bagi pengangkatan anak yang sama
sekali tidak mempunyai keturunan selain anak yang diangkat, maka hak yang
mewaris sejajar sebagaimana hak mewaris anak kandungnya sendiri. Semua harta
kekayaan orang tua angkatnya jatuh pada anak angkatnya.
b.
Bagi sebuah hubungan yang telah
mempunyai anak namun masih mengangkat anak, maka hak mewaris anak angkat
menjadi berkurang dan hal ini biasanya dilakukan dengan musyawarah keluarga
tersebut.
2)
Bagi seorang anak yang diangkat
oleh sebuah keluarga dengan tidak ada hubungan kekeluargaan, maka mempunyai
kedudukan yang lebih berarti atas hak yang ada pada anak angkat tersebut.
Pengangkatan anak menurut hukum Islam tidak membawa akibat hukum dalam hal
hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris-mewaris dengan orang tua
angkatnya. Anak tetap memakai nama dari Bapak kandung dan tetap menjadi ahli
waris orang tua kandungnya. Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dijelaskan
bahwa anak angkat berhak menerima wasiat yang ada kaitannya dengan harta peninggalan
orang tua angkatnya.
2.
Dampak Terhadap Orang Tua Angkat
Sebagaimana halnya dalam pengangkatan anak, hak dan
kewajiban orang tua angkat dengan anak yang diangkat harus pula seimbang
sehingga keharmonisan dan keadilan hukum dapat tercipta.
Hak dari orang tua angkat adalah sebagaimana maksud ketika
ia melakukan pengangkatan anak sesuai dengan latar belakang dan tujuan dari
pengangkatan anak itu. Dalam hal kewajiban orang tua angkat sebagaimana
diuraikan sebelumnya adalah memelihara, mendidik, mengasuh dan membesarkannya dengan
baik serta memenuhi segala kebutuhannya layaknya anak kandung sendiri.
Selanjutnya, ada pula pendapat
yang menyatakan bahwa adopsi (pengangkatan anak) mambawa dampak sebagai berikut
:
1. Menurut Beberapa
Peraturan
Menurut stb 1917 masalah akibat hukum pengangkatan anak
diatur dalam Pasal 11, 12, 13, dan 14 staatblad 1717 berikut ini uraian
pokok-pokok dari beberapa pasal tersebut :
Pasal 11 menyatakan bahwa pengangkatan anak membawa akibat
demi hukum bahwa orang yang diangkat, jika ia mempunyai nama keturunan lain,
berganti menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya sebagai ganti dari
nama keturunan orang yang diangkat secara serta merta menjadi anak kandung
orang tua kandung yang mengangkatnya atau ibu angkatnya, dan secara otomatis
terputus hubungan nasab dengan orang tua kandung, kecuali : [56]
a. Mengenai larangan kawin yang berdasarkan pada tali kekeluargaan
b.
mengenai peraturan hukum
perdata yang berdasarkan pada tali kekeluargaan
c.
Mengenai
perhitungan biaya perkara di muka hakim dan penyanderaan
d.
Mengenai
pembuktian dengan seorang saksi
e.
Mengenai
bertindak sebagai saksi
f.
Apabila
orang tua angkatnya seorang lai-laki yang telah kawin, maka anak angkat secara
serta merta dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka
g.
Apabila
ayah angkatnya seorang suami yang telah kawin dan perkawinannya telah putus,
maka anak angkat harus dianggap sebagai anak yang lahir dari mereka yang
disebabkan putus karena kematian
h.
Apabila
seseorang janda mengangkat seorang anak, maka ia dianggap dilahirkan dari perkawinannya
dengan suami yang telah meninggal dunia, dengan ketentuan, bahwa ia dapat
dimasukkan sebagai ahli waris dalam harta peninggalan orang yan telah meninggal
dunia, sepanjang tidak ada surat wasiat.
Akibat dari terputusnya
hubungan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya dan masuk menjadi
keluarga orang tua angkatnya, anak angkat disejajarkan kedudukan hukumnya
dengan anak kandungn orangtua angkatnya. Akibatnya anak angkat harus memperoleh
hak-hak sebagaimana hak-hak yang diperoleh anak kandung orang tua angkat, maka
anak angkat memiliki hak waris seperti hak waris anak kandung secara penuh yang
dapat menutup hak waris saudara kandung dan juga orang tua kandung orang tua
angkat.
Adanya adopsi maka terputuslah
segala hubungan keperdataan antara anak adopsi dengan orangtua kandungnya.
Pasal 39 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 berbunyi sebagai berikut :[57]
1.
Pengangkatan
anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
2.
Pengangkatan
anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orangtua
kandungnya
3.
Calon
orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat
4.
Pengangkatan
anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir
5.
Dalam
hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak tersebut disesuaikan dengan
agama mayoritas penduduk setempat
6.
Orangtua
angkat wajib memberitahukan asal-usul dan orang tua kandungnya dilakukan dengan
memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan
Dari bunyi pasal di atas bahwa
pengangkatan anak yang dilakukan dengan adat maupun penetapan pengadilan tidak
diperbolehkan memisahan hubungan darah antara si anak angkat dengan orang tua
kandungnya yang bertujuan antara lain untuk mencegah kemungkinan terjadinya
perkawinan sedarah. Oleh karena itu untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan terhadap anak angkat dan pada saat yang tepat wajib memberitahukan
kepada anak angkatnya Dilakukannya adopsi putuslah hubungan perdata yang
berasal dari keturunan karena kelahiran (antara anak dengan orangtua
kandungnya), anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya.
2.
Menurut
Hukum adat
Pengangkatan anak menurut
hukum adat biasanya dilakukan menurut adat setempat dan tidak ada suatu
kesatuan cara yang berlaku bagi seluruh wilayah/daerah indonesia. Menurut hukum
adat indonesia, anak angkat ada yang menjadi pewaris bagi orang tua angkatnya,
tetapi ada pula yang tidak menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Hal ini
tergantung dari daerah mana perbuatan pengangkatan itu dilakukan.
Kedudukan anak angkat terhadap
akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat adalah kedudukan anak angkat
didalam masyarakat. Yang sifat susunannya kerabatan patrilineal seperti Bali.
Perbedaannya adalah di Jawa
perbuatan pengangkatan anak hanya diambil dari keluarga terdekat, sehingga
keadaan tersebut tidak memutuskan hubungan pertalian kekerabatan antara anak
yang diangkat dengan orang tua kandung. Akibatnya anak itu tetap berhak
mewarisi harta peninggalan dari orang tua kandungnya. Di Bali tindakan
mengangkat anak merupakan kewajiban hukum untuk melepaskan anak yang diangkat
dari kekeluarganya masuk kedalam keluarga yang mengangkatnya, sehingga anak itu
selanjutnya berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan garis keturunan
dari orang tua angkatnya.
F.
Tinjauan
Hukum Tentang Kepastian Lembaga Adopsi di Pengadilan Negeri Makassar
Apabila
ditelususri sejarah dan latar belakang munculnya Lembaga Adopsi, maka dalam hal
ini, kebanyakan masyarakat yang melakukan adopsi itu dikarenakan untuk menolong
sanak saudaranya yang kurang mampu membiayai anaknya untuk melanjutkan hidup,
dan sebagiannya lagi dikarenakan tidak mampu memperoleh keturunan. Demikian
halnya yang terjadi pada masyarakat Sulawesi Selatan.
Dengan
perkembangan masyarakat sekarang ini, dimana tuntutan pembangunan disegala
bidang, utamanya dalam bidang hukum itu kian meningkat. Demikian juga dalam persoalan Adopsi (Pengangkatan
Anak), oleh karena itu, maka lapangan hukum perdata, pada sisi lembaga
pengangkatan anak saat ini harus lebih diperhatikan, karena peraturan
perundang-undangan disekitar masalah pengangkatan anak ini masih jauh dari
lengkap atau sempurna, sedang tuntutan masyarakat dilain pihak memerlukan
perhatian yang cukup serius.
Dalam
suasana yang masih serba belum lengkap ini, maka tidak berarti bahwa hukum
tidak mengalami kemajuan, karena selalu ada usaha yang gigih dari barbagai
pihak dalam mengusahakan aturan yang terbaik untuk Lembaga Adopsi. Hal ini
terbukti dari usaha-usaha pemerintah yang telah melahirkan hasil-hasil yang
nyata, seperti adanya peraturan yang mengatur berbagai soal tentang masalah
Adopsi (pengangkatan anak), berikut ini akan kami terangkan beberapa aturan
yang terkait dengan lembaga adopsi, sebagaimana
yang kami dapatkan dari aparat Pengadilan Negeri Makassar pada Tanggal 2 Juli
2010 :
a.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak
Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
anak dengan tegas ditentukan motif dan anak yang dalam peraturan hukum tentang
pengangkatan anak, yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak.
Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan pasal 12 yang
lengkapnya berbunyi :
1)
Pengangkatan
anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan
kesejahteraan anak.
2)
Kepentingan
kesejahteraan anak adat yang dimaksud dala ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
peraturan Pemerintah.
3)
Pengangkatan
anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan,
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.[58]
Bertolak dari ketentuan pasal 12 Undang-Undanf Nomor 4
peraturan perundang-undangan nasional yang akan datang tentang pengangkatan
anak yang harus mencerminkan pengutamaan kepentingan kesejahteraan anak.
b.
Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan
Nomor JHA 1/1/2 Tanggal 24 Februari 1978 Tentang Prosedur Pengangkatan Anak Warga
Negara Indonesia Oleh Orang Asing.
Berdasarkan surat edaran dirjen HUKPPERUUAN tersebut,
pengangkatan anak Warga negara indonesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan
dengan suatu penetapan pengadilan negeri. Tidak dibenarkan apabila pengangkatan
anak tersebut dilakukan dengan akta notaris yang dilegalisir oleh pengadilan
negeri.selanjutnya dalam surat edaran tersebut, ditentukan pula syarat-syarat
permohonan pengangkatan anak Warga negara indonesia oleh orang asing, dan
ditentukan bahwa permohonan itu harus diajukan di pengadilan negeri di
indonesia (di mana anak yang akan diangkat berdiam).[59]
Selanjutnya ditentukan pula bahwa permohonan harus berdiam
atau ada di Indonesia, dan permohona beserta isteri harus menghadap sendiri di
hadapan hakim, agar hakim memperoleh keyakinan bahwa permohonan betul-betul
cakap dan mampu untuk menjadi orang tua angkat. Ditentukan pula bahwa
permohonan beserta isteri berdasarkan peraturan perundang-undangan Negaranya
mempunyai surat izin untuk mengangkat anak.[60]
Surat edaran dirjen HUKPPERUUAN, ditujukan kepada semua
notaries, wakil notaries sementara, dan notaries penggganti di seluruh
Indonesia.[61]
Surat edaran dirjen HUKPPERUUAN dikeluarkan berdasarkan
alasan karena pada saat itu jumlah pengangkatan anak Warga Negara Indonesia
oleh orang asing ternyata makin meningkat. Di samping itu juga karena masalah
pengangkatan anak Warga nagara Indonesia oleh orang asing pada saat itu mulai
mendapat sorotan masyarakat karena:
1)
Tidak ada
persyaratan untuk pengangkatan anak internasional yang memberikan jaminan yang
baik bagi kesejahteraan anak yang diangkat.
2)
Legalitas
prosedur pengangkatan anak tersebut kadang-kadang diragukan oleh Pemerintah
Negara lain yang Warganegaranya mengangkat anak Indonesia.
3)
Tidak ada
keseragaman prosedur pengangkatan anak tersebut.[62]
c.
Surat Edaran Menteri Sosial Republik Indonesia Tertanggal
7 Desember 1978 Nomor: 3-1-58-1978 Tentang Petunjuk Sementara Dalam
Pengangkatan Anak (Adopsi) Internasional.
Dasar pertimbangan yang dapat diangkat dari SE Mensos
No.3-1-58-1978 adalah bahwa sampai sekarang di Indonesia balum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pengangkatan anak (adopsi) secara
nasional dan berlaku umum. Yang berlaku umum di Indonesia adalah pengangkatan
anak dalam lingkungan family yang berbeda-beda di beberapa daerah berdasarkan
adat yang berlaku di daerah masing-masing dan pengangkatan anak antara orang
Indonesia melalui proses pengadilan.[63]
Dalam SE MENSOS No.3-1-58-1978 disebutkan, bahwa sementara
menunggu peraturan perundang-undangan lebih lanjut mengenal adopsi, maka dalam menghadapi
kasus-kasus tersebut terutama apabila dimintakan pendapat atau rekomendasi dari
pihak-pihak yang berkepentingan guna bahan penetapan oleh pengadilan negeri,
supaya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1)
Batas umur
anak yang akan diangkat sedapat mungkin tidak lebih dari 5 (lima) Tahun.
2)
Batas umur
calon orang tua angkat sedapat mungkin lebih dari 50 (lima puluh) Tahun dan
dalam keadaan bersuami isteri.
3)
Anak yang
akan diangkat jelas asal usulnya.
4)
Bila masih
ada orang tua anak, harus ada persetujuan tertulis yang dilengkapi dengan
saksi.
5)
Ada bukti
tanda persetujuan dari instansi yang berwenang dari Negara asal, bahwa calon
orang tua angkat adalah betul-betul telah disetujui untuk mengangkat anak dalam
keadaan mampu, baik material maupun Sosial.[64]
d.
Keputusan Sosial Republik INDONESIA Nomor:
41/HUK/KEP/VII/1984 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Disempurnakan
dengan Keputusan Sosial Republik INDONESIA Nomor: 2/HUK/KEP/1995.
Dasar pertimbangan dikeluarkannya KEPMENSOS no.
41/HUK/KEP/VII/1984 karena, kehidupan Sosial semua orang tua mempunyai
kesanggupan dan kemampuan penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam
rangka mewujudkan kesjahteraan anak. Kenyataan yang demikian itu mengakibatkan
anak menjadi terlantar, baik secara rohani, jasmani maupun Sosial. Pengangkatan
anak berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
yang peraturan pelaksanaannya sampai saat ini balum ada.[65]
Sambil menunggu dikeluarkannya undang-undang pengangkatan
anak telah ditetapkan sebagai kebijaksanaan, antara lain :
1)
Peraturan
Menteri Sosial RI no. 13 Tahun 1981 tentang organisasi Sosial yang dapat
menyelenggarakan usaha penyantunan anak terlantar.
2)
Keputusan
direktur jenderal rehabilitasi dan pelayanan Sosial no. kep.004/RSP/I/82
tentang petunjuk pelaksanaan usaha penyantunan anak terlantar oleh organisasi Sosial.
3)
Surat edaran
mahkamah agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan surat edaran mahkamah
agung Nomor 2 Tahun 1979 mengenai pengangkatan anak.[66]
Untuk lebih memantapkan kebajaksanaan Pemerintah dimaksud
terutama yang termasuk ruang lingkup tanggung jawab departeman Sosial dipandang
perlu menetapkan petunjuk pelaksanaan perizinan pengangkatan anak. Maksud dan
tujuan petunjuk pelaksanaan ini merupakan suatu pedoman dalam pemberian izin,
pembuatan laporan Sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak, agar
terdapat adanya kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[67]
Lingkup pengertian KEPMENSOS No. 41/HUK/KEP/VII/-9184
ialah:[68]
1)
Organisasi Sosial
adalah lembaga/yayasan Sosial yang bergerak di bidang kesejahteraan Sosial dan
telah mendapatkan izin dari menteri Sosial untuk menyelenggarakan penyantunan
anak terlantar.
2)
Laporan Sosial
adalah suatu dokumen yang memuat keterangan tentang identitas dan latar
belakang kehidupan dan penghidupan calon orang tua angkat dan calon anak
angkat.
3)
Pengertaian
pengangkatan anak dalam petunjuk pelaksanaan ini meliputi:
(1)
Pengangkatan
anak antar-Warga Negara Indonesia, khusus yang berbeda dalam asuhan organisasi.
(2)
Pengangkatan
anak Warga Negara asing oleh Warga Negara Indonesia.
(3)
Pengangkatan
anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara asing.
Syarat-syarat untuk mendapatkan izin untuk melakukan
pengangkatan anak (adopsi) menurut KEPMENSOS No.41/HUK/KEP/VII/-1984, ialah :[69]
1)
Bagi
pengangkatan anak-Warga Negara Indonesia.
(a)
Calon orang
tua angkat.
(1)
Berstatus
kawin dan berumur menimal 25 Tahun atau maksimal 45 Tahun.
(2)
Selisih umur
atau calon orang tua angkat dengan calon anak angkat minimal 20 Tahun.
(3)
Pada saat
mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin 5 Tahun
dengan mengutamakan yang keadaannya sebagai berikut :
i.
Tidak mungkin
mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter kebidanan/dokter ahli), atau
ii.
Belum
mempunyai anak, atau
iii.
Mempunyai
anak kandung seorang, atau
iv.
Mempunyai
anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung.
(4)
Dalam keadaan
mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari pejabat yang berwenag, serendah-rendahnya
lurah/kepala desa setempat.
(5)
Berkelakuan
baik berdasarkan surat keterangan dari kepolisian RI.
(6)
Dalam keadaan
sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter Pemerintah.
(7)
Mengajukan
pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan
kesejahteraan anak.
(b)
Calon anak
angkat.
(1)
Berumur
kurang dari 5 Tahun.
(2)
Persetujuan
tertulis dari Pemerintah Negara asal calon anak angkat.
(3)
Berada dalam
asuhan oeganisasi Sosial.
(c)
Laporan Sosial.
2)
Bagi
pengangkatan anak Warga Negara Indonesia.
(a)
Calon orang
tua angkat.
(1)
Berstatus
kawin dan beumur minimal 25 Tahun atau maksimal 45 Tahun.
(2)
Pada saat
mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin 5
(lima) Tahun dengan mengutamakan yang
sebagai berikut :
i.
Tidak mungkin
mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter kebidanan/dokter ahli), atau
ii.
Belum
mempunyai anak, atau
iii.
Mempunyai
anak kandung seorang, atau
iv.
Mempunyai
anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung.
(3)
Dalam keadaan
mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari pejabat yang berwenang,
serendah-rendahnya lurah/kepala desa setempat.
(4)
Berkelakuan
baik berdasarkan surat keterangan dari kepolisian RI.
(5)
Dalam keadaan
sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter Pemerintah.
(6)
Mengajukan pernyataan
tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan
anak.
(b)
Calon anak
angkat
(1)
Berumur
kurang dari 15 Tahun
(2)
Persetujuan
tertulis dari Pemerintah Negara asal calon anak angkat.
(3)
Berada dalam
asuhan organisasi Sosial.
(c)
Laporan sosial
3)
Bagi
pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara asing.
(a)
Calon orang
tua angkat
(1)
Berstatus
kawin dan berumur menimal 25 Tahun atau maksimal 45 Tahun.
(2)
Pada saat
mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin 5 (lima)
Tahun dengan mengutamakan yang keadaannya sebagai berikut :
i.
Tidak mungkin
mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter kebidanan/dokter ahli), atau
ii.
Belum
mempunyai anak, atau
iii.
Mempunyai
anak kandung seorang, atau
iv.
Mempunyai
anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung.
(3)
Dalam keadaan
mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari Negara asal pemohon.
(4)
Persetujuan
tertulis dari Pemerintah Negara asal pemohon.
(5)
Berkelakuan
baik berdasarkan surat keterangan dari kepolisian RI.
(6)
Dalam keadaan
sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter Pemerintah RI.
(7)
Telah
berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya 3 (tiga) Tahun
berdasarkan surat keterangan dari pejabat yang berwenang serendah-rendahnya
Bupati/ Walikotamadya kepala daerah tingkat II setempat.
(8)
Telah
memelihara dan merawat anak yang bersangkutan sekurang-kurannya :
i.
6 (enam)
bulan untuk dibawah umur 3 (tiga) Tahun
ii.
1 (satu) Tahun
untuk umur 3 (tiga) Tahun sampai 5 (lima) Tahun.
(9)
Mengajukan
pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan
kesejahteraan anak.
(b)
Calon anak
angkat
(1)
Berumur
kurang dari 5 (lima) Tahun.
(2)
Berada dalam
asuhan organisasi Sosial.
(3)
Persetujuan
dari orang tua/wali (apabila diketahui ada).
(c)
Laporan sosial
e.
Surat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
Tertanggal 27 Maret 1980 Nomor: B.112/MENKO/POLKAM/3/1980.[70]
Surat menteri koordinator bidang politik dan keamanan
tersebut ditujukan kepada menteri kehakiman untuk menjadi perhatian. Dijelaskan
dalam surat tersebut, bahwa pada prinsipnya polkam sependapat dan menunjang
saran dari menko kesra. Namun demikian hendaknya masih disediakan suatu
klausula yang membuka kemungkinan pengangkatan anak oleh suatu keluarga asing
berdasar persyaratan yang sangat istimewa, berdasarkan alasan yang ditentukan
dalam surat menko polkam tersebut sebagai berikut :
(1)
Pengangkatan
anak dalam sistem hukum Negara manapun pada dasarnya adalah perbuatan
kemanusiaan yang sangat mulia dan mempunyai pengaruh kejiwaan yang positif bagi
kedua belah pihak. Sesungguhnya yang patut dicegah dalam RUU adopsi adalah
praktek adopsi internasional maupun nasional yang bermotif atau yang mengarah
ke motif perdagangan anak.
(2)
Di dalam
kenyataan Sosial, di Negara manapun hubungan pribadi antar Warganegara dari
berbagai Negara yang benar-benar bernilai moral untuk melakukan kebijakan Sosial
adalah lazim.
Demikian isi surat menteri koordinator politik dan kemanan
yang ditujukan kepada menteri kehakiman untuk menjadi perhatian.
Dari surat menteri koordinator POLKAM tersebut dapatlah
diketahui adanya kekhawatiran di bidang POLKAM bahwa adopsi internasional
tersebut dapat menjurus pada motif motif perdagangan anak, sehingga dalam
pelaksanaannya perlu mendapat perhatian dari menteri kehakiman.
f.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 2 Tahun 1979 Tentang
Pengangkatan Anak. Disempurnakan dengan Surat Edaran Nomor 6 Tahun 1983.
Dalam SEMA no. 2 Tahun 1979 ditentukan antara lain tentang
syarat-syarat permohonan pengesahan/pengangkatan anak antara Warga Negara
Indonesia oleh orang tua angkat Warga Negara asing (“Inter Country Adoption”).[71]
SEMA no. 2 Tahun 1979 ditujukan kepada semua ketua, wakil
ketua, hakim-hakim pengadilan tinggi, dan semua ketua, wakil ketua, hakim-hakim
pengadilan negeri di seluruh Indonesia.[72]
Pertimbangan, bahwa berdasarkan pengamatan Mahkamah Agung yang menghasilkan
kesimpulan bahwa permohonan pengesahan/pengangkatan anak yang diajukan kepada
pengadilan negeri yang kemudian diputus tampak kian hari kian bertambah baik
yang merupakan suatu bagian tuntutan gugatan perdata, maupun yang merupakan
permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak.
Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan akan
pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk
memperoleh jaminan kepastian hukum, untuk itu hanya didapat setelah proses
memperoleh suatu putusan pengadilan.
Demikianlah ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada semenjak sebelum perang di Indonesia hingga
sekarang yang masih berlaku.
SEMA No. 6 Tahun 1983 tidak mengalami perubahan yang
menonjol akan tetapi dalam SEMA tersebut dibutuhkan lebih detil mengenai
syarat-syarat permohonan pengesahan/pengangkatan anak.
g.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan
Anak. Serta Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.
Dalam undang-undang no. 23 Tahun 2003 yang membahas
mengenai pengangkatan anak akan dapat dijumpai dalam pasal 39 sampai pasal 41
yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal
39 berbunyi sebagai berikut[73]
:
(1)
Pengangkatan
anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kabiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Pengangkatan
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah
antara anak yang diangkatdan orang tua kandungnya.
(3)
Calon orang
tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
(4)
Pengangkatan
anak oleh Warga Negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
(5)
Dalam hal asal
usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan mayoritas
penduduk setempat.
Pasal
40 berbunyi sebagai berikut :[74]
(1)
Orang tua
angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usul dan orang
tua kandungnya.
(2)
Pemberitahuan
asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
Pasal
41 berbunyi sebagai berikut[75]
:
(1)
Pemerintah
dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan
anak.
(2)
Ketentuan
mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan peraturan Pemerintah.
h.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak.[76]
Peraturan Pemerintah no. 54 Tahun 2007, membahas beberapa
hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak seperti dapat kita jumpai dalam setiap
babnya yaitu :
(1)
Ketentuan
umum, sebagai berikut :
(a)
Anak angkat
adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua,
wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang
tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
(b)
Pengangkatan
anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkat.
(c)
Orang tua
adalah ayah dan ibu kandung, atau ayah dan ibu tiri, ayah dan ibu angkat.
(d)
Orang tua
anak adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, membesarkan
anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan.
(2)
Jenis
pengangkatan anak, sebagai berikut :
(a)
Pengangkatan
anak antar Warga Negara Indonesia
(b)
Pengangkatan
anak antar Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara asing.
(3)
Syarat-syarat
pengangkatan anak, sebagai berikut :
(a)
Anak yang
diangkat.
(b)
Usia anak
angkat.
(c)
Calon orang
tua angkat.
(4)
Tata cara
pengangkatan anak, yaitu :
(a)
Pengangkatan
anak secara adat kebiasaan.
(b)
Pengangkatan
anak dengan cara mengajukan permohonan ke pengadilan.
(5)
Pengawasan
pelaksanaan pengangkatan anak, sebagai berikut :
(a)
Orang
perorangan.
(b)
Lembaga
pengasuhan.
(c)
Rumah sakit
bersalin.
(d)
Praktek-praktek
kebidanan, dan.
(e)
Panti Sosial
pengasuhan anak.
(6)
Pelaporan,
sebagai berikut :
Laporan Sosial mengenai kelayakan orang
tua angkat dan perkembangan anak dal pengasuhan keluarga orang tua angkat oleh
pekerja Sosial kepala menteri atau kepala instansi Sosial setempat.
(7)
Dalam hal
pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara asing, orang tua
angkat harus melaporkan perkembangan anak kepada departemen luar negeri republik
Indonesia melalui perwakilan republik Indonesia setempat, paling singkat sekali
dalam 1 (satu) Tahun, sampai dengan anak berusia 18 (delapan belas) Tahun.
Kalau
kita perhatikan dari ketentuan-ketentuan di atas, nampaknya memang belum ada
peraturan jelas yang mengatur masalah adopsi ini secara lengkap dan sempurna,
serta yang memenuhi tuntutan pembinaan hukum nasional, yaitu yang sesuai dengan
kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi.
Oleh karena itu pula, dimana masih
bersimpang siurnya ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau
pengangkatan anak ini, maka dalam kenyataan sering menimbulkan kesukaran,
lebih-lebih kalau perkara yang diajukan ke pengadilan, dimana status anak
angkat ini sering pula menimbulkan masalah
dalam hal kewarisan dan lain-lain. Sedang dilain pihak, bahwa kebutuhan
akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah. Kalu kita perhatiakn
ada berbagai variasi dalam hal pengangkatan anak ini.
Dengan
demikian sekarang sangat diperlukan adanya peraturan khusus yang berupa
undang-undang yang mengatur masalah lembaga adopsi ini yang lengkap dan
memenuhi semua aspirasi di berbagai golongan penduduk Indonesia.
Kenyataan
menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mayoritas beragama islam, dengan demikian
pada umumnya Hukum Adat di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh Hukum Islam,
kendatipun demikian maih banyak pengecualian disana-sini. Apabila Hukum Adat
sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat mempunyai kedudukan yang penting
dalam rangka pembinaan hukum nasional dan pembangunan nasional pada umumnya,
maka dengan demikian hukum Islam dapat menjadi modal dasar dan faktor dominan
untuk usaha tersebut.
BAB V
PENUTUP
C.
Kesimpulan
a.
Peran lembaga
adopsi pada Pengadilan Negeri Makassar yaitu mengontrol jalannya adopsi yang minimal melingkupi dua
subyek yang berkepentingan, yakni orang tua yang mengangkat di satu pihak dan
si anak yang diangkat di lain pihak, dengan berbagai variasi latar belakang
pengangkatan anak itu sendiri. Sebab tujuan pengangkatan anak saat ini, tidak lagi
semata-mata atas motivasi untuk meneruskan keturunan saja, tetapi lebih beragam
dari itu. Ada berbagai motivasi lain yang mendorong seseorang untuk mengadopsi
anak, bahkan tidak jarang pula karena faktor politik, ekonomin, sosial, budaya
dan sebagainya
b.
Kepastian hukum Lembaga Adopsi pada Pengadilan Negeri Makassar pada
dasarnya belum begitu jelas, hal ini diakibatkan belum ada
peraturan jelas yang mengatur masalah adopsi ini secara lengkap dan sempurna,
serta yang memenuhi tuntutan pembinaan hukum nasional, yaitu yang sesuai dengan
kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi. Namun demikian, telah banyak usaha-usaha
pemerintah dalam menyempurnakan aturan Adopsi
(pengangkatan anak) tersebut, hal ini terbukti dari usaha-usaha pemerintah yang telah melahirkan
hasil-hasil yang nyata, seperti adanya peraturan yang mengatur berbagai soal
tentang masalah Adopsi (pengangkatan anak).
c.
Dari ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur lembaga adopsi, maka
terdapat tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Barat (BW),
Hukum Adat dan Hukum Islam.
D.
Saran
a.
Dalam hal kedudukan anak yang
telah diangkat pada keluarga lain hendaknya diperhatikan benar-benar jangan
sampai kehidupannya terlantar jika orang yang mengangkat meninggal dunia,
sedangkan anak angkat tersebut belum dapat berdiri sendiri.
b.
Hendaknya bagi orang yang akan
mengangkat anak dilakukan secara resmi sampai pada tingkat Pengadilan Negeri
agar kedudukan anak menjadi jelas dan pengangkatan anak jangan semata karena
alasan tidak punya keturunan tetapi hendaknya didasari dengan rasa kasih sayang
serta membantu terwujudnya kesejahteraan anak
c.
Menyarankan kepada pemerintahan
melalui perangkat Desa untuk menyebarluaskan bahwa pengangkatan anak itu
bertujuan untuk mensejahterakan anak angkat, bukan semata-mata orang tua
kandung membuang anaknya, atau menjual anak kandungnya pada orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam. Surakarta:
Era Intermedia. 2003.
Al-Sayis, Ali Muhammad. Tafsir
Ayat al-Ahkam. Jilid IV; Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih
1953.
Amir Martosedono. Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan
Masalahnya. Semarang: Effhar Offset dan Dahara Prize. 1990.
Ash-Shabuny,
Ali Muhammad. Rawai’ul
Bayan. Juz II. 1994.
Budiarto,
M. Pengangkatan
Anak Ditinjau Dari Segi Hukum. Cet 2;
Jakarta: Akademika Pressindo. 1991.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1996.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kedua. Balai Pustaka. 2000.
Dirjen
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI. Himpunan Fatwa Mejelis Ulama
Indonesia. Jakarta. 2003.
Gosita,
Arief. Masalah
Perlindungan Anak. Jakarta: Akademi Presindo. 1989.
Hadi, Hilman Kusumo. Hukum Waris Adat. Bandung: Citra Aditya
Bakti. 1990.
Hadi, Hilman Kusumo. Metode
Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Bandung: Mandar. 1995.
Hamzah,
Andi. Kamus
Hukum. Bandung: PT.
Ghalia. 1986.
Haron, Nasroen, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve. 1996.
Hemansyah,
Andy Tinjauan, “Yuridis Status Hukum Lembaga Adopsi”, http://bloghukumumum.blogspot.com/p/tinjauan-yuridis-status-hukum-lembaga.html. (2 Desember 2010).
Himpunan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia.
Departemen
Agama RI, 2003.
Kamil, Ahmad dan
Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Keputusan
Sosial Republik Indonesia Indonesia Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak.
Krisnawati
Emiliana. Aspek
Hukum Perlindungan Anak. Bandung: CV. Utomo. 2005.
Mahkamah
Agung RI. Himpunan
Surat Edaran Mauhakamah Agung RI.
Peraturan
Pemerintah Tentang Pelakasanaan Pengangkatan Anak. PP No.
54 LN No. 123 Tahun 2007.
TLN No. 4768.
Rifyal,
Ka‘bah. Pengangkatan
Anak Dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Artikel dalam Suara Uldilag Edisi Maret 2007.
Ronny, Hanitijo Soemitro. Metode Penelitian Hukum
dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia. 1998.
Satrio, J. Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak Dalam
Undang-undang. Bandung: PT. Citra
Bakti. 2000.
Semliala
Djaja, S.
Pengangkatan
Anak (Adopsi) di Indonesia. Bandung:
Tarsita. 1992.
Soedharyo, Soimin, Hukum
Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika,
1992.
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat
Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2001.
Soekanto, Soerjono. Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 1992.
Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan
Anak. Jakarta: Bumi Aksara. 1990.
Soepomo. Bab-bab
tentang Hukum Adat. Cetakan ke-9; Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita. 1984.
Soeroso,
R. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2001.
Staatsblad.
1917 Nomor 129.
Subekti,
R. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Bandung: PT. Ghalia. 1996.
Surat
Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Nomor JHA 1/1/2 tanggal
24 Februari 1978 tentang prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia oleh
Orang Asing.
Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak.
Surat
Edaran Menteri Sosial Republik Indonesia tertanggal 7 Desember 1978 Nomor: 3-1-58-1978 tentang Petunjuk Sementara
dalam Pengangkatan Anak (Adopsi) Internasional.
Surat
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Kemanan tertanggal 27 Maret 1980 Nomor.
B.112/MENKO/POLKAM/3/1980.
Tafal, Bastian. Pengangkatan
Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya Dikemudian Hari.
Jakarta: CV. Rajawali. 1984.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Perlindungan Anak. (UU RI No.23 Th. 2002). Cet. II;
Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Undang-Undang
Tentang Kesejahteraan Anak. UU No.4, LN
No. 32 Tahun 1979. TLN No. 3143.
Undang-Undang
Tentang Perlindungan Anak. UU No. 23, LN
No. 109 Tahun 2006. TLN No. 4235.
Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum. Cet.
IV; Jakarta: Sinar Grafika. 2002.
[2] Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum (Jakarta: Sinar
Grafika, 2002), h. 8.
[4] Rifyal Ka‘bah, Pengangkatan Anak Dalam UU Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Artikel
dalam Suara Uldilag Edisi Maret 2007).
[5] Bastian Tafal, Pengangkatan Anak
Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya Dikemudian Hari (Jakarta:
CV. Rajawali, 1984), h. 93.
[8] J. Satrio menulis dalam bukunya, Hukum
Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam
Undang-Undang,
Bandung: PT. Citra Bakti. 2000, bahwa tidak adanya
ketentuan tentang adopsi dalam BW karena ketentuan tersebut memang sengaja
dikeluarkan. Ada yang mengatakan, lembaga itu memang hendak dihapus. Menurut
pikiran yang berlaku pada masa pembentukan BW tiang dasar masyarakat Eropa
adalah keluarga, yang diwujudkan dalam hubungan suami istri, orang tua anak
seperti yang diletakkan dalam BW. Dengan dasar pikiran seperti itu, maka adopsi
merupakan hubungan semu yang hanya meniru hubungan orang tua anak. Dengan
mengutip pernyataan Ali Afandi dia mengemukakan, dalam catatan kaki, latar
belakang tidak dikenalnya adopsi dalam BW, yaitu karena BW memandang suaitu
perkawinan sebagai bentuk hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan. (J Satrio,
h., 192-193)
[13] “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antar seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanana Yang Maha Esa”. Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[15] Yusuf Al Qardhawi, 2003, Halal dan Haram dalam Islam (alih
bahasa oleh Wahid Ahmadi, Dkk), Era Intermedia, Surakarta, halaman 317-319.
Mengenai hal ini memang pernah diisyaratkan oleh rasulullah SAW dalam salah
satu sabdanya :”Aku dan penyantun anak yatim di surga seperti ini. Beliau
lalu memberi isyarat dengan jari tengah dan telunjuknya, sambil
menggerak-gerakkannya.” Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al Bukhari Abu Daud,
dan Turmudzi. h. 319.
[16] Dirjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan
Fatwa Mejelis Ulama Indonesia (Jakarta, 2003), h. 178.
[18] Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Jakarta:
Akademi Presindo, 1989), h. 79.
[19]
Undang-Undang Perlindungan Anak (UU RI No.23 Th. 2002), (Cet. II; Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), h. 99.
[21] Andy Hemansyah, “Tinjauan Yuridis Status Hukum Lembaga Adopsi”,
http://bloghukumumum.blogspot.com/p/tinjauan-yuridis-status-hukum-lembaga.html. (2 Desember 2010).
[22] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Kedua, (Balai Pustaka, 2000),
h. 951.
[24] Emiliana Krisnawati, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Bandung:
CV. Utomo, 2005), h. 22.
[25] Djaja S. Semliala,
Pengangkatan Anak (Adopsi) di
Indonesia (Bandung: Penerbit Tarsita, 1992), h. 4.
[26] M. Budiarto, Pengangkatan
Anak Ditinjau Dari Segi Hukum (Cet. I; Jakarta: PT. Melton Putra, 1991), h.
16.
[29] Hilman Hadi Kusumo, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi
Ilmu Hukum (Bandung: Mandar, 1995), h. 18.
[30] Muhammad Ali Al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam (Jilid IV; Masir:
Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih, 1953), h. 7. Disadur dari R. Suroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, h. 174.
[33] Emiliana Krisnawati, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Bandung:
CV. Utomo, 2005), h. 22.
[34] Soedharyo Soimin, Hukum
Orang dan Keluarga (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 35.
[35] Muderis
Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 5.
[36] Djaja S. Semliala, Pengangkatan
Anak (Adopsi) Di Indonesia (Bandung: Penerbit Tarsita, 1982), h. 3.
[38] B. Bastian Tafal, Pengangkatan
Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari
(Jakarta : Rajawali, 1983), h. 45.
[39] Martosedono Amir, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya
(Semarang: Effhar Offset dan Dahara Prize, 1990), h. 15.
[41] Nasroen Haron, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 29.
[47] R. Subekti, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Bandung: PT Ghalia,1996), hal. 71.
[48] Staatsblad 1917 Nomor 129
Pasal 1 sampai 3.
[49] Staatsblad 1917 Nomor 129
Pasal 6 dan 7.
[50] Staatsblad 1917 Nomor 129
Pasal 8 sampai 10.
[51] Staatsblad 1917 Nomor 129
Pasal 11 sampai 14.
[52] M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1991), h. 20.
[53] Hj. Andi Nur Aulia, Aparat Pengadilan Negeri Makassar, Wawancara Tanggal 2 Juli 2010.
[54] Muderis Zaini, S.H, Adopsi Suatu
Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum (Cetakan ke-4; Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
h. 28-29.
[55] M. Budiarto, Pengangkatan Anak
Ditinjau Dari Segi Hukum, (Cetakan I; Jakarta : PT. Melton Putra, 1991),
hal. 21-23.
[56] Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum
Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,
2008), h. 28.
[57] Ibid., hal. 30.
[58] Indonesia, Undang-Undang Tentang Kesejahteraan Anak, UU No.4, LN No.
32 Tahun 1979, TLN No. 3143.
[59] Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan
Nomor JHA 1/1/2 tanggal 24 Februari 1978 tentang prosedur Pengangkatan Anak
Warga Negara Indonesia oleh Orang Asing.
[60] Ibid.
[61] Ibid.
[62] Ibid.
[63] Surat Edaran Menteri Sosial Republik Indonesia tertanggal 7 Desember
1978 Nomor:3-1-58-1978 tentang Petunjuk Sementara dalam Pengangkatan Anak
(Adopsi) Internasional.
[64] Ibid.
[65] Keputusan Sosial Republik Indonesia Indonesia Nomor
41/HUK/KEP/VII/1984 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak.
[66] Ibid.
[67] Ibid.
[68] Ibid.
[69] Ibid.
[70] Surat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Kemanan tertanggal 27
Maret 1980 Nomor. B.112/MENKO/POLKAM/3/1980.
[71] M. Budiarto, Pengangkatan Anak
Ditinjau Dari Segi Hukum (Cet. 2; Jakarta: Akademiika Pressindo, 1991), h.
14.
[72] Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan
Anak.
[73] Indonesia, Undang-Undang Tentang
Perlindungan Anak, UU No. 23, LN No. 109 Tahun 2006, TLN No. 4235. Pasal
39.
[74] Ibid.
[75] Ibid.
[76] Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pelakasanaan Pengangkatan
Anak, PP No. 54 LN No. 123 Tahun 2007,
TLN No. 4768.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar