Sekali berarti, sudah itu mati
Chairil Anwar
Tubuhnya
hancur berkeping-keping. Sudah tiada jelas lagi mana bagian depan atau
belakang. Sudah menyatu dengan bumi. Hanya ada baling-baling panjang tergolek
di tanah yang mungkin jadi satu-satunya tanda.
Pilot dan co-pilotku sudah tak bernyawa.
Posisi duduknya sudah tak beraturan. berhamburan kaca. Wajahnya hancur
berantakan. Sutradaraku tertelungkup di lantai dasar. Dua tangan dan kakinya
patah. Kemudian Awan? Ya, temanku. Di mana dia? Ya, Tuhan! Aku tak berani
mengatakannya. Tak tega rasanya menuliskannya di sini.
Sementara
aku? Aku masih tergeletak di kursi belakang. Hanya tinggal celana gunung hitam,
kaus putih, dan topi rimba yang membungkus tubuhku. Nikon-ku masih menggantung
di leher. Tas pinggangku masih melilit. Yang kuingat ada beberapa catatan
script, dompet kulit berisi beberapa lembar uang, dua buah SIM, KTP, cashcard,
kartu mahasiswa, dan foto Haikal. Ada sebuah radio panggil dan kalung tentara
berpatrikan namaku. Hutan ini masih perawan, gelap, sepi, dingin dan di dasar
lembah kaki gunung Sibayak (Gunung Sibayak; 2.100 m, ± 60 km barat daya Medan,
Sumatra Utara).
"AKU
PULANG hari Kamis, Ma. Semua syuting darat sudah selesai. Senin besok tinggal
pengambilan gambar dari atas. Kita terbang hanya dua jam, kok. Selasa balik ke
Jakarta. Ya, paling tidak Kamis-lah pulang ke Bandung." aku dalam bilik
telpon di sebuah wartel di kota Medan.
"Hati-hati,
Laras. Mama hanya bisa mendo'akan!"
"Ya.
Do'akan Laras, Ma. Sebelum pulang Laras telpon lagi. Salam buat Hendra sama
Pradnya, ya!"
Sayang,
kakak dan adikku sedang tiada di rumah. Andai aku sempat berbicara dengan
mereka. Tetapi setidaknya aku sudah berpamitan. Aku hanya sempat mengirimi
kakakku kartu ulang tahun. Dia pasti terheran-heran menerimanya. Kartu ulang
taun? Ya, tak apalah! Hanya sebuah kartu, Hen.
SENIN PAGI
jam sepuluh waktu Indonesia bagian barat. Cuaca tak begitu cerah namun juga
tiada mendung. Ada beberapa hal penting dalam breifing sebelum terbang. Juga
tentang daerah-daerah rawan yang nanti musti dilewati. Belum lagi Ikhsan,
temanku yang ngotot ingin ikut terbang saat pengambilan gambar. Padahal tata
suara tidak begitu dibutuhkan di atas nanti.
"Ya
sudah, pada bergaya sana. Biar aku potret semua!" akhirnya Ikhsan
mengalah.
"Ambil
semuanya, San, biar helikopternya nampak. Kapan lagi kita bisa naik heli
seperti ini." Awan berdiri di sampingku.
Ikhsan
menjepret-jepretkan kameranya. Klak! Klik!
"Biar
bisa dijadikan bukti ya, kalau kalian bener-bener pernah naik heli. Aku jadikan
foto terakhir sebelum terbang nih!"
Foto
terakhir? Aku dan Awan sontak berpandangan. Masih terngiang-ngiang dua kata
Ikhsan barusan: foto terakhir?
Jadi isi
heli terdiri dari Pak Birhi, mantan wartawan TEMPO yang kini menjadi sutradara,
lantas Awan dan aku sebagai kameramen, serta dua orang berpakaian loreng yang
duduk di cockpit.
Aku, Awan,
dan Ikhsan sama-sama kuliah di IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Selain kuliah,
kami biasa nge-job sana-sini. Entah bantu-bantu bikin iklan, sinetron atau
video klip artis-artis. Dari situ aku bisa kenal orang-orang yang mati hidup di
dunia film. Selain uang (tentu saja), aku jadi banyak belajar. Hingga kami
bertiga dapat order untuk mengerjakan sebuah film dokumenter di daerah Sumatra
Utara. Lewat sebuah rumah produksi kami berangkat dengan sebuah tim dari
Jakarta.
"Hoi…
kamu jangan muram gitu, Laras!" Ikhsan berteriak melawan deru mesin heli.
Lagi-lagi
aku dan Awan saling berpandangan.
Dan heli
pun terbang mengangkasa!
GERAK
HELIKOPTER betul-betul sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Kami
terguncang-guncang di ketinggian… ah! manalagi sempat memikirkan di ketinggian
berapa kami sekarang berada. Setelah berputar-putar hilang arah, hubungan radio
dengan bandara Polonia Medan betul-betul terputus. Sudah banyak hutan lebat
kami lewati. Sudah beberapa desa pedalaman kami seberangi.
Suara Heli
menderu-deru. -
"Apa
tidak lebih baik mendarat dulu, Pak?" teriak Pak Birhi pada Pilot.
"Kita
cari daratan yang memungkinkan!" teriak pilot menyaingi suara heli.
Helikopter
terbang tersendat-sendat. Kami sedang mengitari sebuah lembah. Sejauh mata
bertubrukan selalu warna hijau yang bertaburan.
Ya Tuhan!
Sasaat terbayang wajah Mama, kemudian Bapak, Hendra kakakku, dan Pasya adikku.
Lalu… lalu… Haikal… Haikal… Apa kamu pun mau mengucapkan salam terakhir, Kal?
Ah! Jangan dulu tinggalkan aku, Kal!
Jangan
dulu!
Mesin heli
tiba-tiba mati. Sistem kendali sudah tiada apa-apanya lagi. Tubuh heli meluncur
deras ke bawah. Berputar-putar. Terbolak-balik. Tanpa aturan. Tidak
berperasaan.
Yang
kuingat tepat pada saat heli akan memasuki rerimbunan hutan, Awan temanku
tiba-tiba meloncat keluar. Aku yang berada di sebelahnya hanya bisa terpekik
tanpa bisa mencegah dan menyadari apa yang sedang terjadi.
Heli
menghujam dahsyat ke muka bumi, mematahkan-matahkan dahan pohon, menghancurkan
segala apa yang berbentuk pada heli, meluluhlantakkan semua yang ada di
dalamnya.
Hancur,
berserakan, dan tak berbentuk!
Aku sudah
tak ingat lagi berada di mana ini. Sesaat keadaan begitu hening. Senyap.
Betul-betul sunyi sama sekali. Hanya bau rumput dan amis darah yang begitu
menyengat.
Ada empat
tubuh yang bergelimpangan pasrah di dalamnya. Termasuk tubuhku. Tapi, empat?!
Lalu Awan? Ya, di mana dia? Aku terbang kesana-kemari mencari awan sambil
menangis. Awan… Awan…
Tiba-tiba,
"Awan...?!!"
Aku
menjerit histeris. Suaraku menggelegar mematahkan daun-daun dalam hutan.
Menyayat, pilu, dan putus asa. Tubuhnya sudah berlumuran darah, tidak
berbentuk, dan kepalanya pecah. Ketika dia meloncat keluar tadi, pada saat
itulah tubuh heli menerjangnya hingga ke dasar tanah.
Menimpanya!
Meremukkannya!
Tinggal
aku yang meronta-ronta berusaha mengangkat badan heli yang mengubur tubuh Awan.
Aku berteriak sekeras-kerasnya. Aku terbang tak tentu arah.
Sudah tak
tau jenis makhluk apa aku kini.
Aku
terbang, terbang, dan terbang ...
MAMA,
LIHATLAH! Mamaku. Dia tergeletak begitu lemasnya di ranjang. Dia hanya menangis
dan menerawang.
"Mama,"
hati-hati aku bicara. "Ini aku, Ma. Aku sudah datang. Ayolah Ma, berhenti
menangis, Ma." aku duduk di sampingnya.
"Laras…
Laras… kamu sudah pulang, Laras…?" Mamaku terisak-isak. "Laras…"
"Ya
Ma, ini aku Ma. Aku sudah pulang, Ma."
"Laras…"
Ya Tuhan.
Tidakkah dia mendengar suaraku? Menderita sekali Mamaku. Badannya lemas dan
kurus. Apakah ini yang Mama dapat setelah melahirkan dan membesarkan aku selama
duapuluh dua tahun lamanya? Apakah hanya sebuah pusara yang dapat Mama kenang
nanti?
"Ma,
ayolah, Ma!" ingin sekali aku menggenggam tangannya. Ma, aku hanyalah
sebuah anak panah yang telah kau tembakkan dari busurmu. Bukankah itu yang
pernah kau ceritakan tentang sang Kahlil Gibran, Ma? Aku sudah melesat! Sudah
menuju pada sang kehidupan yang sebenarnya. Akulah anak panahmu, Ma! Bukankah
kau masih lagi menyimpan sisa anak panah yang tinggal kau petik saja buahnya.
Yang telah ranum dan siap kau makan dengan begitu lezatnya.
Ingatanku
terlempar saat aku masih lagi berumur empat tahun. Ketika aku dan kakak
laki-lakiku, Hendra, bermain di sungai bersama anak-anak kampung sekitar. Saat
itu anak-anak kampung mengadakan semacam lomba keberanian menyeberangi sungai
dengan cara merayapi atau bergelantungan di pipa air yang melintasi lebar
sungai. Aku berteriak-teriak histeris waktu giliran Hendra ambil bagian. Bayanganku
Hendra akan terpeleset dan jatuh ke dalam sungai yang dalam dan berarus deras.
Tertatih-tatih
Hendra merayapi pipa air melintasi lebar sungai, namun ketika dia telah
menyelesaikan perjalanannya dan sampai dengan selamat di ujung sungai, aku
bersorak-sorak girang sambil melompat-lompat karena Hendra dengan tawa
kemenangan melambaikan tangan ke arahku berdiri.
Padahal
sepulang dari petualangan sungai itu, Mama memarahi kami. Badan kami memang
kotor penuh lumpur dan bau. Tapi kami tersenyum bangga dan puas.
Sejak
kecil aku memang terbiasa bergumul dengam permainan laki-laki. Barangkali
karena aku begitu sering mengikuti kemana Hendra pergi. Jadinya segala
permainannya aku ikuti. Dan tumbuhlah aku sebagai gadis tomboy.
Begitu
banyak kenangan yang berkelebat dalam benakku.
Tiba-tiba
pintu kamar Mama terbuka. Bunyi deritnya mengagetkanku. Seorang gadis
memasukinya, dan duduk di sebelah Mama. Letaknya menyeberangiku. Dia mengusap
rambut Mama begitu sayangnya. Seorang gadis yang mulai tumbuh dewasa, bagitu
cantiknya. Dulu aku sering menggodanya kalau ada teman lelakinya yang menelpon
atau dengan jantan datang ke rumah.
"Pradnya…"
aku mencoba memanggilnya. "Pradnya… ini aku, Pradnya." dia tampak
melihat sekeliling kamar. "Pradnya… jaga Mama, ya." dia mulai meneteskan
air mata.
"Kamu
jangan ikut menangis, Pradnya. Jangan lengkapi kesedihan Mama. Beri Mama
senyummu, hibur Mama, Pradnya!" kali ini dia betul-betul menangis.
AKU BERADA
belasan kilometer jauhnya dari kamar Mamaku. Di sebuah kamar ukuran tiga kali
lima. Warna dindingnya biru gelap. Ada beberapa pigura yang dipaku secara acak.
Sebuah kasur tanpa dipan di atas karpet hijau lumut, lemari kayu ukuran sedang,
satu set stereo, dan sebuah meja besar penuh tumpukan buku. Di bawah payung
lampu duduk duapuluh lima watt, ada potret wajahku sedang tersenyum, dia
menggelayut manja di bahuku.
Haikal
nama lelaki itu. Duduk memandangi potret yang diambil sekitar setahun lalu
ketika aku pulang dari pembuatan iklan sebuah produk rokok terkenal di negeri
ini.
Haikal
nama lelaki itu. Sudah tiga tahun aku dikencaninya. Juga setelah aku memutuskan
untuk melanjutkan ke sekolah seni, dia begitu antusias dan gembira. Haikal
betul-betul membantuku menepiskan hari-hari sepi. Betul-betul mampu membuat
hidupku penuh dengan antusias dan dinamis.
Haikal
adalah pengeranku!
"Kalau
itu memang sudah jadi pilihanmu, kenapa tidak, Laras?"
"Kamu
mendukung aku, Kal?"
"Hei,
kamu musti yakin kalau bisa maju di film."
"Nggak
takut kalau dunia film lesu?"
"Untung
Soekarno tidak sempat pesimis. Jika ya, entah kapan kita mendengar kata
Republik Indonesia!"
Haikal
nama lelaki itu. Anak kedua dari tiga bersaudara. Semester tak terhingga
jurusan Jurnalistik. Tapi bukan seorang wartawan yang ingin disandangnya.
"Kalau
di Jakarta aku pacaran lagi, gimana Kal?" godaku manja.
"Ya
aku pacaran lagi di Bandung!" ia tertawa tak mau kalah.
"Rugi
kamu. Tidak ikut terkenal sebagai suami seorang sutradara ternama."
"Hahaha…
harus kamu buktikan itu!"
"Hei,
nanti semua media akan mencatat namaku."
Haikal
nama lelaki itu. Sudah beberapa hari terakhir dia tidak merasakan nikmatnya
tidur. Dia selalu terjaga.
"Haikal…"
aku memberanikan diri memanggilnya. Tenggrokanku seperti tersumbat. Ya Tuhan,
aku tak tau musti berkata apa. Menyentuhnya pun aku tak bisa.
Ah! aku
menangis, aku menangis.
Tetapi?!
Tidak… tidak… aku masih ingin bicara dengan Haikal. Aku masih ingin berada di
dekatnya. Masih ingin merasakan kehangatannya. Jangan dulu bawa aku.
Jangan
dulu…!!!
TIBA-TIBA
aku sudah berada di dalam sebuah lembah yang dalam, lebat, gelap, dan bau amis
darah! Berdiri aku seorang diri.
Tanpa
teman tanpa kawan!
Sudah
sebulan tim SAR dan gabungan para pencinta alam nasional menulusuri habis
hutanku. Mencari-cari di mana letak jatuhnya helikopter.
Tidak!
Mereka tiada akan pernah menemukannya. Heliku sudah menjadi milik hutan ini.
Sudah menjadi milik alam dan masyarakat penghuni hutan.
"Laras…
Laras… ayo pulang, Laras…!" Bapakku menangis, Bapakku menangis!
"Ayolah Laras… pulang…!"
Lihatlah!
Bapak. Bapak dan Hendra ikut mencari dan masuk ke dalam hutan. Mereka terbagi
dalam beberapa kelompok. Tentara maupun pecinta alam.
"Hei…
hei… aku di sini! Hei…!" mereka hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari
tempatku berdiri. "Hei… hei… aku di sini, Pak! Aku di sini, Hen!"
Bahkan
mereka melangkahi puing-puing heliku. Apa-apaan ini?! Adakah yang menutupi
pandangan mereka?
Ya Tuhan!
TUBUHNYA
HANCUR berkeping-keping. Sudah tiada jelas lagi mana bagian depan atau
belakang. Sudah menyatu dengan bumi. Hanya ada baling-baling panjang tergolek
di tanah yang mungkin jadi satu-satunya tanda.
Ada sebuah
kalung yang tertinggal dan tergeletak di atas tanah basah. Sebuah kalung
tentara berpatrikan namaku; Laras Saraswati.
DUA TAHUN
KEMUDIAN.
"Kal,
kamu lihat berita TPI pagi tadi?" seru Leinad dari balik pintu kamar.
"Kenapa
memang?" aku sedang mengepak ransel gunungku.
"Lho,
mau kemana kamu?"
"Pangrango!"
"Sudah,
bongkar lagi, Kal. Kamu nggak bakal naik!"
Aku tak
mengindahkan.
"Kal,
hoi...!"
"Apaan
sih...?" aku tetap mengepak.
"Laras,
Kal, Laras!"
Aku sontak
menghentikan pekerjaanku, "Laras?" bergetar juga aku mendengar nama
itu disebut. "Ada apa dengan Laras?"
"Pagi
tadi di TPI, ditemukan puing helikopter yang hilang dua tahun lalu. Pagi ini
sedang diselidiki. Diduga helikopter yang digunakan mahasiswa IKJ saat bikin
film dulu, karena pemburu yang menemukan melihat banyak alat kamera berserakan.
Kalau memungkinkan, sore ini langsung evakuasi."
"Betulkah
yang kudengar ini, Nad?!" aku mencekal bahunya.
Leinad
hanya mengangkat bahu. Kutinggalkan ransel gunungku dan berlari ke ruang tamu.
Mencari Kompas pagi yang belum sempat kubaca. Maka benar saja: Puing Helikoper
Yang Ditumpangi Mahasiswa IKJ Ditemukan.
Meski
sulit dikenali karena terlalu rusak, aparat keamanan di Medan, Sumatera Utara,
tetap merencanakan mengevakuasi reruntuhan pesawat helikopter yang ditemukan di
sela-sela hutan lebat Lau Ucim di kaki Gunung Sibayak, Kabupaten Karo (123 km
selatan Medan).
Astaga!
Menurut penduduk Desa Semangatgunung, Kecamatan Simpangempat, Kabupaten Karo;
Ponden, Sembiring, Surbakti, dan Ramon -pemburu yang menemukan reruntuhan
pesawat, terdapat empat kerangka manusia yang masih utuh tak pindah tempat dari
duduknya. Diperkirakan langsung meninggal saat heli jatuh. Meski bentuk
reruntuhan sulit dikenali karena terlalu rusak, namun diperkirakan tak lain
pesawat helikopter. Ini terlihat dari bagian baling-baling yang tergolek di
atas tanah.
Catatan
menunjukkan, dua tahun lalu memang terdapat laporan menyangkut hilangnya sebuah
pesawat heli guna melakukan pemotretan dari udara terhadap wilayah Kabupaten
Karo, Dairi, dan Simalungun. Pemotretan berlangsung beberapa hari dan
dilaporkan hilang pada hari terakhir tugas tersebut.
Selain KTP
dan Kartu Pers milik Birhi, di dekat reruntuhan pesawat juga ditemukan KTP atas
nama Laras Saraswati (No. 109269292) dikeluarkan Pemda Kotamadya Bandung
(Jabar), kemudian atas nama ...Irs... (No. 4263-349) juga dikeluarkan Pemda
Kotamadya Bandung (Jabar), dan satu KTP lainnya (No. 0441-639) keluaran Pemda
Tingkat II Bekasi (Jabar). KTP yang terakhir tidak diketahui nama pemiliknya,
karena tulisan pada kolom nama nampak sudah kabur.
Meski
kendala lokasi berupa jalan yang hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki namun
sejumlah anggota Batalyon Infanteri 125 Kabanjahe bersama anggota Kodim 0205
Tanahkaro diterjunkan ke lokasi guna evakuasi.
Koran pagi
itu masih dalam genggamanku.
"Empat?
Empat kerangka? Bagaimana mungkin empat?" aku tak mengerti.
Segera
saja aku telpon keluarga Laras. Mengabari atas berita yang baru kudengar.
"Masyaallah,
betulkah, Haikal?!"
"Iya
Bu. Segera akan saya kontak IKJ."
"Baiklah,
Ibu akan menelpon Bapak di kantor!"
Nasib
ranselku sudah tak berriwayat lagi.
"Gimana,
Kal?" Leinad menyusul ke ruang tamu.
"Kita
ke Jakarta, Nad!"
KAMPUS
YANG terletak di belakang Taman Ismail Marzuki ini masih saja rindang untuk
dikunjungi. Leinad masih sibuk mencari uang kecil untuk membayar bajaj. Banyak
kenangan yang sempat tertumpahkan di kampus ini. Tentu saja bersama gadisku,
Laras. Namanya begitu dikenang dan dijadikan simbol tersendiri terhadap
perjuangan mahasiswa film yang telah senior maupun baru masuk.
Biasanya
aku tak begitu mampu untuk kembali lagi ke sini. Itu hanya akan membuat hatiku
sesak dan gulana. Aku mencari beberapa mahasiswa film yang sudah lebih dulu
mengetahui perihal diketemukannya helikopter Laras. Mereka tampak sibuk dan
posko pencarian yang dua tahun lalu sempat dibentuk segera didirikan kembali.
Di ujung koridor aku melihat Mas G. sedang berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswa.
Aku menghampirinya.
"Saya
dari kelurga Laras, Mas," ucapku. "Orang tua Laras sudah saya
beritahu dan segera akan ke Jakarta hari ini juga."
"Oya?
Terima kasih kalau begitu," ia membalas jabatan tanganku. "Jadi
tinggal keluarga Awan saja yang sedang dikontak."
"Ada
perkembangan terakhir, Mas?"
"Positif.
Heli itu memang yang dinaiki Laras dan Awan. Keluarga Pak Birhi juga sudah kita
hubungi. Hari ini langsung evakuasi." terang Mas G.
"Bayangkan,"
lanjut Mas G. "Meski telah dua tahun, dompet-dompet mereka masih begitu
utuhnya. Jadi dengan mudah dapat dikenali identitas mereka sebagai mahasiswa
IKJ!" ujar sutradara film Cinta Dalam Sepotong Roti ini.
"Bukankah
daerah itu telah disisir tim SAR saat pencarian dulu?" tanya Isa,
mahasiswa TV.
"Yah...
rahasia alam, Sa. Siapa yang dapat tau!" jawab Komeng, mahasiswa jurusan
editing.
"Aku
sulit membayangkan. Bagaimana mungkin kerangka Awan ada di balik tubuh heli.
Apa itu berarti ia tertimpa helikopter?" terka Ikhsan, mahasiswa jurusan
tata suara yang jadi satu-satunya kawan Laras yang lolos dari maut itu.
Sontak aku
memisahkan diri dari obrolan itu. Leinad tampak ikut berembuk dalam pembentukan
sebuah tim penjemputan. Tanpa sadar air mataku mulai menghujani pipiku. Ya, aku
menangis!
Maka
diputuskan mengirimkan beberapa orang IKJ dalam tim penjemputan.
"Kamu
tau berapa tiket pesawat ke Medan, Nad?"
Leinad
mengangkat bahu. "Kamu terbang?"
"ATM-ku
hanya berisi sejuta."
"Tenang,
Kal!" ia memeluk bahuku.
KELUARGA
DEMI keluarga sudah berdatangan. Baik dari keluarga Awan di Klaten, Jawa
Tengah, maupun keluarga Laras. Hanya Bapak Laras yang tampak datang dari
Bandung. Aku menyambut genggaman tangannya. Beliau memelukku.
Tapi
tiba-tiba datang kabar begitu mengejutkannya: pihak TNI Angkatan Darat Medan
ternyata tidak mengakui adanya mahasiswa IKJ dalam helikopter tentara yang baru
saja berhasil dievakuasi. Mereka tidak mau mengambil resiko jika tersiar kabar
di media massa bahwa helikoter tentara yang merupakan inventaris negara
dipinjamkan pada orang sipil. Apalagi untuk kepentingan komersil seperti ini.
Puah! Aku
menyumpah-nyumpah. Kawan-kawan IKJ sudah saling melontarkan kata umpatan.
Kejadian dua tahun lalu memang sungguh menjengkelkan, kalau tak bisa dikatakan
menyebalkan. Perusahaan film yang menurunkan Pak Birhi, Awan, dan Laras dalam
penerbangan tersebut memang lebih memilih heli Angkatan Darat yang murah dengan
tujuh ratuh lima puluh ribu perak per-jam, dibanding helikopter komersil yang
sejuta lima ratus ribu per-jam. Hanya karena bisikan oknum yang gemar mengobyek
alat negara dan pertimbangan harga murah, mereka merencanakan terbang selama
dua jam. Puah!
Semua
bingung, belum lagi tau apa yang musti segera dilakukan. Sudah jelas wartawan
RCTI menangkap gambar evakuasi siang tadi di Buletin Siang. Semprul! batinku.
Bukankah identitas mahasiswa IKJ sudah dengan jelas diketahui dan disiarkan.
Lantas mau apalagi? Tapi, sebentar, pantas saja, aku teringat kejadian dua
tahun lalu. Ketika itu Ikhsan, kawan Laras, bukankah sempat memotret Awan dan
Laras sebelum heli take off. Terpampang jelas jenis dan nomor heli yang mereka
gunakan. Pantas saja seorang petugas sempat mengikuti Ikhsan dan meminta
negatif dari film itu. Ini jelas-jelas sebuah permainan. Mereka tak mau
menanggung resiko. Berarti ada oknum yang bermain di balik semua ini.
"Hei...
bukankah Ikhsan masih punya positif foto heli sebelum take off. Repro saja,
jadikan bukti!" aku tiba-tiba mengusulkan.
"Betul
juga! Ya, aku masih simpan." ujar Ikhsan.
"Tapi
mereka militer, Kal, bisa saja mengelak." seru Yudi, mahasiswa jurusan
sutradara, menengahi.
"Kita
sebar ke setiap media!" aku tak mau menyerah.
"Mereka
bisa main keras, Kal!" kali ini Frans, mahasiswa jurusan fotografi film.
"Ok.
Kalau begitu biar saya usahakan lewat HANKAM Jakarta saja." suaranya
nampak bergetar penuh geram. Ternyata Mas Oki, kakak Awan dari Klaten.
"Saya kenal orang dalam!" ujarnya tegas sembari memijit tombol HP.
Kami semua
tak mengira akan keputusan ini. Maka diputuskanlah Bapak Laras, Mas Oki, dan
beberapa orang dari HANKAM yang terbang ke Medan. Sementara kami diminta stand
by di Jakarta untuk menunggu perkembangan yang tiada mudah diperkirakan.
"Kamu
musti makan, Kal!" Leinad mengingatkanku.
"Kamu
saja duluan!"
SIAPA YANG
bakal mengira jika prosesnya begitu menggila. Lima hari kami terkatung-katung
dengan tanpa keputusan yang tiada jelas. Orang-orang Mas Oki memang telah
bertemu dengan pihak Angkatan Darat Bukit Barisan. Tetapi mereka tetap tiada
mau begitu saja menyerah atas kenyataan yang sebenar. Mereka memang mengkui
bahwa helikopter yang diketemukan di Gunung Sibayak, adalah milik Angkatan
Darat. Namun tak berisi mahasiswa IKJ seperti yang tersiarkan media massa.
Fasis memang luar biasa haibatnya! Pantas saja, ketika pencarian dua tahun
lalu, tim tentara tidak mau bergabung dengan tim SAR dan pecinta alam
mahasiswa. Mereka bersikukuh helinya yang hilang jatuh di sekitar lokasi rutin
latihan mereka. Dan kini, haibat benar, saat kami pihak keluarga belum lagi
mendapat kepastian apakah kami dapat membawa pulang kerangka-kerangka tersebut,
pilot serta co-pilot mereka justru telah diterbangkan dan dimakamkan pada
keluarga masing-masing di Jawa. Haibat benar!
Tawar
menawar pun terjadi. Akhirnya terbukalah semua. Kerangka-kerangka tersebut
memang disimpan oleh pihak Angkatan Darat. Mereka dapat saja menyerahkan
kerangka tersebut pada keluarga masing-masing, namun dengan beberapa syarat
yang musti dipenuhi: tidak ada pers, tidak ada penyambutan di bandara, tidak
ada upacara di kampus, dan musti langsung dibawa ke rumah keluarga korban.
Bapak Laras sempat berang: adalah hak kami untuk memperlakukan apa yang hendak
kami perbuat pada kerangka tersebut. Tapi melalui pembicaraan yang alot,
akhirnya, demi kepulangan keluarga juga, mereka menyanggupi syarat-syarat
tersebut.
"Satu
lagi," ujar Perwira Angkatan Darat itu. "Kerangka tidak dibawa dengan
enggunakan peti!"
Bapak
Laras dan Mas Oki tampak tidak mengerti. "Lantas?!"
"Dibungkus,
dan dimasukkan ke dalam tas. Tidak menggunakan cargo, tapi ikut ke dalam kabin
penumpang!"
Gila! Begitukah
perlakuan manusia terhadap manusia? Luar biasa fasis ini.
Syarat
terakhir sempat mentah-mentah ditolak. Karena bagaimanapun: kerangka tersebut
tetaplah manusia yang musti dihormati atas hakekatnya. Tapi itu pilihan
terakhir yang mereka tawarkan. Sekali lagi, luar biasa untuk fasis ini!
Begitulah.
Pesawat melesat dari Polonia Medan dan mendarat di Bandara Soekarno Hatta
Jakarta. Kerangka Pak Birhi, mantan wartawan TEMPO yang kini sutradara itu,
rencananya akan dimakamkan keluarganya di Medan. Jadi tak musti dibawa ke Jawa.
Kerangka Awan langsung berganti pesawat menuju Yogyakarta terus ke Klaten, Jawa
Tengah. Sementara Laras musti berpindah mobil karena tiada jam terdekat bagi
pemberangkatan terbang ke Bandung. Aku telah memesan sebuah ambulan untuk
membawa Laras ke Bandung. Kawan-kawan IKJ tampak menggerombol di pintu masuk,
di cargo, tapi tak menemukan apa-apa. Dari kejauhan terlihat Bapak Laras
ditemani seorang pria berambut cepak menenteng sebuah tas kecil berwarna hitam
sebesar tas raket pebulutangkis. Kawan-kawan IKJ menyambutnya.
"Mana
Laras?" tanya mereka.
Si rambut
cepak tak segera menjawab.
"Mana
Laras, Pak?" kali ini pada Bapak Laras.
Bapak
Laras tak menjawab. Hanya matanya melirik pada tas hitam yang ditenteng si
rambut cepak.
Semua mengikuti
arah lirikan Bapak Laras, lantas sontak terkesiap dan bukan alang kepalang
kagetnya. Laras, di dalam tas sekecil itu? Tulang-belulangmu? Dalam tas sekecil
itu? Tetesan air mata sudah tak terbendung lagi. Laras... begitu cara mereka
memperlakukan manusia? Begitu cara manusia menghormati sesama manusia? Sungguh
tak kuat aku menuliskan cerita ini.
Iring-iringan
mahasiswa IKJ beranjak menuntun tas kecil berwarna hitam itu. Sebuah mobil
ambulan telah siap menunggu untuk melesat ke Bandung. Aku tak berani mendekat.
Jarakku tak lebihlah dua puluh meter dari kerumunan.
Leinad
datang menghampiri. "Kal, Larasmu, Kal. Larasmu sudah kembali!" ia
memelukku.
Aku
membalas pelukannya. Air mataku tumpah sudah.
JARAK
JAKARTA - Bandung hanya ditempuh dalam beberapa jam saja melalui puncak. Aku
duduk di sebelah tas laras di dalam ambulan. Kadang memeluknya sambil tak
henti-hentinya menyeka tetesan air mata yang terasa tak pernah kering ini.
Bapak
Laras duduk di depan. Di belakang ada aku, Leinad, serta dua kawan Laras di
IKJ: Barli dan Humam, pacar Paquita Wijaya. Di belakang mobil ambulan
beriring-iringan mobil mahasiswa IKJ dan beberapa saudara Laras yang tinggal di
Jakarta, mengikuti sirine yang meraung-raung.
Hingga
sampailah di kediaman Laras. Sirine ambulan masih meraung-raung. Beberapa orang
telah siap dengan posisi tangan seolah hendak mengangkat peti mati. Namun
ketika pintu belakang ambulan terbuka, mereka terkesiap karena tak menemukan
peti mati yang mereka bayangkan.
"Mana
petinya?!" tanya mereka.
Tak lama
aku turun, membopong sebuah tas kecil berwarna hitam: berisi tengkorak Laras.
Masuk ke dalam ruang tamu, tempat dimana dulu sering kukencani dia. Sebuah meja
ukuran panjang telah dipersiapkan. Aku Letakkan tas kecil berwarna hitam itu di
atasnya. Ibu Laras yang melihat anak gadisnya hanya tinggal berhasta-hasta
tulang di dalam tas sekecil itu, bukan kepalang histerisnya. Suasana begitu
pilu. Mencekam. Mengaharukan dan menyayat hati. Aku tak kuasa meneruskan cerita
ini.
MAKA
BEGITULAH. Tulang belulang Laras dimasukan ke dalam peti. Dibawa ke masjid dan
ditanam dalam tanah dalam-dalam untuk tak dapat dilihat kembali selama-lamanya.
Ratusan pelayat telah meninggalkan tanah-tanah pekuburan. Bunga-bunga telah
diterbarkan begitu wanginya. Aku masih bersimpuh luruh tafakur di sebelah
nisannya. Meraba-raba papan bertuliskan nama gadisku, Laras Saraswati. Tak
seperti makam umumnya, yang tertera pada nisan Laras justru: Lahir; Wafat; dan,
Dimakamkan. Karena ketiganya bertuliskan waktu yang berbeda.
Laras
hanya membawa pulang dompet kulit berisi robekan lembar uang yang sudah lapuk,
dua buah SIM dan KTP yang tampak kotor, cashcard yang telah pecah, kartu
mahasiswa yang usang, dan fotoku yang sudah tak jelas lagi warnanya.
Aku masih bersimpuh luruh tafakur di sebelah nisannya. Meraba-raba papan
bertuliskan nama gadisku. Sebuah kalung tentara berpatrikan namanya
kugantungkan di leherku; Laras Saraswati.
Air mataku banjir sudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar