Jumat, 23 November 2012

Sebuah Tas Kecil Berwarna Hitam



Sekali berarti, sudah itu mati
Chairil Anwar
Tubuhnya hancur berkeping-keping. Sudah tiada jelas lagi mana bagian depan atau belakang. Sudah menyatu dengan bumi. Hanya ada baling-baling panjang tergolek di tanah yang mungkin jadi satu-satunya tanda.
Pilot dan co-pilotku sudah tak bernyawa. Posisi duduknya sudah tak beraturan. berhamburan kaca. Wajahnya hancur berantakan. Sutradaraku tertelungkup di lantai dasar. Dua tangan dan kakinya patah. Kemudian Awan? Ya, temanku. Di mana dia? Ya, Tuhan! Aku tak berani mengatakannya. Tak tega rasanya menuliskannya di sini.
Sementara aku? Aku masih tergeletak di kursi belakang. Hanya tinggal celana gunung hitam, kaus putih, dan topi rimba yang membungkus tubuhku. Nikon-ku masih menggantung di leher. Tas pinggangku masih melilit. Yang kuingat ada beberapa catatan script, dompet kulit berisi beberapa lembar uang, dua buah SIM, KTP, cashcard, kartu mahasiswa, dan foto Haikal. Ada sebuah radio panggil dan kalung tentara berpatrikan namaku. Hutan ini masih perawan, gelap, sepi, dingin dan di dasar lembah kaki gunung Sibayak (Gunung Sibayak; 2.100 m, ± 60 km barat daya Medan, Sumatra Utara).
"AKU PULANG hari Kamis, Ma. Semua syuting darat sudah selesai. Senin besok tinggal pengambilan gambar dari atas. Kita terbang hanya dua jam, kok. Selasa balik ke Jakarta. Ya, paling tidak Kamis-lah pulang ke Bandung." aku dalam bilik telpon di sebuah wartel di kota Medan.
"Hati-hati, Laras. Mama hanya bisa mendo'akan!"
"Ya. Do'akan Laras, Ma. Sebelum pulang Laras telpon lagi. Salam buat Hendra sama Pradnya, ya!"
Sayang, kakak dan adikku sedang tiada di rumah. Andai aku sempat berbicara dengan mereka. Tetapi setidaknya aku sudah berpamitan. Aku hanya sempat mengirimi kakakku kartu ulang tahun. Dia pasti terheran-heran menerimanya. Kartu ulang taun? Ya, tak apalah! Hanya sebuah kartu, Hen.
SENIN PAGI jam sepuluh waktu Indonesia bagian barat. Cuaca tak begitu cerah namun juga tiada mendung. Ada beberapa hal penting dalam breifing sebelum terbang. Juga tentang daerah-daerah rawan yang nanti musti dilewati. Belum lagi Ikhsan, temanku yang ngotot ingin ikut terbang saat pengambilan gambar. Padahal tata suara tidak begitu dibutuhkan di atas nanti.
"Ya sudah, pada bergaya sana. Biar aku potret semua!" akhirnya Ikhsan mengalah.
"Ambil semuanya, San, biar helikopternya nampak. Kapan lagi kita bisa naik heli seperti ini." Awan berdiri di sampingku.
Ikhsan menjepret-jepretkan kameranya. Klak! Klik!
"Biar bisa dijadikan bukti ya, kalau kalian bener-bener pernah naik heli. Aku jadikan foto terakhir sebelum terbang nih!"
Foto terakhir? Aku dan Awan sontak berpandangan. Masih terngiang-ngiang dua kata Ikhsan barusan: foto terakhir?
Jadi isi heli terdiri dari Pak Birhi, mantan wartawan TEMPO yang kini menjadi sutradara, lantas Awan dan aku sebagai kameramen, serta dua orang berpakaian loreng yang duduk di cockpit.
Aku, Awan, dan Ikhsan sama-sama kuliah di IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Selain kuliah, kami biasa nge-job sana-sini. Entah bantu-bantu bikin iklan, sinetron atau video klip artis-artis. Dari situ aku bisa kenal orang-orang yang mati hidup di dunia film. Selain uang (tentu saja), aku jadi banyak belajar. Hingga kami bertiga dapat order untuk mengerjakan sebuah film dokumenter di daerah Sumatra Utara. Lewat sebuah rumah produksi kami berangkat dengan sebuah tim dari Jakarta.
"Hoi… kamu jangan muram gitu, Laras!" Ikhsan berteriak melawan deru mesin heli.
Lagi-lagi aku dan Awan saling berpandangan.
Dan heli pun terbang mengangkasa!
GERAK HELIKOPTER betul-betul sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Kami terguncang-guncang di ketinggian… ah! manalagi sempat memikirkan di ketinggian berapa kami sekarang berada. Setelah berputar-putar hilang arah, hubungan radio dengan bandara Polonia Medan betul-betul terputus. Sudah banyak hutan lebat kami lewati. Sudah beberapa desa pedalaman kami seberangi.
Suara Heli menderu-deru. -
"Apa tidak lebih baik mendarat dulu, Pak?" teriak Pak Birhi pada Pilot.
"Kita cari daratan yang memungkinkan!" teriak pilot menyaingi suara heli.
Helikopter terbang tersendat-sendat. Kami sedang mengitari sebuah lembah. Sejauh mata bertubrukan selalu warna hijau yang bertaburan.
Ya Tuhan! Sasaat terbayang wajah Mama, kemudian Bapak, Hendra kakakku, dan Pasya adikku. Lalu… lalu… Haikal… Haikal… Apa kamu pun mau mengucapkan salam terakhir, Kal? Ah! Jangan dulu tinggalkan aku, Kal!
Jangan dulu!
Mesin heli tiba-tiba mati. Sistem kendali sudah tiada apa-apanya lagi. Tubuh heli meluncur deras ke bawah. Berputar-putar. Terbolak-balik. Tanpa aturan. Tidak berperasaan.
Yang kuingat tepat pada saat heli akan memasuki rerimbunan hutan, Awan temanku tiba-tiba meloncat keluar. Aku yang berada di sebelahnya hanya bisa terpekik tanpa bisa mencegah dan menyadari apa yang sedang terjadi.
Heli menghujam dahsyat ke muka bumi, mematahkan-matahkan dahan pohon, menghancurkan segala apa yang berbentuk pada heli, meluluhlantakkan semua yang ada di dalamnya.
Hancur, berserakan, dan tak berbentuk!
Aku sudah tak ingat lagi berada di mana ini. Sesaat keadaan begitu hening. Senyap. Betul-betul sunyi sama sekali. Hanya bau rumput dan amis darah yang begitu menyengat.
Ada empat tubuh yang bergelimpangan pasrah di dalamnya. Termasuk tubuhku. Tapi, empat?! Lalu Awan? Ya, di mana dia? Aku terbang kesana-kemari mencari awan sambil menangis. Awan… Awan…
Tiba-tiba,
"Awan...?!!"
Aku menjerit histeris. Suaraku menggelegar mematahkan daun-daun dalam hutan. Menyayat, pilu, dan putus asa. Tubuhnya sudah berlumuran darah, tidak berbentuk, dan kepalanya pecah. Ketika dia meloncat keluar tadi, pada saat itulah tubuh heli menerjangnya hingga ke dasar tanah.
Menimpanya! Meremukkannya!
Tinggal aku yang meronta-ronta berusaha mengangkat badan heli yang mengubur tubuh Awan. Aku berteriak sekeras-kerasnya. Aku terbang tak tentu arah.
Sudah tak tau jenis makhluk apa aku kini.
Aku terbang, terbang, dan terbang ...
MAMA, LIHATLAH! Mamaku. Dia tergeletak begitu lemasnya di ranjang. Dia hanya menangis dan menerawang.
"Mama," hati-hati aku bicara. "Ini aku, Ma. Aku sudah datang. Ayolah Ma, berhenti menangis, Ma." aku duduk di sampingnya.
"Laras… Laras… kamu sudah pulang, Laras…?" Mamaku terisak-isak. "Laras…"
"Ya Ma, ini aku Ma. Aku sudah pulang, Ma."
"Laras…"
Ya Tuhan. Tidakkah dia mendengar suaraku? Menderita sekali Mamaku. Badannya lemas dan kurus. Apakah ini yang Mama dapat setelah melahirkan dan membesarkan aku selama duapuluh dua tahun lamanya? Apakah hanya sebuah pusara yang dapat Mama kenang nanti?
"Ma, ayolah, Ma!" ingin sekali aku menggenggam tangannya. Ma, aku hanyalah sebuah anak panah yang telah kau tembakkan dari busurmu. Bukankah itu yang pernah kau ceritakan tentang sang Kahlil Gibran, Ma? Aku sudah melesat! Sudah menuju pada sang kehidupan yang sebenarnya. Akulah anak panahmu, Ma! Bukankah kau masih lagi menyimpan sisa anak panah yang tinggal kau petik saja buahnya. Yang telah ranum dan siap kau makan dengan begitu lezatnya.
Ingatanku terlempar saat aku masih lagi berumur empat tahun. Ketika aku dan kakak laki-lakiku, Hendra, bermain di sungai bersama anak-anak kampung sekitar. Saat itu anak-anak kampung mengadakan semacam lomba keberanian menyeberangi sungai dengan cara merayapi atau bergelantungan di pipa air yang melintasi lebar sungai. Aku berteriak-teriak histeris waktu giliran Hendra ambil bagian. Bayanganku Hendra akan terpeleset dan jatuh ke dalam sungai yang dalam dan berarus deras.
Tertatih-tatih Hendra merayapi pipa air melintasi lebar sungai, namun ketika dia telah menyelesaikan perjalanannya dan sampai dengan selamat di ujung sungai, aku bersorak-sorak girang sambil melompat-lompat karena Hendra dengan tawa kemenangan melambaikan tangan ke arahku berdiri.
Padahal sepulang dari petualangan sungai itu, Mama memarahi kami. Badan kami memang kotor penuh lumpur dan bau. Tapi kami tersenyum bangga dan puas.
Sejak kecil aku memang terbiasa bergumul dengam permainan laki-laki. Barangkali karena aku begitu sering mengikuti kemana Hendra pergi. Jadinya segala permainannya aku ikuti. Dan tumbuhlah aku sebagai gadis tomboy.
Begitu banyak kenangan yang berkelebat dalam benakku.
Tiba-tiba pintu kamar Mama terbuka. Bunyi deritnya mengagetkanku. Seorang gadis memasukinya, dan duduk di sebelah Mama. Letaknya menyeberangiku. Dia mengusap rambut Mama begitu sayangnya. Seorang gadis yang mulai tumbuh dewasa, bagitu cantiknya. Dulu aku sering menggodanya kalau ada teman lelakinya yang menelpon atau dengan jantan datang ke rumah.
"Pradnya…" aku mencoba memanggilnya. "Pradnya… ini aku, Pradnya." dia tampak melihat sekeliling kamar. "Pradnya… jaga Mama, ya." dia mulai meneteskan air mata.
"Kamu jangan ikut menangis, Pradnya. Jangan lengkapi kesedihan Mama. Beri Mama senyummu, hibur Mama, Pradnya!" kali ini dia betul-betul menangis.
AKU BERADA belasan kilometer jauhnya dari kamar Mamaku. Di sebuah kamar ukuran tiga kali lima. Warna dindingnya biru gelap. Ada beberapa pigura yang dipaku secara acak. Sebuah kasur tanpa dipan di atas karpet hijau lumut, lemari kayu ukuran sedang, satu set stereo, dan sebuah meja besar penuh tumpukan buku. Di bawah payung lampu duduk duapuluh lima watt, ada potret wajahku sedang tersenyum, dia menggelayut manja di bahuku.
Haikal nama lelaki itu. Duduk memandangi potret yang diambil sekitar setahun lalu ketika aku pulang dari pembuatan iklan sebuah produk rokok terkenal di negeri ini.
Haikal nama lelaki itu. Sudah tiga tahun aku dikencaninya. Juga setelah aku memutuskan untuk melanjutkan ke sekolah seni, dia begitu antusias dan gembira. Haikal betul-betul membantuku menepiskan hari-hari sepi. Betul-betul mampu membuat hidupku penuh dengan antusias dan dinamis.
Haikal adalah pengeranku!
"Kalau itu memang sudah jadi pilihanmu, kenapa tidak, Laras?"
"Kamu mendukung aku, Kal?"
"Hei, kamu musti yakin kalau bisa maju di film."
"Nggak takut kalau dunia film lesu?"
"Untung Soekarno tidak sempat pesimis. Jika ya, entah kapan kita mendengar kata Republik Indonesia!"
Haikal nama lelaki itu. Anak kedua dari tiga bersaudara. Semester tak terhingga jurusan Jurnalistik. Tapi bukan seorang wartawan yang ingin disandangnya.
"Kalau di Jakarta aku pacaran lagi, gimana Kal?" godaku manja.
"Ya aku pacaran lagi di Bandung!" ia tertawa tak mau kalah.
"Rugi kamu. Tidak ikut terkenal sebagai suami seorang sutradara ternama."
"Hahaha… harus kamu buktikan itu!"
"Hei, nanti semua media akan mencatat namaku."
Haikal nama lelaki itu. Sudah beberapa hari terakhir dia tidak merasakan nikmatnya tidur. Dia selalu terjaga.
"Haikal…" aku memberanikan diri memanggilnya. Tenggrokanku seperti tersumbat. Ya Tuhan, aku tak tau musti berkata apa. Menyentuhnya pun aku tak bisa.
Ah! aku menangis, aku menangis.
Tetapi?! Tidak… tidak… aku masih ingin bicara dengan Haikal. Aku masih ingin berada di dekatnya. Masih ingin merasakan kehangatannya. Jangan dulu bawa aku.
Jangan dulu…!!!
TIBA-TIBA aku sudah berada di dalam sebuah lembah yang dalam, lebat, gelap, dan bau amis darah! Berdiri aku seorang diri.
Tanpa teman tanpa kawan!
Sudah sebulan tim SAR dan gabungan para pencinta alam nasional menulusuri habis hutanku. Mencari-cari di mana letak jatuhnya helikopter.
Tidak! Mereka tiada akan pernah menemukannya. Heliku sudah menjadi milik hutan ini. Sudah menjadi milik alam dan masyarakat penghuni hutan.
"Laras… Laras… ayo pulang, Laras…!" Bapakku menangis, Bapakku menangis! "Ayolah Laras… pulang…!"
Lihatlah! Bapak. Bapak dan Hendra ikut mencari dan masuk ke dalam hutan. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok. Tentara maupun pecinta alam.
"Hei… hei… aku di sini! Hei…!" mereka hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri. "Hei… hei… aku di sini, Pak! Aku di sini, Hen!"
Bahkan mereka melangkahi puing-puing heliku. Apa-apaan ini?! Adakah yang menutupi pandangan mereka?
Ya Tuhan!
TUBUHNYA HANCUR berkeping-keping. Sudah tiada jelas lagi mana bagian depan atau belakang. Sudah menyatu dengan bumi. Hanya ada baling-baling panjang tergolek di tanah yang mungkin jadi satu-satunya tanda.
Ada sebuah kalung yang tertinggal dan tergeletak di atas tanah basah. Sebuah kalung tentara berpatrikan namaku; Laras Saraswati.
DUA TAHUN KEMUDIAN.
"Kal, kamu lihat berita TPI pagi tadi?" seru Leinad dari balik pintu kamar.
"Kenapa memang?" aku sedang mengepak ransel gunungku.
"Lho, mau kemana kamu?"
"Pangrango!"
"Sudah, bongkar lagi, Kal. Kamu nggak bakal naik!"
Aku tak mengindahkan.
"Kal, hoi...!"
"Apaan sih...?" aku tetap mengepak.
"Laras, Kal, Laras!"
Aku sontak menghentikan pekerjaanku, "Laras?" bergetar juga aku mendengar nama itu disebut. "Ada apa dengan Laras?"
"Pagi tadi di TPI, ditemukan puing helikopter yang hilang dua tahun lalu. Pagi ini sedang diselidiki. Diduga helikopter yang digunakan mahasiswa IKJ saat bikin film dulu, karena pemburu yang menemukan melihat banyak alat kamera berserakan. Kalau memungkinkan, sore ini langsung evakuasi."
"Betulkah yang kudengar ini, Nad?!" aku mencekal bahunya.
Leinad hanya mengangkat bahu. Kutinggalkan ransel gunungku dan berlari ke ruang tamu. Mencari Kompas pagi yang belum sempat kubaca. Maka benar saja: Puing Helikoper Yang Ditumpangi Mahasiswa IKJ Ditemukan.
Meski sulit dikenali karena terlalu rusak, aparat keamanan di Medan, Sumatera Utara, tetap merencanakan mengevakuasi reruntuhan pesawat helikopter yang ditemukan di sela-sela hutan lebat Lau Ucim di kaki Gunung Sibayak, Kabupaten Karo (123 km selatan Medan).
Astaga! Menurut penduduk Desa Semangatgunung, Kecamatan Simpangempat, Kabupaten Karo; Ponden, Sembiring, Surbakti, dan Ramon -pemburu yang menemukan reruntuhan pesawat, terdapat empat kerangka manusia yang masih utuh tak pindah tempat dari duduknya. Diperkirakan langsung meninggal saat heli jatuh. Meski bentuk reruntuhan sulit dikenali karena terlalu rusak, namun diperkirakan tak lain pesawat helikopter. Ini terlihat dari bagian baling-baling yang tergolek di atas tanah.
Catatan menunjukkan, dua tahun lalu memang terdapat laporan menyangkut hilangnya sebuah pesawat heli guna melakukan pemotretan dari udara terhadap wilayah Kabupaten Karo, Dairi, dan Simalungun. Pemotretan berlangsung beberapa hari dan dilaporkan hilang pada hari terakhir tugas tersebut.
Selain KTP dan Kartu Pers milik Birhi, di dekat reruntuhan pesawat juga ditemukan KTP atas nama Laras Saraswati (No. 109269292) dikeluarkan Pemda Kotamadya Bandung (Jabar), kemudian atas nama ...Irs... (No. 4263-349) juga dikeluarkan Pemda Kotamadya Bandung (Jabar), dan satu KTP lainnya (No. 0441-639) keluaran Pemda Tingkat II Bekasi (Jabar). KTP yang terakhir tidak diketahui nama pemiliknya, karena tulisan pada kolom nama nampak sudah kabur.
Meski kendala lokasi berupa jalan yang hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki namun sejumlah anggota Batalyon Infanteri 125 Kabanjahe bersama anggota Kodim 0205 Tanahkaro diterjunkan ke lokasi guna evakuasi.
Koran pagi itu masih dalam genggamanku.
"Empat? Empat kerangka? Bagaimana mungkin empat?" aku tak mengerti.
Segera saja aku telpon keluarga Laras. Mengabari atas berita yang baru kudengar.
"Masyaallah, betulkah, Haikal?!"
"Iya Bu. Segera akan saya kontak IKJ."
"Baiklah, Ibu akan menelpon Bapak di kantor!"
Nasib ranselku sudah tak berriwayat lagi.
"Gimana, Kal?" Leinad menyusul ke ruang tamu.
"Kita ke Jakarta, Nad!"
KAMPUS YANG terletak di belakang Taman Ismail Marzuki ini masih saja rindang untuk dikunjungi. Leinad masih sibuk mencari uang kecil untuk membayar bajaj. Banyak kenangan yang sempat tertumpahkan di kampus ini. Tentu saja bersama gadisku, Laras. Namanya begitu dikenang dan dijadikan simbol tersendiri terhadap perjuangan mahasiswa film yang telah senior maupun baru masuk.
Biasanya aku tak begitu mampu untuk kembali lagi ke sini. Itu hanya akan membuat hatiku sesak dan gulana. Aku mencari beberapa mahasiswa film yang sudah lebih dulu mengetahui perihal diketemukannya helikopter Laras. Mereka tampak sibuk dan posko pencarian yang dua tahun lalu sempat dibentuk segera didirikan kembali. Di ujung koridor aku melihat Mas G. sedang berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswa. Aku menghampirinya.
"Saya dari kelurga Laras, Mas," ucapku. "Orang tua Laras sudah saya beritahu dan segera akan ke Jakarta hari ini juga."
"Oya? Terima kasih kalau begitu," ia membalas jabatan tanganku. "Jadi tinggal keluarga Awan saja yang sedang dikontak."
"Ada perkembangan terakhir, Mas?"
"Positif. Heli itu memang yang dinaiki Laras dan Awan. Keluarga Pak Birhi juga sudah kita hubungi. Hari ini langsung evakuasi." terang Mas G.
"Bayangkan," lanjut Mas G. "Meski telah dua tahun, dompet-dompet mereka masih begitu utuhnya. Jadi dengan mudah dapat dikenali identitas mereka sebagai mahasiswa IKJ!" ujar sutradara film Cinta Dalam Sepotong Roti ini.
"Bukankah daerah itu telah disisir tim SAR saat pencarian dulu?" tanya Isa, mahasiswa TV.
"Yah... rahasia alam, Sa. Siapa yang dapat tau!" jawab Komeng, mahasiswa jurusan editing.
"Aku sulit membayangkan. Bagaimana mungkin kerangka Awan ada di balik tubuh heli. Apa itu berarti ia tertimpa helikopter?" terka Ikhsan, mahasiswa jurusan tata suara yang jadi satu-satunya kawan Laras yang lolos dari maut itu.
Sontak aku memisahkan diri dari obrolan itu. Leinad tampak ikut berembuk dalam pembentukan sebuah tim penjemputan. Tanpa sadar air mataku mulai menghujani pipiku. Ya, aku menangis!
Maka diputuskan mengirimkan beberapa orang IKJ dalam tim penjemputan.
"Kamu tau berapa tiket pesawat ke Medan, Nad?"
Leinad mengangkat bahu. "Kamu terbang?"
"ATM-ku hanya berisi sejuta."
"Tenang, Kal!" ia memeluk bahuku.
KELUARGA DEMI keluarga sudah berdatangan. Baik dari keluarga Awan di Klaten, Jawa Tengah, maupun keluarga Laras. Hanya Bapak Laras yang tampak datang dari Bandung. Aku menyambut genggaman tangannya. Beliau memelukku.
Tapi tiba-tiba datang kabar begitu mengejutkannya: pihak TNI Angkatan Darat Medan ternyata tidak mengakui adanya mahasiswa IKJ dalam helikopter tentara yang baru saja berhasil dievakuasi. Mereka tidak mau mengambil resiko jika tersiar kabar di media massa bahwa helikoter tentara yang merupakan inventaris negara dipinjamkan pada orang sipil. Apalagi untuk kepentingan komersil seperti ini.
Puah! Aku menyumpah-nyumpah. Kawan-kawan IKJ sudah saling melontarkan kata umpatan. Kejadian dua tahun lalu memang sungguh menjengkelkan, kalau tak bisa dikatakan menyebalkan. Perusahaan film yang menurunkan Pak Birhi, Awan, dan Laras dalam penerbangan tersebut memang lebih memilih heli Angkatan Darat yang murah dengan tujuh ratuh lima puluh ribu perak per-jam, dibanding helikopter komersil yang sejuta lima ratus ribu per-jam. Hanya karena bisikan oknum yang gemar mengobyek alat negara dan pertimbangan harga murah, mereka merencanakan terbang selama dua jam. Puah!
Semua bingung, belum lagi tau apa yang musti segera dilakukan. Sudah jelas wartawan RCTI menangkap gambar evakuasi siang tadi di Buletin Siang. Semprul! batinku. Bukankah identitas mahasiswa IKJ sudah dengan jelas diketahui dan disiarkan. Lantas mau apalagi? Tapi, sebentar, pantas saja, aku teringat kejadian dua tahun lalu. Ketika itu Ikhsan, kawan Laras, bukankah sempat memotret Awan dan Laras sebelum heli take off. Terpampang jelas jenis dan nomor heli yang mereka gunakan. Pantas saja seorang petugas sempat mengikuti Ikhsan dan meminta negatif dari film itu. Ini jelas-jelas sebuah permainan. Mereka tak mau menanggung resiko. Berarti ada oknum yang bermain di balik semua ini.
"Hei... bukankah Ikhsan masih punya positif foto heli sebelum take off. Repro saja, jadikan bukti!" aku tiba-tiba mengusulkan.
"Betul juga! Ya, aku masih simpan." ujar Ikhsan.
"Tapi mereka militer, Kal, bisa saja mengelak." seru Yudi, mahasiswa jurusan sutradara, menengahi.
"Kita sebar ke setiap media!" aku tak mau menyerah.
"Mereka bisa main keras, Kal!" kali ini Frans, mahasiswa jurusan fotografi film.
"Ok. Kalau begitu biar saya usahakan lewat HANKAM Jakarta saja." suaranya nampak bergetar penuh geram. Ternyata Mas Oki, kakak Awan dari Klaten. "Saya kenal orang dalam!" ujarnya tegas sembari memijit tombol HP.
Kami semua tak mengira akan keputusan ini. Maka diputuskanlah Bapak Laras, Mas Oki, dan beberapa orang dari HANKAM yang terbang ke Medan. Sementara kami diminta stand by di Jakarta untuk menunggu perkembangan yang tiada mudah diperkirakan.
"Kamu musti makan, Kal!" Leinad mengingatkanku.
"Kamu saja duluan!"
SIAPA YANG bakal mengira jika prosesnya begitu menggila. Lima hari kami terkatung-katung dengan tanpa keputusan yang tiada jelas. Orang-orang Mas Oki memang telah bertemu dengan pihak Angkatan Darat Bukit Barisan. Tetapi mereka tetap tiada mau begitu saja menyerah atas kenyataan yang sebenar. Mereka memang mengkui bahwa helikopter yang diketemukan di Gunung Sibayak, adalah milik Angkatan Darat. Namun tak berisi mahasiswa IKJ seperti yang tersiarkan media massa. Fasis memang luar biasa haibatnya! Pantas saja, ketika pencarian dua tahun lalu, tim tentara tidak mau bergabung dengan tim SAR dan pecinta alam mahasiswa. Mereka bersikukuh helinya yang hilang jatuh di sekitar lokasi rutin latihan mereka. Dan kini, haibat benar, saat kami pihak keluarga belum lagi mendapat kepastian apakah kami dapat membawa pulang kerangka-kerangka tersebut, pilot serta co-pilot mereka justru telah diterbangkan dan dimakamkan pada keluarga masing-masing di Jawa. Haibat benar!
Tawar menawar pun terjadi. Akhirnya terbukalah semua. Kerangka-kerangka tersebut memang disimpan oleh pihak Angkatan Darat. Mereka dapat saja menyerahkan kerangka tersebut pada keluarga masing-masing, namun dengan beberapa syarat yang musti dipenuhi: tidak ada pers, tidak ada penyambutan di bandara, tidak ada upacara di kampus, dan musti langsung dibawa ke rumah keluarga korban. Bapak Laras sempat berang: adalah hak kami untuk memperlakukan apa yang hendak kami perbuat pada kerangka tersebut. Tapi melalui pembicaraan yang alot, akhirnya, demi kepulangan keluarga juga, mereka menyanggupi syarat-syarat tersebut.
"Satu lagi," ujar Perwira Angkatan Darat itu. "Kerangka tidak dibawa dengan enggunakan peti!"
Bapak Laras dan Mas Oki tampak tidak mengerti. "Lantas?!"
"Dibungkus, dan dimasukkan ke dalam tas. Tidak menggunakan cargo, tapi ikut ke dalam kabin penumpang!"
Gila! Begitukah perlakuan manusia terhadap manusia? Luar biasa fasis ini.
Syarat terakhir sempat mentah-mentah ditolak. Karena bagaimanapun: kerangka tersebut tetaplah manusia yang musti dihormati atas hakekatnya. Tapi itu pilihan terakhir yang mereka tawarkan. Sekali lagi, luar biasa untuk fasis ini!
Begitulah. Pesawat melesat dari Polonia Medan dan mendarat di Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Kerangka Pak Birhi, mantan wartawan TEMPO yang kini sutradara itu, rencananya akan dimakamkan keluarganya di Medan. Jadi tak musti dibawa ke Jawa. Kerangka Awan langsung berganti pesawat menuju Yogyakarta terus ke Klaten, Jawa Tengah. Sementara Laras musti berpindah mobil karena tiada jam terdekat bagi pemberangkatan terbang ke Bandung. Aku telah memesan sebuah ambulan untuk membawa Laras ke Bandung. Kawan-kawan IKJ tampak menggerombol di pintu masuk, di cargo, tapi tak menemukan apa-apa. Dari kejauhan terlihat Bapak Laras ditemani seorang pria berambut cepak menenteng sebuah tas kecil berwarna hitam sebesar tas raket pebulutangkis. Kawan-kawan IKJ menyambutnya.
"Mana Laras?" tanya mereka.
Si rambut cepak tak segera menjawab.
"Mana Laras, Pak?" kali ini pada Bapak Laras.
Bapak Laras tak menjawab. Hanya matanya melirik pada tas hitam yang ditenteng si rambut cepak.
Semua mengikuti arah lirikan Bapak Laras, lantas sontak terkesiap dan bukan alang kepalang kagetnya. Laras, di dalam tas sekecil itu? Tulang-belulangmu? Dalam tas sekecil itu? Tetesan air mata sudah tak terbendung lagi. Laras... begitu cara mereka memperlakukan manusia? Begitu cara manusia menghormati sesama manusia? Sungguh tak kuat aku menuliskan cerita ini.
Iring-iringan mahasiswa IKJ beranjak menuntun tas kecil berwarna hitam itu. Sebuah mobil ambulan telah siap menunggu untuk melesat ke Bandung. Aku tak berani mendekat. Jarakku tak lebihlah dua puluh meter dari kerumunan.
Leinad datang menghampiri. "Kal, Larasmu, Kal. Larasmu sudah kembali!" ia memelukku.
Aku membalas pelukannya. Air mataku tumpah sudah.
JARAK JAKARTA - Bandung hanya ditempuh dalam beberapa jam saja melalui puncak. Aku duduk di sebelah tas laras di dalam ambulan. Kadang memeluknya sambil tak henti-hentinya menyeka tetesan air mata yang terasa tak pernah kering ini.
Bapak Laras duduk di depan. Di belakang ada aku, Leinad, serta dua kawan Laras di IKJ: Barli dan Humam, pacar Paquita Wijaya. Di belakang mobil ambulan beriring-iringan mobil mahasiswa IKJ dan beberapa saudara Laras yang tinggal di Jakarta, mengikuti sirine yang meraung-raung.
Hingga sampailah di kediaman Laras. Sirine ambulan masih meraung-raung. Beberapa orang telah siap dengan posisi tangan seolah hendak mengangkat peti mati. Namun ketika pintu belakang ambulan terbuka, mereka terkesiap karena tak menemukan peti mati yang mereka bayangkan.
"Mana petinya?!" tanya mereka.
Tak lama aku turun, membopong sebuah tas kecil berwarna hitam: berisi tengkorak Laras. Masuk ke dalam ruang tamu, tempat dimana dulu sering kukencani dia. Sebuah meja ukuran panjang telah dipersiapkan. Aku Letakkan tas kecil berwarna hitam itu di atasnya. Ibu Laras yang melihat anak gadisnya hanya tinggal berhasta-hasta tulang di dalam tas sekecil itu, bukan kepalang histerisnya. Suasana begitu pilu. Mencekam. Mengaharukan dan menyayat hati. Aku tak kuasa meneruskan cerita ini.
MAKA BEGITULAH. Tulang belulang Laras dimasukan ke dalam peti. Dibawa ke masjid dan ditanam dalam tanah dalam-dalam untuk tak dapat dilihat kembali selama-lamanya. Ratusan pelayat telah meninggalkan tanah-tanah pekuburan. Bunga-bunga telah diterbarkan begitu wanginya. Aku masih bersimpuh luruh tafakur di sebelah nisannya. Meraba-raba papan bertuliskan nama gadisku, Laras Saraswati. Tak seperti makam umumnya, yang tertera pada nisan Laras justru: Lahir; Wafat; dan, Dimakamkan. Karena ketiganya bertuliskan waktu yang berbeda.
Laras hanya membawa pulang dompet kulit berisi robekan lembar uang yang sudah lapuk, dua buah SIM dan KTP yang tampak kotor, cashcard yang telah pecah, kartu mahasiswa yang usang, dan fotoku yang sudah tak jelas lagi warnanya.
Aku masih bersimpuh luruh tafakur di sebelah nisannya. Meraba-raba papan bertuliskan nama gadisku. Sebuah kalung tentara berpatrikan namanya kugantungkan di leherku; Laras Saraswati.  Air mataku banjir sudah.