Johann Wolfgang von Goethe:
Muslim Eropa Pertama?
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Johann
Wolfgang von Goethe dikenal di penjuru dunia, termasuk di Indonesia, karena
diabadikan pada nama Goethe Institut, lembaga kebudayaan Republik Federal
Jerman yang mengembangkan pengetahuan mengenai bahasa dan budaya Jerman di luar
Jerman. Bagi bangsa Jerman sendiri Goethe bukan cuma seorang tokoh serbabisa,
tetapi pahlawan besar. Goethe adalah ilmuwan, filosof, yuris, sastrawan,
ekonom, arsitek, matematikawan, agamawan, juga ahli militer. Salah satu karya
besarnya yang sampai di Indonesia adalah drama Faust (diterjemahkan oleh
Abdulhadi WM, Balai Pustaka, 1990). Namun, berapa banyak orang yang mengetahui
bahwa Wolfgang von Goethe, Sang Jenius, kemungkinan besar wafat sebagai seorang
muslim?
Kemusliman Goethe terungkap melalui penelitian mendalam oleh ulama
Eropa masa kini, Shaykh Dr Abdalqadir as Sufi (lahir sebagai Ian Dallas asal
Skotlandia), bersama salah satu muridnya asal Jerman, Abu Bakr Rieger, kini
Presiden Uni Muslim Eropa dan Sekjen Asosiasi Pengacara Muslim Eropa. Mereka
berdua, pada 1995, menerbitkan sebuah dokumen "Fatwa on The Acceptance of
Goethe as Being Muslim" (Fatwa ber die Anerkennung
Goethes als Muslim), yang dicetak dan disebarluaskan oleh Weimar Institut,
Jerman (19 Desember 1995). Kemusliman seorang Goethe, khususnya dalam konteks
Eropa, memiliki implikasi yang sangat penting, terutama saat gejala islamofobia
di dunia Barat terus dibesar-besarkan, seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Minat Goethe pada Islam
Drs Nurman Kholis, M. Hum, peneliti muda Puslitbang Lektur
Keagamaan, Balitbang Departemen Agama, menyebutkan bahwa perkenalan Goethe pada
Islam dimulai dari minatnya pada studi tentang ketimuran. Ini didorong oleh persentuhan
Goethe dengan syair-syair karya Saadi dan ajaran tasauf Jalaluddin Rumi. Sejak
usia muda, pada umur 20-an awal, Goethe mulai belajar membaca dan menulis
bahasa Arab, dan menelaah al-Quran dan menyalin ayat-ayat pendek dengan tulisan
tangannya. Goethe mulai mengenal al-Quran melalui terjemahan karya JV Hammer
(bahasa Jerman) dan karya G. Sale (bahasa Inggris).
Dengan kemahiran menulis dan membaca bahasa Arab Goethe mulai
mengkopi doa-doa pendek berbahasa Arab, dan mengatakan, "Tidak ada
dalam spirit bahasa lain, kata dan huruf mampu ditampung sedemikian
orisinalnya." Keyakinan
Goethe terhadap kebenaran Islam, ia tuangkan dalam buku syairnya West-stliche
Divan, yang juga ia beri judul bahasa Arab Al-Diwan Al-Syarqiyyu li Al-Muallifi
Al-Gharbiyyi. Tantang al Qur'an Goethe menulis: "Tak bakal
seorang pun ragu tentang kebesaran efisiensi Kitab ini. Itu sebabnya ia
dinyatakan sebagai bukan sebuah ciptaan oleh para pendukungnya...Kitab ini akan
abadi ampuh selamanya." Pada usia 70 tahun ia menulis tentang lailatul qadar secara
afektif, ia "ingin memperingati dengan takzim malam ketika Rasul
dianugerahi Qur'an secara lengkap dari atas."
Suatu ketika Goethe membacakan dengan keras terjemahan sejumlah
ayat Qur'an dalam bahasa Jerman di hadapan keluarga dan tetamu bangsawan (Duke)
Weimar. Tetapi ia merasa tak pernah puas dengan segala bentuk terjemahan (ia
memahami bahasa Latin, Inggris, Jerman dan Perancis), dan selalu mencari
terjemahan baru. Dalam suatu karyanya ia berkata tentang Qur'an: "Apakah
Qur'an adalah keabadian?/Saya tidak meragukannya!.../Itu Buku segala buku/Saya
meyakininya sebagai kewajiban seorang muslim." Dalam surat yang dikirim kepada anak tunggalnya
August, 17 Januari 1814, Goethe mengatakan "Beberapa agama telah mengecoh
kita sampai kemudian datang al-Quran ke perpustakaan kita".
Satu butir yang juga ditunjukkan oleh Shaykh Abdalqadir dalam
Fatwa-nya adalah indikasi dari Goethe sendiri bahwa ia adalah seorang muslim.
Pada 24 Februari 1816 ia mempublikasikan sebuah pernyataan: "Sang
Penyair [Goethe]... tidak menolak kecurigaan bahwa ia sendiri adalah seorang
Muslim." Dan dalam salah satu
syairnya yang lain, dalam Divan, Goethe berkata: "Sungguh
bodoh setiap orang, dalam setiap urusan/Memuja-muji pendapatnya sendiri!/Bila
Islam bermakna kepatuhan kepada Tuhan,/Kita semua hidup dan mati dalam Islam./
Bukti Kemusliman Goethe
Fatwa Penerimaan Goethe sebagai Muslim diawali dengan kutipan
pernyataan Goethe dalam percakapannya dengan sahabatnya, penyair J.P Eckermann,
11 Maret 1832, bahwa "banyak nonsense dalam doktrin gereja
[kristen]." Dalam Divan Goethe
menolak pandangan kristiani tentang Jesus di satu sisi dan mengkonfirmasi
keesaan Allah SWT di sisi lain: "Jesus merasa murni dan dengan lembut berpikir/Hanya
Satu Tuhan/Siapa yang menjadikannya sebagai tuhan/Menghina kehendak sucinya/Dan
karenanya kebenaran harus memancar/Apa yang juga telah dicapai oleh
Muhammad;/Hanya dengan kata "Yang Satu"/Ia menguasai seluruh dunia/.
Di bagian lain Goethe menyatakan bahwa Jesus, Isa alaihisalam, hanyalah seorang
Rasul, seperti halnya Nabi Ibrahim, Musa, dan Dawud, sebagai "perwakilan
dari Keesaan Tuhan."
Selain pernyataan Goethe yang menunjukkan pengakuannya tentang
Allah SWT ini, sebagai syahadat pertama, Shaykh Abdalqadir mengemukakan
sejumlah bukti lain. Goethe juga berkata "Keimanan tentang satu Tuhan
selalu membawa dampak memperbaiki ruhani sebab ini mengindikasikan pada
seseorang ketauhidan dalam dirinya sendiri." Goethe juga dikenali menolak
konsep kebetulan, dengan kata lain ia meyakini adanya qadha dan takdir. Pada 12
Agustus 1827, ia menulis, : "Kalau Allah menghendaki aku menjadi seekor
cacing;/Ia akan telah menciptakan aku sebagai seekor cacing."
Bagaimana dengan pengakuannya akan Kerasulan Muhammad SAW, sebagai
pernyataan syahadat kedua?
Goethe banyak menulis tentang Nabi Muhammad SAW dalam
syair-syairnya, Mohamets Gesang. Tentang kerasulannya ia berkata: "Dia
adalah seorang rasul dan bukan penyair dan karenanya Qur'an yang dibawanya
adalah hukum ilahi dan bukan buku karya manusia, yang dibuat untuk mendidik
atau menghibur." Salah
satu bait Gesang berbunyi:"Juga kalian, mari/ Dan kini lebih ajaib dia
membesar-meluas/Seluruh ras menyanjung pangeran ini." Dalam manuskrip tulisan tangannya, dalam naskah Paralipomena III,
31 dalam Divan, Goethe menulis, 27 Januari 1816: "Imam
segala makhluk ciptaan/Muhammad". Goethe juga mengonfirmasi penolakan Rasulullah SAW atas tantangan
kaum kafirin untuk mempertontonkan mukjizat, dengan mengatakan: "Keajaiban
tak dapat kuperbuat kata sang Rasul,/Mukjizat terbesar inilah aku."/
Kesimpulan Dengan berbagai bukti yang ada, yang sebagian telah
dikutipkan dalam tulisan ini, Shaykh Abdalqadir dan Abu Bakr Rieger, menyatakan
dapat disimpulkan dengan meyakinkan dan tanpa keraguan, bahwa Johann Wolfgang
von Goethe adalah seorang muslim. Meski ia hidup di tengah negeri non-Muslim,
Goethe dengan sepenuh hati menyatakan dan memegang teguh dua kalimah syahadat,
dan mengkonfirmasi Tiada tuhan Selain Allah, yang Tunggal, dan bahwa Rasul
terakhir adalah Muhammad, salallahualaihi wassalam. Dan meski tidak pernah
mendapatkan pengajaran salat, zakat, puasa, dan haji, dia bangga dan dengan
penuh emosi menghadiri salat Jum'at. Ini menunjukkan sikap Goethe
memperlihatkan bahwa Islam adalah dien yang dianutnya. Karena itu, Shaykh
Abdalqadir menegaskan bahwa pujangga kebesaran Eropa ini dapat diterima sebagai
Muslim pertama Eropa Modern, yang menghidupkan hati masyarakat Eropa untuk
mempelajari Tauhid dan Muhammad SAW, sebagai utusan-Nya.
Shaykh Abdalqadir menutup Fatwa-nya dengan pernyataan: "Dengan
pengakuannya yang menakjubkan atas kerasulan, salallahualaihi wassalam, ia
selayaknya kita kenali di kalangan Muslim sebagai Muhammad Johann Wolfgang
Goethe".
Pengaruh Pikiran Goethe di Indonesia
Sekitar setahun lalu, 4 September 2009, di ruang pertemuan The
Habibie Center, Kemang, Jakarta, berlangsung seminar kecil: Pemikiran Goethe
tentang Islam dan Uang serta Pengaruhnya terhadap Penggunaan Dinar Emas dan
Dirham Perak di Indonesia.
Pembicara utamanya Nurman Kholis, peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan,
Balitbang Depag. Goethe, lahir 29 Agustus 1749 dan wafat 22 Maret 1832, memang
hidup dalam masa transisi pemberlakuan uang kertas, menggantikan uang emas dan
perak.
Menakjubkan, sebagaimana ditunjukkan oleh Nurman, Goethe menulis
46 buku yang mengekspresikan sikap skeptisnya terhadap pemberlakuan uang
kertas. Khususnya dalam Faust II, saat ia mengisahkan seorang ilmuwan kimia
bernama Faust, yang berusaha membuat emas dari logam biasa demi meraih
pengetahuan tertinggi dan memuaskan kesenangan manusia. Untuk mencapai tujuan
ini ia mengikat janji dengan iblis, Mephistopheles. Keduanya kemudian bertemu
Kaisar yang kehabisan dana untuk menggaji tentara serta para pelayan.
Mephistopheles kemudian menawarinya jalan pintas dengan mencetak kertas yang
ditandatangani Kaisar dan diedarkan kepada masyarakat.
Menurut Nurman, Goethe telah melihat ekonomi uang modern yang
didasarkan pada uang kertas sebagai "kelanjutan cara kimiawi dengan
cara lain", artinya penciptaan
uang dari ketiadaan, sebuah pemalsuan nilai riil harta. Meskipun menulis dalam
dekade awal abad ke-19, ia sudah meramalkan banyak pencapaian industrial pada
abad berikutnya, akan sangat dipengaruhi oleh modus baru ini. Goethe sudah
melihat sebelum waktunya capaian besar industri yang akan didanai dengan sistem
gelembung uang kertas ini.
Peneliti muda yang Juli 2010 lalu meraih gelar Master Humaniora,
dengan tesis Kajian Filologis Al Adawiyatu Asy-Syafiyatu fi Bayani Salati al
Hajati wal-Istikharati wa Daf'i al Kurbati, karya K.H Ahmad Sanusi: Cara
Mengatasi Kegelisahan dan Kaitannya dengan Krisis Ekonomi Dunia, dari Unpad
(cum laude) ini, juga mengorelasikan pernyataan Goethe bahwa"uang kertas adalah
ciptaan setan" dengan
pemikiran Imam al-Ghazali yang menyatakan "hikmah penciptaan dinar dan
dirham tidak akan ditemukan di dalam hati yang berisi sampah hawa nafsu dan
tempat permainan setan."
Dengan demikian, kata Nurman, Islam yang dipahami oleh Imam
Ghazali dan Goethe membuahkan pemahaman yang sama, yaitu dinar dan dirham
sebagai mata uang adil yang diciptakan oleh Allah sedang uang kertas ciptaan
setan. Dalam perjalanannya menemukan Islam, Goethe memang banyak mempelajari
aspek muamalat, tentang riba, uang, jual-beli, pembebasan hamba sahaya, dsb.
Karenanya, sebagaimana ia sampaikan melalui Faust, ia mengecam praktek
penggunaan uang kertas, penerapan riba secara umum, sebagai bentuk perjanjian
dengan setan.
Kini Dinar emas dan Dirham perak kembali digunakan di Indonesia,
tentu tidak langsung dari Goethe, tapi melalui pengajaran dari ulama Eropa
mutakhir, Shaykh Abdalqadir as Sufi. Ulama terlahir dengan nama Ian Dallas ini
dapat dikatakan salah satu penafsir Goethe, selain sejumlah pemikir Eropa
sejaman lainnya seperti Frederich Nietzsche, sampai Martin Heidegger dan Erns
Junger, yang kemudian juga membuktikan bahwa pujangga besar dunia itu adalah
seorang Muslim.
Melalui Shaykh Abdalqadir-lah, yang menemukan pintu Islam dari
para pemikir Eropa dan mendapatkan isinya dari ulama-ulama besar Maroko (Shaykh
Muhammad Habib, Shaykh Al Fauyturi, dan Shaykh Al Alawi), kemudian
diterjemahkan kembali dalam tingkat kepraktisan oleh muridnya yang lain, warga
Spanyol, Umar Ibrahim Vadillo, kembalinya Dinar dan Dirham sebagai mata uang
yang adil menjadi kenyataan. Salah satunya yang paling luas dan berkembang
adalah di Indonesia.